LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
Memperhitungkan
Kebangkitan
Perekonomian
Daerah
Sumber : KOMPAS, 16 Desember
2011
Jika menyusuri wilayah-wilayah Indonesia
bagian timur, dengan cepat Anda akan menemukan kehausan sebagian besar orang
untuk menjadi pegawai negeri sipil dan politisi. Hal itu amat mencolok.
Jalur pegawai negeri sipil, partai politik,
dan anggota DPRD sangat memukau publik karena dua jalur ”profesi” itu paling
terlihat dominan di masyarakat. Mereka cepat kaya dan, karena itu, menimbulkan
kelaparan jiwa di tengah dera kemiskinan.
Ironisnya, muncul kecenderungan berlawanan
yang serentak: birokrasi pemerintah dan politisi selalu absen, tidak hadir
untuk membela dan menyejahterakan rakyat.
Fakta negatif-kontradiktif inilah yang
menggerogoti sendi-sendi berbangsa di wilayah-wilayah nun jauh di sana. Anda
mungkin sependapat; gejala itu—absennya negara secara telak—sebenarnya mewabah
di seluruh wilayah negeri ini.
Pendek kata, masyarakat terus dibiarkan
berjuang sendirian. Tidak ditemani, tidak dibina, dan tidak didukung, tetapi
justru diperas. Cara melihatnya gampang. Lihat saja bagaimana kinerja para
menteri secara umum dan dinas-dinas. Apa mereka turun ke lapangan dan konsisten
mengawal pemberdayaan?
Jangan-jangan rekaman ”sejarah suram” seperti
itulah yang menggerakkan kesadaran publik kemudian membelokkan otonomi
pemerintahan jadi kebablasan? Padahal, kalau kita saksama mengamati, aduhai...
betapa dahsyat potensi alam, kreativitas dan kecerdasan sumber daya manusia
kita, serta betapa unik warisan tradisi lokal dan filosofi entitas-entitas
Indonesia Raya ini.
Sebagai contoh, keinginan pemerintah
mempunyai pabrik garam di sejumlah provinsi sejak beberapa tahun lalu sampai
sekarang nol hasilnya. Deklarasi kemandirian pangan dan daging ternak karena
potensi ternak kita yang besar di sejumlah daerah cuma wacana angin lalu. Belum
lagi kekayaan tambang dari Papua sampai Aceh, hortikultura,
dan industri kelautan tidak jelas ujung
pangkalnya karena tak pernah ada grand design-nya. Ironis sekali. Negeri bahari
dan negeri agraris ini saban tahun terus mengimpor garam, ikan asin, beras, dan
ternak.
Sebutlah Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur.
Anda pasti tidak mengenalnya. Sumba adalah salah satu cermin lemahnya birokrasi
kita. Dua bandara di Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, dan Tambolaka, Kabupaten
Sumba Barat Daya (yang sedang dibenahi), kondisinya sebenarnya di bawah
standar. Jadwal penerbangan tidak tertib, padahal pasar pengguna jasa
penerbangan begitu besar. Begitu juga dermaga feri di Sumba Barat Daya yang terbengkalai
akibat lemahnya koordinasi dan tak adanya grand design transportasi negara
kepulauan dengan banyak silang atribusi yang memang unik itu.
Pulau Sumba dengan potensi ”ekspor” kuda,
kerbau, dan sapi rata-rata total 800 ekor per bulan cuma tinggal tunggu waktu
mengalami krisis ternak. Konsumsi daging kuda, kerbau, dan sapi di luar Sumba
terus meningkat, tetapi pengembangan populasi ternak nyaris tidak digarap.
Perihal tenun Sumba yang terkenal indah,
kerajinan parangnya yang unik, serta warisan budaya Marapu yang mewarnai
seluruh perilaku masyarakat Sumba bagaikan intan yang terkubur lumpur.
Potensial dan menawan, tetapi secara umum tidak menolong menyejahterakan
penduduknya dan tidak pula terakses oleh pasar. Apa penyebab utama semua
kemandekan dan menciutnya seluruh energi masyarakat tadi? Seperti kami jelaskan
di atas, yaitu tidak hadirnya birokrasi pemerintah yang memang seharusnya
bertanggung jawab menyejahterakan rakyat. Lebih khusus lagi, tidak ada sama
sekali gagasan membangun center point—pusat-pusat produksi dan reproduksi cara
mempertahankan kehidupan—dan pada akhirnya menjadi jaringan ”hilir-hulu”
(peradaban sekadar) agar masyarakat bisa bertahan. Ini semua tidak ada di
daerah!
”Kami harus mulai dari mana, Bapak? Padahal,
kami sebenarnya memilikinya,” kata Hendrik Pali (64), pengusaha dan pemimpin
Sanggar Tari Ori Angu, di Waingapu, Sumba Timur. Istrinya, Yuli Emu Lindi Jawa
(61), adalah perintis kerajinan tenun Sumba serta pengusaha pakaian khas Sumba
dan material bangunan. Hendrik kesal terhadap perilaku birokrasi di daerah yang
bukannya membina, melainkan justru memanipulasi nama sanggar Hendrik untuk
mengirim misi kesenian ke luar negeri. ”Padahal, grup kami tidak diajak,” kata
Hendrik.
”Mereka selalu menggunakan kami untuk
kepentingan mereka,” ujar Umbu Angga (35), ahli waris dan aktivis komunitas
budaya rumah adat Rindi, di Sumba Timur.
Pengabaian terhadap hajat hidup rakyat banyak
juga terlihat dalam kasus sawit di Kalimantan dan Sumatera yang kini booming.
Di Kalimantan Barat (Kalbar), pada tahun 2011 tercatat luas perkebunan kelapa
sawit mencapai 700.000 hektar dengan 400.000 hektar di antaranya berproduksi.
Namun, dari produksi 1 juta ton minyak sawit per tahun dari Kalbar, 60 persen
di antaranya diangkut ke Malaysia untuk diolah karena Kalbar tidak memiliki
pabrik pengolah minyak sawit. Kalbar hanya menjadi basis perkebunan dengan
nilai tambah sangat kecil. Sementara Malaysia memiliki pabrik itu. Kalbar juga
kehilangan potensi pendapatan pajak ekspor Rp 200 miliar per tahun karena tidak
memiliki pelabuhan internasional yang bisa memungut pajak ekspor.
Menggembirakan jika potensi perekonomian
rakyat bisa tumbuh besar tanpa campur tangan pemerintah. Saatnya wacana
ketidaktergantungan pada bantuan pemerintah kita kibarkan. Meski demikian, pemerintah
tetap harus bertanggung jawab atas penderitaan dan kemiskinan rakyatnya. Di
Kabupaten Sanggau, Kalbar, misalnya, muncul industri pakan ikan air tawar
maggot berbahan baku larva lalat hutan. Di Desa Negeri Baru, Kabupaten
Ketapang, juga muncul kerajinan tangan berbahan lupu (sejenis rotan kasar)
beberapa tahun terakhir. Di Pontianak, korban kerusuhan etnis di Sambas dan
mantan pekerja kayu kini belajar membuat kerajinan akar keladi.
Kelompok Tani Anggur Amartha Nadi, Kabupaten
Buleleng, Bali, mengolah buah anggur Buleleng menjadi kopi bubuk biji anggur,
jus anggur, serta dodol anggur. Namun, Wali Kota Denpasar Ida Bagus Rai
Dharmawijaya mengaku tak mudah mengajak masyarakat berwirausaha. Ia mencatat,
dibutuhkan ketelatenan untuk itu. Ini persis catatan Wali Kota Solo Joko Widodo
dan Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto. Telaten, setia, dan jujur.
Sejumlah kota di Jawa Timur bisa jadi model
ketelatenan itu. Kepala Dinas Koperasi Industri dan Perdagangan Lamongan
Mubarok menjelaskan, Lamongan memiliki 12.337 unit usaha kecil dan menengah
(UKM) serta menyerap tenaga kerja 22.145 orang. Di Gresik, ada Klinik
Konsultasi Bisnis sejak tahun 2006, tetapi sayang kini terbengkalai.
Padahal,
klinik tersebut telah mengembangkan UKM kluster dengan sentra industri camilan,
rotan, kopiah, dan makanan khas Gresik. Lamongan juga memiliki Pusat Informasi
UKM dan Pusat Komunikasi Kreatif.
●
(HRD/AHA/ACI/AYS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar