Jumat, 16 Desember 2011

Ironi Papua: Kaya tetapi Menderita


LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
Ironi Papua: Kaya tetapi Menderita
Sumber : KOMPAS, 16 Desember 2011


Selama 40 tahun hidup bersama ternyata tidak menjamin ikatan akan terjalin sedemikian intim. Tak hanya perkara konflik berkepanjangan, stigma separatis yang susah hilang—mirip cap PKI zaman Orde Baru—tetapi juga belenggu saling tak percaya antara Jakarta dan Papua terus memasung masing-masing dalam kecurigaan.

Dalam ruang sosial-politik, kekerasan dan pelanggaran HAM terus terjadi hingga pengujung 2011. Korbannya tak hanya warga sipil, tetapi juga aparat keamanan. Ruang tahanan dan penjara terus terisi oleh mereka yang dikenai pasal makar. ”Sesuatu yang aneh ini terjadi di negara demokratis seperti Indonesia,” kata Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim. Kondisi itu berbalut erat dengan kondisi sosial-ekonomi dan budaya masyarakat Papua yang tak berbanding lurus dengan alamnya yang kaya raya.

Data PT Freeport Indonesia menunjukkan, total cadangan terbukti untuk tahun pelaporan sampai 31 Desember 2010 adalah 2,57 miliar ton batuan mineral dengan kadar rata-rata dari cadangan itu adalah 0,98 persen tembaga, lalu 0,83 gram per ton emas, dan 4,11 gram per ton perak. Dari kinerja perusahaan itu, pada semester pertama 2011, kewajiban berupa pajak yang dibayarkan perusahaan itu mencapai 1,4 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 11,7 triliun.

Jika dihitung sejak kontrak karya 1992, hingga Juni 2011 perusahaan tambang itu telah membayar kewajiban mereka dalam bentuk pajak, royalti dan dividen masing-masing 12,8 miliar dollar AS, 1,3 miliar dollar AS, dan 1,2 miliar dollar AS. Kinerja perusahaan itu memberi kontribusi hingga 60 persen pada PDRB Provinsi Papua dan 96 persen pada PDRB Kabupaten Mimika.

Papua juga memiliki hutan lebih dari 32 juta hektar. Pejabat Gubernur Papua Syamsul Arief Rivai mengatakan, hutan di Papua memiliki nilai ekonomis sekitar 74 miliar dollar AS dari kayu, karbon, dan jasa lingkungan, termasuk air serta makanan. Hutan produksi konversi yang luas seperti di Merauke berdaya tarik kuat. Saat ini Merauke dilirik 48 investor yang ingin menggarap perkebunan melalui program Merauke Integrated Food and Energy Estate. Di laut pun demikian. Produksi ikan tangkap tahun 2010 di Merauke, misalnya, tercatat 2 juta kilogram.

Setiap tahun Papua mendapat dana otonomi khusus (otsus) sebesar Rp 2,6 triliun atau sekitar Rp 3,8 triliun jika dihitung bersama-sama dengan Provinsi Papua Barat. Dana tersebut diprioritaskan untuk pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan infrastruktur Papua. Namun, hingga 10 tahun berjalan (total kurang lebih Rp 28 triliun), misi otsus, yaitu membangun keberpihakan, perlindungan, dan pemberdayaan orang asli Papua, tidak terwujud optimal.

Transformasi Mandek

Saat ini angka kematian bayi di Papua adalah 362 per 100.000 kelahiran hidup atau di atas angka nasional, yaitu 228 per 100.000 kelahiran hidup. Malaria juga terus jadi penyakit langganan warga. Di Boven Digoel, misalnya, pada 2010 tercatat 7.583 orang terserang malaria. Jumlah itu melonjak dibandingkan 2009, yaitu 5.988 orang. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua Josef Rinta mengakui, meski jumlah puskesmas bertambah, tenaga medis belum mencukupi. Papua masih kekurangan 2.524 bidan, 212 tenaga gizi, 427 perawat, 241 analis kesehatan, 241 ahli kesehatan lingkungan, dan 280 ahli farmasi.

Demikian pula dalam bidang pendidikan. Ketertinggalan itu tampak dari minimnya jumlah guru di pedalaman sehingga harus mengajar rangkap beberapa mata pelajaran ataupun beberapa kelas sekaligus. Selain itu, gedung sekolah yang rusak, alat belajar-mengajar yang minim, dan banyak anak usia sekolah yang tidak bersekolah. Di Merauke, pada tahun 2010 sedikitnya 2.574 anak usia 7-12 tahun tidak mengenyam pendidikan sekolah dasar. Angka melek huruf dan rata-rata sekolah sangat rendah. Di Kabupaten Intan Jaya, misalnya, angka melek huruf 27 persen dengan rata-rata lama sekolah hanya 1,8 tahun.

Sekretaris Daerah Papua Constan Karma mengungkapkan, banyak tenaga guru dan tenaga kesehatan di daerah pemekaran terserap birokrasi. Dampaknya, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di daerah pemekaran rendah. Kabupaten Nduga salah satunya. IPM kabupaten pecahan dari Jayawijaya itu hanya 48,02 atau terbawah di Papua. Dapat dibayangkan bagaimana situasi di sana mengingat IPM Papua menduduki peringkat terbawah di Indonesia.

Hal itu menyumbang pada tingginya jumlah penduduk miskin di Provinsi Papua, yang mencapai 944.000 orang lebih atau sepertiga total penduduk Papua (2,8 juta jiwa). Jumlah itu meningkat dibandingkan jumlah penduduk miskin tahun 2010, yaitu lebih dari 761.000 orang. Meskipun persentase penduduk miskin berkurang dari 36,80 persen tahun 2010 jadi 31,98 persen tahun 2011, tetap saja angka itu memprihatinkan.

Apalagi, penduduk yang masuk kategori itu umumnya orang asli Papua, terutama mereka yang tinggal di wilayah Pegunungan Tengah Papua dan pedalaman lainnya. Upaya pemerintah untuk mendekatkan pembangunan dengan membentuk kabupaten baru di Papua nyaris tidak berdampak.

Di Papua Barat, jumlah penduduk miskin tahun 2010 tercatat 34,88 persen atau 356.350 jiwa dari 798.601 jiwa. Meski jumlahnya turun dibandingkan 2009, tingkat kemiskinan kian tinggi. Tahun 2008, tingkat keparahan miskin penduduk miskin adalah 9,18 poin dan jadi 10,47 poin pada tahun 2010. Penyebabnya, naiknya nilai pengeluaran yang tak diimbangi peningkatan daya beli masyarakat. Agustus 2010, tercatat 26.341 penduduk usia kerja menganggur, sedangkan Agustus 2011 bertambah jadi 33.031 orang. Tren pengangguran naik dari 7,68 persen jadi 8,94 persen. Penurunan jumlah tenaga kerja terbanyak terjadi di sektor pertanian, sampai 10.639 orang. Padahal lahan pertanian, perkebunan, dan peternakan di bumi Papua ini terbentang luas.

Ketua DPR Papua Barat Yosep Johan Auri mengatakan, dana otsus belum menyentuh masyarakat dan belum tepat sasaran. Banyak dugaan dana digunakan tanpa perencanaan dan pertanggungjawaban. Anggaran ganda, dari dana APBD dan dana otsus, untuk satu proyek kerap ditemukan. Masalahnya, hingga 10 tahun otsus berjalan, pemerintah provinsi belum punya peraturan daerah khusus yang mengatur perencanaan, peruntukan, dan pertanggungjawaban dana otsus.

Dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan untuk penggunaan dana otsus tahun 2010, masih ditemukan sejumlah dana tidak jelas atau tidak tepat digunakan. Beberapa terindikasi diselewengkan. Tidak mengherankan jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai pengelolaan dana otsus tidak efektif.

Saat ini, pemerintah menawarkan kebijakan baru, yakni percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat. Akankah itu menjawab? Atau sebaliknya justru menambah luka baru?
(B Josie Hardianto/ Erwin EdhiPrasetya/ Timbuktu Harthana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar