LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
Riset-riset
Minus Penerapan
Sumber : KOMPAS, 14 Desember
2011
Riset menyuguhkan keunggulan, daya saing, dan
kesejahteraan sosial. Sayangnya, riset di Indonesia masih miskin penerapan.
Dari tahun ke tahun, perhatian pemerintah justru kian menyusut dengan indikasi
dana riset yang kian minim.
Laporan Pembangunan Manusia (Human
Development Report) 2010 Program Pembangunan PBB (UNDP) mendudukkan Indonesia
pada peringkat ke-110. Dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, Indonesia
kalah unggul. Singapura peringkat ke-27, Malaysia (57), Thailand (92), dan
Filipina (99).
Survei Indeks Pertumbuhan Daya Saing Global
(Global Growth Competitiveness Index) 2011 menempatkan Indonesia pada peringkat
ke-46, Singapura (2), Malaysia (21), dan Brunei (28). Survei mencakup inovasi,
telematika, dan transfer teknologi.
Kedua hasil itu mengindikasikan Indonesia
kalah unggul, daya saing, dan kesejahteraan sosial. Penerapan hasil-hasil riset
sangat rendah.
Situasi
Terkini
Nani Grace Berliana, peneliti pada Pusat
Penelitian dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Pappiptek) Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menggambarkan situasi terkini seiring terus
menyusutnya dana riset di Indonesia.
Tahun 1969-1970, anggaran riset/penelitian
dan pengembangan (litbang) sebesar 2,03 persen dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN).
Empat puluh tahun kemudian, pada 2009,
anggaran litbang menyusut dari 2,03 persen menjadi 0,21 persen dari APBN.
Secara absolut, angka nominalnya memang
meningkat 420 kali. Namun, itu jauh lebih rendah dibanding peningkatan nominal
APBN yang naik 4.000 kali.
Peneliti Pappiptek lainnya, Erman Aminullah,
menyertakan data intensitas riset nasional yang merosot. Pada 1990 sebesar 0,13
persen, tahun 2010 menjadi 0,08 persen. Pada periode sama produk domestik bruto
(PDB) naik 30 kali lipat.
Di sinilah yang menarik. Erman menyimpulkan,
peningkatan ekonomi di Indonesia bukan bersumber pada inovasi dari kegiatan
riset.
”Ekonomi tumbuh bersumber pengalaman
informal, bukan kegiatan ilmiah formal,” katanya.
Pembelajaran diperoleh dari pengalaman
pemakaian peralatan pada sistem produksi. Interaksi dengan pengguna lain, pemasok,
dan perusahaan induk menjadi pembelajaran, bukan riset formal.
Berbagai produk yang diproduksi atau dirakit
di dalam negeri, seperti sepeda motor, memang mengalami inovasi. Namun,
inovasinya dari kegiatan riset perusahaan-perusahaan induk di luar negeri.
Komposisi Pelaku
Komposisi sumber daya manusia litbang tahun
2009 sebanyak 62.995 orang, meliputi 58 persen peneliti, 23 persen teknisi, dan
19 persen staf pendukung. Belanja litbang Rp 4,72 triliun, terbagi 42,8 persen
untuk lembaga litbang pemerintah, 38,5 persen untuk perguruan tinggi negeri,
dan 18,7 persen untuk industri.
Ini mengindikasikan rendahnya peran swasta
dalam hal belanja litbang yang hanya 18,7 persen. Dominasi belanja litbang oleh
pemerintah ini berbanding terbalik dengan Malaysia.
Pemerintah Malaysia hanya memegang 15 persen
untuk belanja litbang, disusul Singapura 36,6 persen dan Thailand 55 persen.
Itu pun swasta di Indonesia lebih memprioritaskan belanja litbang untuk promosi
46 persen dan belanja lisensi 50 persen. Hanya 4 persen untuk riset.
Menurut Nani Grace, semua itu dapat dipahami
karena manufaktur di Indonesia secara umum berteknologi rendah dengan urutan
terbesar di bidang makanan dan minuman, pakaian jadi, tekstil, furnitur, karet,
serta bahan galian.
Selama ini, sektor swasta kerap dikejar agar
meningkatkan kontribusi dana litbang. Kenyataannya, swasta tak butuh aktivitas
litbang yang tinggi.
Selama 10 tahun (2001-2011), riset kedokteran
(clinical medicine) yang terbanyak dimuat jurnal ilmiah internasional, yaitu
1.020 jurnal.
Ironisnya, menurut Guru Besar Farmakologi
Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Iwan Dwiprahasto, meski jadi
kajian terbanyak masuk jurnal ilmiah internasional, obat-obatan masih
bergantung pada bahan baku impor 96 persen. Hasil riset obat-obatan dan
kedokteran banyak.
”Hanya saja, penerapan risetnya masih
kurang,” kata Iwan.
Terbengkalai
Kepala LIPI Lukman Hakim mengamini ketika
riset disebut miskin penerapan. Bahkan, ia mengakui banyak produk riset ilmiah
formal terbengkalai.
Baru-baru ini LIPI mengekspos 130 produk
riset yang umumnya tanpa sambutan dalam penerapannya. Hingga kini buntu cara
optimalisasi penerapannya.
Hasil riset LIPI dikelompokkan dalam 12
kluster. ”Yang dibutuhkan pemasaran hasil-hasil riset itu,” kata Menteri Riset
dan Teknologi Gusti Muhammad Hatta.
Gusti mencontohkan, hasil riset Pusat
Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI berupa radar kelautan dengan
jangkauan 30 kilometer yang disebut Indonesian Sea Radar (Isra).
Lisensi komersialisasinya dibeli badan usaha milik
negara, PT Inti. ”Belum ada yang menggunakan radar kelautan ini sebagai produk
dalam negeri,” kata Lukman Hakim.
Menristek Gusti sampai mengungkapkan,
pemanfaatan hasil riset hingga menjadi produk dalam negeri perlu setengah
dipaksa. Namun, itu baru wacana.
Tanpa terobosan dan kemauan superkuat, potensi riset yang solutif tak akan berbuah apa-apa. Seperti tahun-tahun yang lewat. ● (NAWA TUNGGAL)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar