LAPORAN AKHIR TAHUN 2011 TENTANG METROPOLITAN
Rasa
Terasing dan Cari Jalan Pintas
Sumber : KOMPAS, 15 Desember
2011
Kejahatan di angkot dan bertambahnya angka
bunuh diri kaum menengah ke atas pada tahun ini menjadi babak baru peristiwa
kriminal Jakarta.
Kamis (1/9), RS (27), seorang karyawati,
diperkosa saat pulang bekerja. Malam itu, di atas angkot D-02 jurusan Pondok
Labu-Ciputat, Jakarta Selatan, perempuan itu ”digilir” empat pemerkosa yang
tidak lain adalah awak angkot itu. Sebelumnya, Selasa (16/8), jenazah mahasiswi
Bina Nusantara, Livia (21), ditemukan di Cisauk, Kabupaten Tangerang. Terungkap
kemudian korban dirampok, diperkosa, dan dibunuh empat sopir tembak mikrolet
M-24, Slipi-Srengseng.
Dinas Perhubungan DKI Jakarta bereaksi dengan
seragam dan identitas resmi sopir angkot. Harapan mereka tidak akan ada lagi
sopir tembak yang menjadi sumber kejahatan di angkot.
Ironisnya, di tengah operasi, sopir tembak
angkot dengan nomor polisi B 2945 WT, Apriyansyah (16), teler setelah menenggak
minuman keras dan empat butir tablet perangsang.
Pria tanpa surat izin mengemudi yang cuma
jebolan SD ini tertidur di atas kemudi kendaraan yang berhenti di persimpangan
Jalan Otto Iskandardinata, Jatinegara, sehingga membuat macet lalu lintas.
Masih Sebatas Atribut
Kasus Apriyansyah menunjukkan, langkah
Pemerintah DKI masih cuma sebatas atribut, dan tidak menyelesaikan akar masalah
sopir tembak. Sopir tembak menjamur sejak jumlah angkot melebihi kebutuhan
penumpang. Para sopir resmi menjadi sulit membayar setoran harian kepada para
pemilik angkot.
Untuk memperoleh pendapatan lebih banyak,
para sopir resmi menggunakan beberapa sopir tembak. Dengan demikian, waktu
bekerja bisa lebih panjang. Untuk menekan biaya, para sopir resmi menggunakan
anak-anak jalanan. Sopir resmi senang, anak-anak jalanan pun senang karena
tidak lagi mendapat sebutan penganggur, tetapi pekerja.
Dengan kenyataan seperti ini, langkah yang
seharusnya dilakukan Pemerintah DKI adalah menghitung kembali kebutuhan angkot
di setiap trayek. Caranya mudah. Survei pendapatan sopir dan pemilik angkot.
Soal bisnis pemilik angkot, patokannya adalah
angka rata-rata bunga pinjaman bank berbanding nilai investasi angkot. Patokan
untuk sopir angkot adalah pendapatan yang ia bawa pulang setelah dipotong
setoran dan biaya operasional. Selama pendapatan sopir mampu memenuhi kebutuhan
minimalnya, ia tidak akan menggunakan sopir tembak. Kebutuhan minimal itu
adalah kebutuhan makan keluarga dan biaya kontrak rumah.
Bunuh Diri
Sejak Januari sampai awal Desember 2011,
sekurangnya ada enam pelaku bunuh diri dari lingkungan menengah ke atas di
Jakarta. Sabtu (12/2), Siti Nazmatu Sadiah (22) terjun dari lantai 22 Essence
Darmawangsa, Jakarta Selatan. Rabu (3/3), Innawati Kusumo (52) meloncat dari
lantai 21 Apartemen Mediterania Regency, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Sabtu
(24/9), Steven Wijaya (23) terjun dari lantai 24 Salemba Residence, Jakarta
Pusat. Minggu (21/11), Indah Haspriantini meloncat dari lantai tiga ruko di
Kompleks Apartemen Pallazo, Kemayoran, Jakpus.
Selasa (23/11), Caroline Oktavianie Tamboto
(19) terjun dari lantai sembilan Kondominium Golf Karawaci Town Richmond, dan
terakhir, Minggu (4/12), Kevin (21) melompat dari lantai 10 areal parkir mal
timur Grand Indonesia. Dibanding jumlah total pelaku bunuh diri, jumlah pelaku
bunuh diri dari kalangan menengah ke atas masih kurang dari 10 persen. Polda
Metro Jaya mencatat, tahun 2009, jumlah pelaku bunuh diri 165 orang, tahun 2010
naik menjadi 176 orang.
Meski tidak ada penjelasan mengenai kategori
kelas ekonomi dan sosial para pelaku dalam catatan tersebut, bisa diduga para
pelaku nyaris seluruhnya berasal dari kelas menengah ke bawah. Hal ini, antara
lain, bisa dilihat dari identitas dan latar belakang pelaku yang menghadapi
tekanan ekonomi. Mereka umumnya memilih terjun dari menara-menara pemancar,
melompat dari jembatan, minum racun, menggantung atau membakar diri.
Kohesi Sosial
Para pelaku dari golongan menengah ke atas
memilih cara yang nyaris seragam, melompat dari mal, apartemen, atau bangunan
tinggi lainnya. Meski relatif bebas dari tekanan ekonomi, mereka menghadapi
persoalan eksistensi diri, seperti merasa teralienasi atau merasa hidup sia-sia
karena kehadirannya tidak lagi dianggap berarti bagi orang lain.
Ada berbagai sebab yang membuat manusia
mengalami perasaan seperti itu. Meski demikian, semuanya bermuara pada
melemahnya kohesi sosial.
Kohesi sosial melemah, antara lain, karena
kian mengecilnya ruang untuk saling menyapa, saling berbagi, dan membuka diri
dengan sesama. Ruang-ruang itu mengecil oleh persaingan dan pola kerja,
prosedur resmi, hedonisme, sikap ortodoks, serta kian canggihnya alat
telekomunikasi yang membuat manusia merasa jauh meski dekat.
Oleh sebab itu, persoalan ini menjadi hal
mendasar yang harus dibahas. Kita bisa memulai bagaimana semua pihak
meminimalkan rasa alienasi warga di perkotaan yang kian menguat. ●
(WINDORO
ADI/RATIH PRAHESTI SUDARSONO/ COKORDA YUDISTIRA/ MADINA NUSRAT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar