Kamis, 08 Desember 2011

Industrialisasi dan Impor Ikan

Industrialisasi dan Impor Ikan
Arif Satria, DEKAN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA IPB
Sumber : KOMPAS, 8 Desember 2011


Ada dua isu menarik yang ditawarkan menteri kelautan dan perikanan yang baru, Sharif Cicip Sutardjo. Pertama, akselerasi industrialisasi perikanan. Sebagai negara produsen ikan terbesar ketiga di dunia, mestinya Indonesia bisa menjadi negara industri perikanan yang tangguh. Faktanya, kita masih jauh dari Thailand dalam industri pengolahan. Padahal, produksi ikan Thailand jauh di bawah kita. Kedua, pemberlakuan buka-tutup impor ikan, yang sebenarnya selama ini sudah berlangsung, untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahan yang saat ini produksinya kurang dari 50 persen kapasitas terpasang.

Dua isu ini berhubungan. Tak mungkin industrialisasi perikanan didorong, sementara utilitas industri pengolahan dibiarkan kurang dari 50 persen. Namun, tampaknya solusi membuka keran impor masih kontroversial karena ada kekhawatiran penyalahgunaan izin impor oleh pengusaha yang menyebabkan bocornya produk impor ke pasar lokal sehingga mengganggu produk nelayan. Pertanyaannya, bagaimana desain industrialisasi perikanan dan sejauh mana relevansi impor.

Desain Industrialisasi

Ada dua perspektif industrialisasi perikanan. Pertama, industrialisasi perikanan dalam arti sempit, yakni membangun pabrik-pabrik pengolahan ikan, yang tujuannya meningkatkan produksi ikan olahan, baik untuk pasar domestik maupun ekspor. Dengan demikian, yang terpenting pertumbuhan produksi terjadi, siapa pun pelakunya dan dari mana pun sumber bahan bakunya. Perspektif ini mirip gaya foot-loose industry yang menjadi ciri industrialisasi di Indonesia selama ini.

Kedua, industrialisasi perikanan dalam arti luas, yakni transformasi ke arah perikanan yang bernilai tambah. Tujuannya, meningkatkan nilai tambah produksi perikanan lokal yang dinikmati para pelaku usaha kecil dan menengah. Yang terpenting adalah transformasi pelaku di hulu ataupun hilir sehingga nelayan dan pembudidaya ikan juga menjadi bagian penting dalam proses ini.

Karena itu, industrialisasi tak sekadar membangun pabrik, tetapi lebih pada terciptanya sistem yang menjamin meningkatnya mutu produk perikanan nelayan dan pembudidaya ikan yang bernilai tambah, berkelanjutan, dan menyejahterakan. Dengan demikian, industri tak semata teknologi, tetapi orientasi nilai budaya baru. Perspektif ini mirip resources-based industry, di mana industri mengait pada sumber daya lokal sehingga pelaku lokal di hulu terlibat secara dalam dan karena itu keberlanjutan sumber daya jadi penting untuk menjamin keberlanjutan produksi.

Apabila perspektif pertama agak dekat dengan model liberal-teknokratik yang bertumpu pada pelaku besar saja, perspektif kedua merupakan wujud model tekno-populis yang melindungi yang kecil, mengembangkan yang menengah, dan mendorong yang besar. Jepang dan negara-negara Skandinavia mengembangkan model tekno-populis ini. Kultur industri telah melekat pada nelayan mereka tanpa harus kehilangan identitas budaya.

Nah, persoalannya adalah perspektif mana yang akan dipilih pemerintah. Pilihan ini akan sangat menentukan kebijakan yang akan diambil. Kalau pemerintah sudah menempatkan pro-job, pro-growth, pro-poor, dan pro-environment sebagai motonya, tentu perspektif kedua yang lebih tepat. Oleh karena itu, perlu desain besar industrialisasi perikanan sehingga langkah-langkah industrialisasi merupakan upaya sistematis memajukan sektor ini secara komprehensif (produksi primer, pengolahan, perdagangan, pengelolaan sumber daya, dan pengembangan sumber daya manusia serta teknologi) melalui tahapan jangka pendek, menengah, dan panjang yang terukur. Ini termasuk posisi kawasan pedesaan pesisir dalam desain industrialisasi.

Impor Ikan

Perspektif baru ini mensyaratkan bahwa nilai tambah juga harus dinikmati para pelaku hulu sehingga upayanya adalah memaksimalkan bahan baku industri dari sumber daya lokal. Berkaitan dengan rencana jangka pendek pemerintah untuk membuka keran impor, beberapa hal perlu diperhatikan. Pertama, secara obyektif perlu dipetakan berapa kebutuhan industri, berapa kemampuan suplai di berbagai wilayah, dan berapa kebutuhan impor. Yang kritis memang angka produksi. Bisa saja produksi melimpah di suatu tempat, tetapi langka di daerah lain.

Ini bermasalah karena distribusi keberadaan unit pengolahan ikan (UPI) tak merata, bahkan masih terkonsentrasi di Jawa. Jadi, agendanya adalah bagaimana menciptakan sistem informasi produksi dan pasar perikanan lintas wilayah yang mampu mendeteksi produksi serta kebutuhan pasar setiap wilayah dengan tepat. Perlu dicatat, data produksi selama ini belum akurat karena sedikit sekali institusi tempat pelelangan ikan (TPI) di daerah yang berfungsi, padahal TPI adalah salah satu sumber data produksi terbaik.

Kedua, secara ekonomi-politik harus dipahami impor tidaklah netral sekadar hitung-hitungan ekonomi langka atau tidaknya bahan baku, tetapi ternyata bisa sarat kepentingan para importir. Ini terbukti dengan adanya penyalahgunaan izin oleh pengusaha sehingga bocor ke pasar lokal (Kompas, 6/12/2011). Ini gambaran bahwa ruang perdagangan kita tak hampa permainan, tetapi juga ada kepentingan perburuan rente. Pemerintah mesti jeli melihat masalah ini dan pada saat yang sama memperkuat sistem pengawasan.

Perlu dikaji mendalam rencana pemerintah mengimpor ikan. Efek psikologis nelayan akibat impor pun perlu diperhatikan. Pada saat yang sama, insentif peningkatan produksi harus didorong sehingga nelayan dan pembudidaya kembali bergairah. Ini juga diiringi pengembangan gudang-gudang penyimpanan ikan di daerah dan efisiensi pengangkutan untuk atasi ketimpangan produksi antarwilayah. Begitu pula perlu dikembangkan UPI di sentra-sentra produksi perikanan di wilayah timur Indonesia dengan pendekatan kawasan. Semua itu perlu desain industrialisasi kuat dan dukungan lintas sektor sehingga industrialisasi perikanan yang terbangun sangat kokoh dan dapat benar-benar menjadi pilar kemajuan bangsa bahari kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar