Gerakan
Politik Fundamentalisme
(Reportase
Ceramah Thomas Meyer)
Saidiman Ahmad, AKTIVIS
JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber : JIL, 9 Desember 2011
Fundamentalisme
tidak terkait dengan satu agama. Ia ada pada semua agama. Demikian Prof. Dr.
Thomas Meyer (Universitas Dortmund, Jerman) mengenai salah satu karakter
fundamentalisme. Pandangan itu dikemukakan dalam ceramah dan diskusi publik
bertajuk “What is Fundamentalism?” 22 November 2011. Acara ini diselenggarakan
oleh Jaringan Islam Liberal berkerjasama dengan Friedrich Ebert Stiftung.
Selain Thomas Meyer, hadir pula Ulil Abshar-Abdalla sebagai pembanding.
Pada
kesempatan itu, Thomas Meyer mengemukakan Sembilan karakter fundamentalisme.
Pertama, fundamentalisme merupakan gejala yang ada di semua agama. Ia tidak
terkait dengan agama tertentu. Bahkan sebenarnya fundamentalisme hanya salah
satu cara memahami agama.
Kedua,
fundamentalisme lebih sebagai ideology politik ketimbang agama. Dalam banyak
sekali kasus, nuansa politik gerakan fundamentalisme sangat kuat. Mereka
membangun framing ketertindasan ummat yang kemudian mereka jadikan kerangka
gerakan. Mereka mendesakkan suatu sistem politik baru. Tak jarang di antara
mereka bermetamorfosis menjadi partai politik dan ikut serta dalam pemilihan
umum yang demokratis.
Bagi
Meyer, fundamentalisme sesungguhnya adalah bagian dari modernitas. Ia merupakan
respon langsung terhadap modernism. Ia adalah bentuk modern dan
anti-modernisme. “Fundamentalis is a modern form of anti-modernism,” tegas
Meyer.
Karakter
ketiga fundamentalisme, menurut Meyer, adalah bahwa ia lahir sebagai respon
terhadap krisis. Ada pengandaian bahwa dunia sekarang ini sedang berada pada
situasi kacau balau baik secara ekonomi, politik, maupun budaya. Krisis
kepemimpinan dalam segala ranah kehidupan itulah yang mendorong lahirnya
gerakan fundamentalisme.
Keempat,
fundamentalisme ditandai dengan suatu prinsip superioritas diri atas yang lain.
Di sini politik identitas mewujud. Kaum fundamentalis selalu merasa diri
mengatasi yang lain. Mereka menganggap diri sebagai yang paling benar, yang
paling saleh, yang paling lurus. Selebihnya adalah kesesatan dan penyimpangan.
Meyer
juga menyebut, kelima, bahwa ciri yang kuat pada fundamentalisme adalah mereka
begitu anti dan membenci kampanye kesetaraan gender dan pluralisme. Itulah yang
menjelaskan kenapa semua gerakan fundamentalisme selalu menyasar pengungkungan
terhadap perempuan. Peraturan-peraturan yang mereka desakkan hampir selalu
berkaitan dengan bagaimana perempuan diatur. Mereka begitu bebal dan tak mau
menerima gagasan bahwa pada dasarnya semua manusia sama apapun latar belakang
seks dan budayanya.
Ciri keenam dari fundamentalisme, menurut Meyer, adalah resistance identity.
Ini yang kemudian menjustifikasi kenapa gerakan fundamentalisme selalu mengarah
pada totalitarianism. Ciri ketujuh adalah bahwa fundamentalisme selalu
melakukan penolakan terhadap identitas dan menolak budaya demokrasi.
Kedelapan,
kaum fundamentalis merasa terjebak dalam ketidak-amanan. Ini pula yang biasa
disebut sebagai mental terkepung. Ada kekuatan di luar sana yang mereka sangka
akan menghancurleburkan mereka. Akibatnya, mereka sangat reaktif dan acapkali
agressif.
Meyer
menjelaskan bahwa bahwa demokrasi bukanlah majoritarian rule melainkan rule of
law. Memang betul bahwa ada pemilihan umum. Tapi bukan berarti penguasa
terpilih harus selalu menjalankan amanat kelompok mayoritas. Demokrasi justru
memilih pemimpin untuk bergerak dalam koridor hukum. Rule of law adalah unsur
paling penting dalam demokrasi. Kaum fundamentalis dicirikan, kesembilan, oleh
penolakannya terhadap rule of law. “Jika kau ingin menyaksikan bahwa semua
orang bisa menjalankan ibadah secara bebas, maka yang pertama yang harus
ditegakkan adalah rule of law,” demikian Meyer. Meyer mencontohkan bagaimana
kekuatan fundamentalis tahun 1920-an dan 1930-an di Jerman begitu kuat dan
mereka menegakkan suatu demokrasi mayoritarianisme yang tak lain adalah
totalitarianisme.
Ulil
Abshar-Abdalla memberi tanggapan atas paparan Prof. Meyer. Menurut Ulil, ada
kesamaan antara fundamentalisme Islam dan komunisme serta Marxisme. Fundamentalisme
Islam ditandai dengan klaim ideology komprehensifnya. Semua hal hendak diatur.
Semua hal hendak dikontrol.
Hal
lain, menurut Ulil, yang menarik adalah bahwa gerakan fundamentalisme (terutama
Islam) pada praktiknya sangat terobsesi untuk mengatur wilayah privat, bukan
wilayah publik. Kampanye yang mereka usung sejauh ini justru sangat didominasi
oleh isu-isu ruang privat, misalnya moralitas, pakaian perempuan, minuman
keras, perzinahan, dan seterusnya. Mereka justru tidak terlalu peduli dengan persoalan
publik.
Prof.
Meyer menimpali bahwa sebenarnya kaum fundamentalis ingin mendominasi kehidupan
publik untuk mengatur kehidupan privat.
Ulil
menegaskan bahwa apa yang disebut sebagai gerakan fundamentalisme adalah suatu
realitas yang sungguh-sungguh dinamis. Idealisasi dari kaum fundamentalis
ternyata tidak terbukti dalam realitas kehidupan politik. Ketika para
fundamentalis terjun ke dunia politik, mereka tak bisa menghindarkan diri dari
kompromi sebagaimana yang lazim terjadi di dunia politik praktis.
Pada
intinya, Ulil hendak menyatakan bahwa fundamentalisme adalah barang yang terus
bergerak dan berubah. Ia tidak diam di tempat dan membatu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar