Selasa, 20 Desember 2011

Asia Tetap Memimpin


MENYAMBUT INDONESIA 2012
Asia Tetap Memimpin
Sumber : SINDO, 19 Desember 2011



Agak susah membuat opini bernada optimistis, setelah beberapa outlook yang dirilis sejumlah lembaga ekonomi dan keuangan ekonomi menjelang akhir tahun ini.

Tadinya,kita berharap China dan India yang selama ini memimpin pertumbuhan ekonomi dunia bisa menjadi tumpuan. Akan tetapi,harapan itu sedikit memudar ketika proyeksi pertumbuhan Negeri Panda itu tiba-tiba diturunkan dibandingkan perkiraan sebelumnya.Pemicunya, gejolak ekonomi global terutama akibat krisis utang zona euro dan Amerika Serikat (AS) yang belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan.

Proyeksi terkini dikeluarkan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) menyatakan pertumbuhan ekonomi China tahun depan diprediksi hanya 8,8%,lebih rendah dibandingkan perkiraan sebelumnya 9,1%. Penurunan proyeksi juga dikeluarkan oleh Nomura–– salah satu perusahaan keuangan yang beroperasi di China,yang memprediksi ekspansi ekonomi China pada 2012 tidak akan lebih dari 7,9%,turun dari estimasi sebelumnya 9,2%.

Dalam catatan risetnya, Nomura berpendapat kinerja ekonomi China yang melambat memang di luar tradisi dalam satu dekade terakhir.Berbeda dengan pascakrisis 2008 di mana pertumbuhan ekonominya disokong besarnya pasar domestik, pertumbuhan China tahun depan akan tertekan karena permintaan ekspor bakal melemahnya akibat turunnya permintaan Eropa dan AS.

“Kami memperkirakan akan ada tekanan dari sisi ekspor bersih China karena permintaan domestik juga turut melemah,”kata Nomura, seperti dikutip CNBC. Pelemahan pasar domestik China sangat mungkin terjadi karena sebelumnya pemerintah Negeri Panda itu begitu ketat mengeram likuiditas akibat tingginya inflasi.Bersama Bank Sentral (People Bank of China/PBOC) pemerintah bersama-sama mengerem aliran dana dari perbankan ke masyarakat melalui berbagai instrumen, di antaranya membatasi kepemilikan properti dengan menaikkan syarat uang muka kepada calon pembeli, menaikkan suku bunga pinjaman,dan menaikkan rasio cadangan perbankan.

Ketiga langkah tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya gelembung ekonomi akibat kenaikan harga properti dan bahan makanan,meski akhirnya berdampak pada melemahnya aktivitas perekonomian. “Pasar perumahan telah mencapai level tertinggi dalam 18 bulan.Harga rumah sekarang mulai melambat, tapi penjualan juga melemah,”tulis Nomura. Selain masalah pengetatan likuiditas, ada kekhawatiran lain dari risiko perlambatan ekonomi China.

Kepala Ekonom Swiss Re untuk Kawasan Asia Clarence Wong menambahkan,ada faktor lain yang berisiko dalam pertumbuhan ekonomi China, yakni akselerasi laju inflasi, potensi gagal bayar utang pemerintah daerah yang saat ini mencapai USD1,56 triliun, dan meledaknya gelembung properti. Kekuatan ekonomi Asia lainnya, India, kemungkinan juga akan mengalami nasib sama dalam hal pertumbuhan ekonominya. Seperti China, ekspansi pertumbuhan ekonomi India diprediksi melemah menjadi hanya 6,5% dari posisi saat ini sekitar 7%.

Menurut Moody’s Analitycs,revisi tersebut didasarkan pada tren pertumbuhan pada kuartal II/2011 yang hanya 6,9%. Sebagai perbandingan, pertumbuhan ekonomi India tahun fiskal 2010-2011 mencapai 8,6%.Melemahnya perekonomian India disebabkan tergelincirnya aktivitas industri, terutama infrastruktur yang hanya tumbuh 0,1% pada Oktober lalu, terendah dalam lima tahun terakhir.

“Ekonomi India ke depan dibebani tingginya suku bunga komersial akibat tekanan inflasi yang masih di atas 9%.Ini sudah terjadi sejak Desember tahun lalu,” kata Moody’s dalam catatannya. Tekanan inflasi terhadap perekonomian India telah mendorong RBI menjadi bank sentral paling agresif, dibandingkan otoritas moneter lainnya dengan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 13 kali sejak Maret 2010.

Total sudah 130 basis poin suku bunga komersial India dinaikkan,dengan harapan bisa lebih mengendalikan harga. Melihat data pertumbuhan dari dua negara dengan perekonomian terbesar di Asia di atas, bisa diterima jika dampak krisis Eropa dan AS memang sudah berimbas ke Benua Kuning.Meski melambat, jika dibandingkan dengan wilayah lain seperti Eropa dan Amerika Serikat yang selama ini menjadi tumpuan ekonomi dunia,Asia masih tetap lebih baik.

Lihat saja angka pertumbuhan ratarata yang dirilis ADB pekan lalu. Menurut ADB,tahun depan pertumbuhan ekonomi Asia Timur termasuk China bakal tumbuh 7,2%, turun dibandingkan proyeksi sebelumnya 7,5%. Meski diturunkan, angka tersebut tetap jauh lebih tinggi dibandingkan Eropa dan AS. Berdasarkan laporan outlook Komisi Eropa beberapa waktu lalu, pertumbuhan ekonomi di Uni Eropa dan AS rata-rata hanya diperkirakan tumbuh 1,9% dan 2,7%.

Dengan data ini, jelas peluang pertumbuhan ekonomi tetap ada di Asia.Hal ini diperkuat sejumlah lembaga internasional ataupun perusahaan-perusahaan keuangan yang menyebutkan AS dan Eropa masih akan melambat, tidak seperti Asia yang akan tetap menjadi motor pertumbuhan ekonomi global.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar