LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
Benang
Kusust yang Belum Terurai
Sumber : KOMPAS, 14 Desember
2011
Reformasi guru yang menyasar 2,9 juta guru TK
hingga SMA/SMK sederajat bergulir sejak tahun 2006 dan akan berlangsung hingga
tahun 2015. Pemerintah menginginkan guru yang profesional.
Guru menjadi perhatian utama karena di
situlah kunci jika ingin kualitas pendidikan secara
nasional meningkat. Perbaikan pun dijalankan dengan mengharuskan
guru memiliki sertifikat sebagai guru profesional. Guru yang ada
saat ini sebagian besar menjalani uji sertifikasi.
Guru yang lolos sertifikasi semestinya
memenuhi syarat sebagai guru yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen. Selain berpendidikan minimal
D-4/S-1 dan bersertifikat guru profesional, guru harus memiliki
kompetensi profesional (keilmuan), kepribadian, pedagogik
(pendidik), dan sosial.
Namun, di tingkat pendidikan saja masih
banyak guru yang terjegal. Dari data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud), hampir 50 persen atau sekitar 1,8 juta guru belum bergelar
sarjana. Sebagian besar yang belum berpendidikan S-1 adalah guru SD (26
persen).
Para guru yang lolos sertifikasi mendapat
tunjangan profesi guru senilai satu kali gaji pokok. Pada tahun 2011 saja,
alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk tunjangan profesi guru
mencapai Rp 18,53 triliun untuk 731.002 guru. Tahun depan, seiring meningkatnya
guru yang lolos sertifikasi, alokasi dana dari pemerintah naik menjadi Rp 30,53
triliun.
Kualitas Dipertanyakan
Lebih dari lima tahun sertifikasi guru
berjalan, pemerintah menuding kinerja guru tak kunjung memuaskan. Dalam
kacamata pemerintah dan masyarakat, profesionalisme yang diiming-imingi dengan
peningkatan kesejahteraan tidak berbanding lurus dengan mutu guru yang
diharapkan meningkat.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad
Nuh memutuskan untuk lebih mengutamakan sertifikasi guru lewat jalur pendidikan
dan latihan profesi guru (PLPG) dibandingkan dengan penilaian portofolio.
Selain itu, guru mesti menjalani tes kompetensi untuk bisa diikutkan dalam
sertifikasi.
Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI) Sulistiyo mengatakan, sertifikasi guru tidak otomatis meningkatkan
kualitas guru. Sebab, sertifikasi bukanlah alat untuk meningkatkan mutu guru,
melainkan proses penetapan seseorang untuk memperoleh sertifikat pendidikan.
Tidak Sederhana
Sertifikasi guru barulah langkah kecil. Jika
buru-buru meminta peningkatan kualitas yang signifikan karena gaji guru
melonjak, rasanya tidak pas.
Persoalan guru Indonesia tidak sesederhana
itu. Kekeliruan dimulai dari pendidikan calon guru. Rekrutmen mahasiswa calon
guru tidak selektif. Bahkan, anak-anak cerdas di jenjang SMA/MA sangat sedikit
yang berminat menjadi guru. Mereka memilih profesi lain.
Saat menjadi guru, banyak pula yang tidak
sesuai dengan bidang pendidikannya. Ketidaksesuaian guru dengan bidang yang
diampunya untuk di jenjang SD sebanyak 34,8 persen, SMP 31,49 persen, SMA 49,24
persen, dan SMK 22,68 persen.
Belum lagi persoalan guru honorer yang terus
membengkak. Pada tahun 2009 tercatat 526.614 guru honorer di sekolah negeri dan
swasta.
Di satu sisi, keberadaan guru honorer yang
digaji Rp 50.000-Rp 500.000 itu memang dibutuhkan sekolah karena kekurangan
guru. Ada juga yang memang permainan ”politik” daerah sebagai janji saat
pemilihan kepala daerah (pilkada).
Padahal, sesuai hitungan Kemdikbud di atas
kertas, mestinya tidak ada kekurangan guru. Rasio guru dan siswa secara nasional
di jenjang TK hingga SMA/SMK saat ini masih ideal, yakni 1:15-23, sedangkan
rasio maksimal 1:15-32.
Akan tetapi, penataan tidak bisa dilakukan
untuk mengatasi kekurangan guru yang umumnya terjadi di pedesaan atau
pinggiran, sementara di perkotaan terjadi kelebihan guru. Sebab, desentralisasi
pendidikan berimplikasi guru milik pemerintah kabupaten/kota sehingga tidak
bisa sembarangan dipindahkan.
Kondisi guru yang milik daerah ini juga rawan
korban politik. Kesinambungan karier guru dan kepala sekolah sangat tergantung
dinamika politik saat pemilihan kepala daerah. Desentralisasi guru pada
akhirnya malah menimbulkan banyak masalah. Benang kusut yang masih membelit
guru Indonesia ini menimbulkan dorongan untuk mengembalikan kewenangan guru
pada pemerintah pusat. Sentralisasi guru ini semestinya dipertimbangkan demi
menjaga mutu pendidikan bagi generasi masa depan. ●
(Ester
Lince Napitupulu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar