Catatan
untuk Sondang
Samdysara Saragih, MAHASISWA JURUSAN TEKNIK FISIKA ITS
SURABAYA
Sumber
: REPUBLIKA, 14 Desember
2011
Belum genap setahun aksi bakar diri pemuda
Tunisia bernama Mohamed Bouazizi yang dilakukan pada 17 Desember 2010, aksi
yang mirip juga terjadi di Indonesia. Adalah seorang mahasiswa Universitas Bung
Karno Jakarta bernama Sondang Hutagalung yang melakukannya di depan Istana
Merdeka pada Rabu, 7 Desember lalu. Sampai sekarang, tidak jelas motif utama
yang melatarbelakangi tindakannya itu. Dan sepertinya, ini akan terus jadi
pertanyaan karena pada Sabtu (10/12), nyawanya tidak tertolong.
Sebagai seorang berlatar belakang mahasiswa cum aktivis, banyak yang menduga aksinya itu punya muatan politik. Beberapa di antaranya mengatakan, Sondang kecewa karena berbagai aksinya tidak ditanggapi oleh pemerintah. Salah satu contoh ialah dalam penanganan hukum atas kasus pelanggaran HAM yang terjadi selama ini.
Tapi, yang kemudian jadi pertanyaan penting adalah: apakah Sondang memang berniat menjadikan dirinya sebagai martir untuk membangkitkan gerakan rakyat, seperti terjadi di Tunisia? Apalagi, momentun aksinya itu dilakukan menjelang peringatan Hari Antikorupsi yang jatuh pada 9 Desember dan Hari HAM sedunia 10 Desember. Dua tahun lalu, masyarakat antikorupsi melancarkan unjuk rasa besar-besaran di depan Istana Merdeka sampai-sampai presiden perlu 'mengasingkan diri' ke luar kota.
Bisa jadi, sebagai aktivis yang paham dalam psikologi 'aksi massa', Sondang menginginkan hal yang sama terjadi pada tahun ini. Malah lebih besar dengan momentum kematiannya. Dari situ, aksi bisa menjalar lebih luas hingga kalau perlu menjadikan pemerintahan SBY-Boediono seperti rezim Ben Ali yang akhirnya jatuh.
Jika benar dugaan ini, 'eksperimen' Sondang dengan sendirinya telah gagal. Aktivis dan mantan aktivis menanggapi dingin pelancaran aksi besar-besaran. Pemimpin politik yang nyata-nyata bisa memanfaatkan situasi ini pun terkesan tidak bereaksi macam-macam.
Media massa menjadikannya berita 'kelas dua' yang tidak berpretensi menghasut sama sekali. Dengan kata lain, boro-boro jadi martir, malah banyak yang menganggapnya sebagai sebuah kebodohan. Sama dengan bunuh diri gara-gara putus cinta atau kelaparan.
Berkat Demokrasi?
Pertanda apakah ini? Bisakah kita mengatakan bahwa rakyat Indonesia menikmati demokratisasi sedemikian rupa sehingga sebuah people power dirasa tidak perlu? Bisa jadi ya! Kaum oposan tentu percaya sejelek-jeleknya pemerintah, mereka masih bisa mengadakan koreksi terhadapnya. Masih banyak ruang konstitusional yang bisa digunakan untuk, katakanlah dalam bentuk paling ekstrem, menjatuhkan pemerintahan yang korup dan inkonstitusional. Dan, yang lebih penting lagi, rezim ini toh akan berakhir secara alami lewat pemilihan umum.
Para mantan aktivis sadar, apabila cara seperti 13 tahun lalu kembali digunakan, dengan sendirinya reformasi telah gagal. Ketika mereka dulu berjuang, yang ada dalam kepala mereka tentu supaya cara-cara 'parlemen jalanan' tidak perlu ada jika lembaga negara bisa memainkan peranannya. Jangan sampai cara yang sama terus berulang. Seperti yang pernah dikatakan mantan aktivis 1990-an Budiman Soedjatmiko, jangan sampai 'kutukan Mpu Gandring' berlaku.
Lagi pula, dalam alam demokratis ini, pilar keempat demokrasi, yakni pers masih memainkan perannya dengan maksimal. Bermacam kritikan, opini, anekdot, kartun bernada kecaman terhadap pemerintah hadir setiap hari di media-media cetak dan elektronik Indonesia. Meski tidak semuanya direspons oleh pemerintah, baik di pusat maupun daerah, tapi tidak sedikit pula yang langsung mendapat tanggapan dan tindakan. Pemerintah sendiri membiarkan semua kebebasan ini tanpa berkeinginan mengulangi masa-masa kelam rezim Orde Baru.
Dalam alam demokratisasi seperti ini, tentu pikiran-pikiran untuk mengadakan revolusi disingkirkan sementara waktu. Hal inilah yang membedakan mengapa di Tunisia, kematian Bouazizi bisa memantik emosi rakyat. Di bawah rezim tiran Ben Ali, kebebasan dipasung. Musuh politik disingkirkan serta pers dibatasi. Ditambah lagi kondisi perekonomian warga yang terpuruk.
Lagi-lagi, kecuali yang terakhir, Indonesia jelas berbanding terbalik dengan Tunisia. Hak mengeluarkan pendapat entah lewat lisan maupun tulisan, dijamin oleh undang-undang. Filosof Friedrich Hegel (1770-1831) ketika menjadi profesor di Universitas Berlin mengatakan, apabila hak rakyat bersuara tidak dipasung, maka keinginan untuk memberontak dengan kekerasan terhadap pemerintah akan teredam secara alami (Marsilam Simanjuntak, 1996).
Inilah yang menjadi filosofi dasar demokrasi supaya jatuh bangunnya pemerintahan terjadi bukan lewat revolusi melainkan cara-cara damai. Rakyat dapat menghukum pemimpinnya lewat pemilu.
Konsekuensi logis dari hal ini adalah pemerintah mau tak mau harus membuka daun telinga dan hatinya lebar-lebar guna mendengar suara rakyat. Suara rakyat sudah diadagiumkan sama dengan suara Tuhan: vox populi vox dei. Sebagai pengemban amanat, pemimpin wajib mendengar suara rakyat layaknya mendengar wangsit dari Yang Atas.
Tanpa perlu berdemonstrasi, apalagi sampai bunuh diri, pemimpin sudah seharusnya tahu mana yang harus dikerjakannya. Aksi unjuk rasa sangat dibolehkan dalam sistem demokrasi. Tapi, semakin banyaknya rakyat yang turun ke jalan itu adalah pertanda bahwa pilar-pilar utama demokrasi lagi sakit. Bahwa lembaga negara tidak menjalankan perannya dengan maksimal.
Pemerintahan SBY-Budiono beruntung mereka dipilih dalam sistem demokrasi dengan 60 persen suara rakyat. Sampai sekarang tidak ada kondisi bergolak berarti yang dapat mengusik pemerintahannya akibat aksi one man show Sondang. Orang-orang masih pergi ke mal, berekreasi, dan menonton pertandingan seru olahraga di televisi.
Mungkin ini tidak dibayangkan oleh Sondang sendiri. Atau, jangan-jangan justru dia sengaja mau lari dari ini semua. Bahwa dunia ini sungguh tidak adil dan dia tak sanggup untuk melihat ketidakadilan itu tanpa berbuat apa-apa. Dia frustrasi seperti halnya seorang ibu di Jakarta yang membakar diri sendiri dan anaknya gara-gara tidak punya uang untuk beli makanan.
Bedanya, barangkali, tindakan Sondang punya pesan politik, sedang orang yang tidak bakar diri di depan Istana hanya dianggap efek sosial-psikologis biasa. Tapi, dalam negara demokratis, pemerintah wajib memandang kedua kejadian ini secara sama bahwa mereka untuk sementara gagal dalam memenuhi keinginan rakyat! ●
Sebagai seorang berlatar belakang mahasiswa cum aktivis, banyak yang menduga aksinya itu punya muatan politik. Beberapa di antaranya mengatakan, Sondang kecewa karena berbagai aksinya tidak ditanggapi oleh pemerintah. Salah satu contoh ialah dalam penanganan hukum atas kasus pelanggaran HAM yang terjadi selama ini.
Tapi, yang kemudian jadi pertanyaan penting adalah: apakah Sondang memang berniat menjadikan dirinya sebagai martir untuk membangkitkan gerakan rakyat, seperti terjadi di Tunisia? Apalagi, momentun aksinya itu dilakukan menjelang peringatan Hari Antikorupsi yang jatuh pada 9 Desember dan Hari HAM sedunia 10 Desember. Dua tahun lalu, masyarakat antikorupsi melancarkan unjuk rasa besar-besaran di depan Istana Merdeka sampai-sampai presiden perlu 'mengasingkan diri' ke luar kota.
Bisa jadi, sebagai aktivis yang paham dalam psikologi 'aksi massa', Sondang menginginkan hal yang sama terjadi pada tahun ini. Malah lebih besar dengan momentum kematiannya. Dari situ, aksi bisa menjalar lebih luas hingga kalau perlu menjadikan pemerintahan SBY-Boediono seperti rezim Ben Ali yang akhirnya jatuh.
Jika benar dugaan ini, 'eksperimen' Sondang dengan sendirinya telah gagal. Aktivis dan mantan aktivis menanggapi dingin pelancaran aksi besar-besaran. Pemimpin politik yang nyata-nyata bisa memanfaatkan situasi ini pun terkesan tidak bereaksi macam-macam.
Media massa menjadikannya berita 'kelas dua' yang tidak berpretensi menghasut sama sekali. Dengan kata lain, boro-boro jadi martir, malah banyak yang menganggapnya sebagai sebuah kebodohan. Sama dengan bunuh diri gara-gara putus cinta atau kelaparan.
Berkat Demokrasi?
Pertanda apakah ini? Bisakah kita mengatakan bahwa rakyat Indonesia menikmati demokratisasi sedemikian rupa sehingga sebuah people power dirasa tidak perlu? Bisa jadi ya! Kaum oposan tentu percaya sejelek-jeleknya pemerintah, mereka masih bisa mengadakan koreksi terhadapnya. Masih banyak ruang konstitusional yang bisa digunakan untuk, katakanlah dalam bentuk paling ekstrem, menjatuhkan pemerintahan yang korup dan inkonstitusional. Dan, yang lebih penting lagi, rezim ini toh akan berakhir secara alami lewat pemilihan umum.
Para mantan aktivis sadar, apabila cara seperti 13 tahun lalu kembali digunakan, dengan sendirinya reformasi telah gagal. Ketika mereka dulu berjuang, yang ada dalam kepala mereka tentu supaya cara-cara 'parlemen jalanan' tidak perlu ada jika lembaga negara bisa memainkan peranannya. Jangan sampai cara yang sama terus berulang. Seperti yang pernah dikatakan mantan aktivis 1990-an Budiman Soedjatmiko, jangan sampai 'kutukan Mpu Gandring' berlaku.
Lagi pula, dalam alam demokratis ini, pilar keempat demokrasi, yakni pers masih memainkan perannya dengan maksimal. Bermacam kritikan, opini, anekdot, kartun bernada kecaman terhadap pemerintah hadir setiap hari di media-media cetak dan elektronik Indonesia. Meski tidak semuanya direspons oleh pemerintah, baik di pusat maupun daerah, tapi tidak sedikit pula yang langsung mendapat tanggapan dan tindakan. Pemerintah sendiri membiarkan semua kebebasan ini tanpa berkeinginan mengulangi masa-masa kelam rezim Orde Baru.
Dalam alam demokratisasi seperti ini, tentu pikiran-pikiran untuk mengadakan revolusi disingkirkan sementara waktu. Hal inilah yang membedakan mengapa di Tunisia, kematian Bouazizi bisa memantik emosi rakyat. Di bawah rezim tiran Ben Ali, kebebasan dipasung. Musuh politik disingkirkan serta pers dibatasi. Ditambah lagi kondisi perekonomian warga yang terpuruk.
Lagi-lagi, kecuali yang terakhir, Indonesia jelas berbanding terbalik dengan Tunisia. Hak mengeluarkan pendapat entah lewat lisan maupun tulisan, dijamin oleh undang-undang. Filosof Friedrich Hegel (1770-1831) ketika menjadi profesor di Universitas Berlin mengatakan, apabila hak rakyat bersuara tidak dipasung, maka keinginan untuk memberontak dengan kekerasan terhadap pemerintah akan teredam secara alami (Marsilam Simanjuntak, 1996).
Inilah yang menjadi filosofi dasar demokrasi supaya jatuh bangunnya pemerintahan terjadi bukan lewat revolusi melainkan cara-cara damai. Rakyat dapat menghukum pemimpinnya lewat pemilu.
Konsekuensi logis dari hal ini adalah pemerintah mau tak mau harus membuka daun telinga dan hatinya lebar-lebar guna mendengar suara rakyat. Suara rakyat sudah diadagiumkan sama dengan suara Tuhan: vox populi vox dei. Sebagai pengemban amanat, pemimpin wajib mendengar suara rakyat layaknya mendengar wangsit dari Yang Atas.
Tanpa perlu berdemonstrasi, apalagi sampai bunuh diri, pemimpin sudah seharusnya tahu mana yang harus dikerjakannya. Aksi unjuk rasa sangat dibolehkan dalam sistem demokrasi. Tapi, semakin banyaknya rakyat yang turun ke jalan itu adalah pertanda bahwa pilar-pilar utama demokrasi lagi sakit. Bahwa lembaga negara tidak menjalankan perannya dengan maksimal.
Pemerintahan SBY-Budiono beruntung mereka dipilih dalam sistem demokrasi dengan 60 persen suara rakyat. Sampai sekarang tidak ada kondisi bergolak berarti yang dapat mengusik pemerintahannya akibat aksi one man show Sondang. Orang-orang masih pergi ke mal, berekreasi, dan menonton pertandingan seru olahraga di televisi.
Mungkin ini tidak dibayangkan oleh Sondang sendiri. Atau, jangan-jangan justru dia sengaja mau lari dari ini semua. Bahwa dunia ini sungguh tidak adil dan dia tak sanggup untuk melihat ketidakadilan itu tanpa berbuat apa-apa. Dia frustrasi seperti halnya seorang ibu di Jakarta yang membakar diri sendiri dan anaknya gara-gara tidak punya uang untuk beli makanan.
Bedanya, barangkali, tindakan Sondang punya pesan politik, sedang orang yang tidak bakar diri di depan Istana hanya dianggap efek sosial-psikologis biasa. Tapi, dalam negara demokratis, pemerintah wajib memandang kedua kejadian ini secara sama bahwa mereka untuk sementara gagal dalam memenuhi keinginan rakyat! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar