LAPORAN AKHIR TAHUN 2011 TENTANG METROPOLITAN
Belum
Ada Satu Kata Hadapi Kemacetan
Sumber : KOMPAS, 15 Desember
2011
Sudah setahun sejak Wakil Presiden Boediono
mengeluarkan 20 langkah mengatasi kemacetan di Jabodetabek, yang dikerjakan
baru soal penertiban parkir di pinggir jalan, sterilisasi jalur busway, dan
penambahan park and ride di dekat stasiun kereta rel listrik.
Sementara benih otoritas transportasi
Jabodetabek cuma sebatas dibahas dan dipresentasikan. Dampaknya, kemacetan
seakan tidak pernah beranjak dari Jakarta dan sekitarnya. Saban pagi, ribuan
atau bahkan jutaan kendaraan dari Bodetabek masih membanjiri Jakarta.
Bahkan, di sejumlah titik masuk ke Jakarta
kemacetan masih tampak vulgar. Serbuan kendaraan pribadi ke Jakarta, antara
lain, terlihat dari kenaikan volume kendaraan yang masuk Gerbang Tol Jagorawi
di Bogor 3-4 persen per tahun. Sementara dari 24.000 kendaraan yang masuk di
Gerbang Tol Ciawi sekitar 30 persen melaju pada pagi.
Hal serupa terjadi di Kota Tangerang. Tahun
2010 tercatat 39.081 kendaraan yang menuju Jakarta melalui beberapa jalan.
Jumlah ini naik dibandingkan dengan waktu sebelumnya.
Yang lebih mendesak dipikirkan, meroketnya
pertumbuhan kendaraan di Jabodetabek.
Polda Metro Jaya mencatat kendaraan di
wilayah hukum Polda sampai Oktober 2011 mencapai 13.122.973 unit, kendaraan
pribadi 12,7 juta unit. Padahal, 2009 masih 9,6 juta unit. Eksesnya, angka
kecelakaan terus meningkat. Kurun Januari-Oktober 2011, tercatat 6.728 kasus
kecelakaan yang menyebabkan 935 orang meninggal. Selama 2010, kecelakaan 8.235
kali, dan 1.048 orang meninggal. Hal ini karena buruknya manajemen angkutan
umum, baik untuk mengakomodasi perjalanan komuter maupun perjalanan di dalam
Jakarta.
Kecelakaan dan Pelayanan
Pembenahan transportasi angkutan umum darat
harus dilakukan karena kenyamanan dan keamanannya masih jauh dari harapan.
Sedikitnya ada 877 kendaraan umum—termasuk transjakarta—mengalami kecelakaan
pada Januari hingga Oktober 2011. Sebagian besar terjadi lantaran sopir yang
ugal-ugalan demi ”kejar setoran”.
Belum lagi kasus pemerkosaan di angkutan umum
yang sempat mencuat. Tindakan reaktif diambil jajaran Dinas Perhubungan DKI
Jakarta, yakni sebatas menguliti kaca film angkutan umum dan membuat kartu
identitas sopir.
Sementara faktor kenyamanan angkutan umum,
seperti kualitas pengemudi, keandalan kendaraan, dan kepemilikan angkutan,
belum mendapatkan dorongan penuh untuk berubah. Muncul wacana menghapus
kepemilikan kendaraan umum pribadi menjadi kepemilikan kolektif, misalnya
koperasi atau badan usaha lainnya, sehingga bisa dikontrol sesuai dengan
standar pelayanan minimal.
Selain itu, sistem setoran diganti dengan
penggajian awak bus. Hal ini untuk menghindari persaingan tidak sehat di
jalanan yang bisa membahayakan penumpang dan pengguna jalan lainnya. Kondisi
trayek yang masih tumpang tindih dan tidak jelas antara angkutan utama dan
penyangga juga perlu dibenahi. Kenyamanan dan keamanan angkutan umum merupakan
taruhan untuk menarik orang agar mau meninggalkan kendaraan pribadi dan naik
angkutan umum. Tanda kehancuran angkutan umum mulai terlihat.
Di Kota Bogor, hanya 15.000 orang memakai
jasa bus per hari. Padahal, ada 207 bus besar dan 152 bus dengan kapasitas
angkut 12.080. Apabila setiap bus bisa pergi dua kali ke Jakarta, paling tidak
tersedia 24.000 kursi. Di Kota Tangerang, jumlah penumpang angkutan umum juga
terus turun, dan kini tinggal 40 persen dari kapasitas angkut.
Kapasitas Angkut Stagnan
Kesemrawutan manajemen angkutan umum terlihat
dari kapasitas angkut yang cenderung stagnan. KRL, misalnya, masih berkutat di
angka angkut 400.000 orang per hari. Padahal, Wapres menargetkan 1,2 juta orang
per hari terangkut pada 2014. Namun, target itu akhirnya diundur jadi 2019. Itu
pun dengan catatan jika ada komitmen dari semua pihak untuk memajukan KRL.
Sejumlah perubahan KRL tahun ini, seperti sistem operasi tunggal dan jalur
lingkar, memang mendesain KRL mendekati pola pengangkutan kereta komuter ideal.
Namun, ini tak serta-merta mendongkrak signifikan daya angkut.
Harapan bertumpu pada pelaksanaan Peraturan
Presiden Nomor 83 Tahun 2011 yang menugaskan PT KAI untuk mengurus sarana dan
prasarana jalur lingkar Jabodetabek.
Sementara bus transjakarta tahun ini secara
efektif beroperasi di dua jalur baru, yakni koridor 9 dan 10. Namun, pembukaan
jalur baru tidak serta-merta meningkatkan kualitas dan pelayanan busway.
Seperti KRL, jadwal kedatangan busway masih acak-acakan.
Terobosan untuk
menempatkan pemantau bus di koridor 1 belum terlampau efektif untuk memberikan
kepastian kepada penumpang. Berbagai persoalan yang perlu dibenahi ini membuat
daya angkut transjakarta masih stagnan.
Pertambahan penumpang umumnya terjadi karena
ada pembukaan jalur baru. Dengan jumlah bus 525 unit, kapasitas angkut
transjakarta berkisar 350.000 per hari atau 89 juta per tahun. Jika digabungkan
antara KRL dan transjakarta, kapasitas angkut sehari berkutat di
750.000-800.000 perjalanan. Padahal, angka perjalanan di Jakarta ditaksir tidak
kurang dari 20 juta per hari. Perlu solusi cerdas untuk menyelesaikannya
sebelum sebagian besar warga kota ini menjadi ”stroke”. ●
(Antony Lee/Pingkan Elita Dundu/Ratih
P Sudarsono/Agnes Rita Sulistyawaty)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar