Anak-anak
Papua yang Membanggakan
Kristanto Hartadi, WARTAWAN SENIOR SINAR HARAPAN
Sumber : SINAR HARAPAN, 6 Desember 2011
Masalah
Papua memenuhi benak saya hari-hari ini, karena banyak hal terjadi di sana yang
membuat saya akhirnya bertanya: apakah Papua akan merdeka, seperti yang terjadi
di provinsi RI ke-27 Timor Timur?
Seorang
rekan diplomat senior dan pernah menjadi duta besar di sejumlah negara ketika
saya tanyakan hal itu menjawab pasti: merdeka tidak bisa, tapi untuk lepas dari
Indonesia terbuka peluangnya.
Artinya,
jelasnya, Papua sudah pernah "dimerdekakan" oleh Indonesia ketika
akhirnya Belanda memilih menyerahkan wilayah terakhir yang didudukinya di
Hindia Belanda itu pada tahun 1962.
Agar
Belanda tidak terlalu hilang muka digelarlah Penentuan Pendapat Rakyat
(Pepera), dengan metode disesuaikan dengan situasi saat itu di Irian Barat.
Jadi, kalau sebutannya merdeka lagi itu tak lazim, katanya.
Mengenai
hal ini saya akan coba tulis dalam kesempatan lain. Masih terkait Papua, Senin
(5/12), saya hadir dalam sebuah diskusi terbatas mengenai soal pendidikan di
Papua. Salah satu narasumber adalah Prof Dr Yohanes Surya, yang berhasil
membuktikan bahwa anak-anak Papua yang dididiknya jauh dari bodoh, bahkan
cerdas.
Dia
buktikan itu bahwa anak-anak pedalaman (dari Puncak Jaya, Mulia, Tolikara) yang
diambil secara acak, karena mereka rata-rata tidak mampu membaca, menulis, dan
berhitung, dalam tempo beberapa bulan dapat diubah sampai mampu menjadi juara
Olimpiade Sains.
Pilih
Panjat Pohon
Rekan
Antie Sulaiman, staf di Pusat Kajian Papua, di Universitas Kristen Indonesia,
mengeluhkan di rumahnya ada dua anak asuh asal Papua, tetapi mereka
"nakal-nakal", sulit disuruh belajar, senangnya bermain dan memanjat
pohon, bahkan ada yang dua kali tidak naik kelas.
Oleh
Yohanes Surya dijawab apa yang dihadapinya juga demikian, karena mereka menjadi
"nakal" tak lain karena takut menghadapi soal yang mereka tidak
paham, sehingga memilih lari, memanjat pohon, atau bersembunyi di kolong.
Bahkan,
tuturnya, ada seorang anak asal Merauke yang kesenangannya bermain dengan
buaya, namun kalau diberi soal lari tunggang langgang.
"Jadi,
pada tahap awal harus diajarkan kepada mereka bahwa matematika itu mudah,
jangan ajarkan mereka kali-kalian kalau tambah dan kurang belum tuntas,
misalnya," kata Yohanes. Kini di Surya Institut terdapat 600 anak dari
berbagai kabupaten di Papua menjalani pendidikan dan tahun depan akan datang
lagi 400 anak.
Berkat
keberhasilannya mendidik anak-anak di Papua itu, Yohanes Surya diajak bekerja
sama oleh PP Muhammadiyah untuk mengajarkan metodenya itu. Ini karena ada
sekitar 1 juta murid di berbagai lembaga pendidikan dasar Muhammadiyah, juga PB
NU, memintanya mengajarkan matematika dan fisika untuk jutaan anak di
pesantren-pesantren mereka.
Dalam
diskusi itu juga terungkap bahwa banyak pihak di Republik Indonesia yang tidak
suka kalau anak-anak Papua menjadi pintar karena "nanti Papua makin cepat
merdeka dari Indonesia".
Anggapan
itu pasti akan langsung dibantah pemerintah. Kenyataannya, dana otonomi khusus
yang triliunan rupiah tidak berbuahkan pada didirikannya lebih banyak sekolah
di kampung, di gunung, di lembah, atau di pantai-pantai Papua.
Banyak
anak Papua tetap terbelakang karena tidak terjangkau pendidikan yang layak.
Sementara itu, anak-anak dari para pendatang yang tinggal di kota-kota besar di
Papua lebih merasakan dana otonomi khusus, fasilitas pendidikan mereka jauh
lebih baik.
UP4B
Mau Bikin Apa?
Dalam
upaya mengatasi desakan Papua untuk memisahkan diri yang makin kuat itu,
akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Unit Percepatan
Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B).
Saya
menduga UP4B ingin meniru kisah sukes Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Aceh-Nias (BRRN) pimpinan Kuntoro Mangkusubroto, yang pascatsunami 26 Desember
2004, mengelola dana sekitar Rp 70 triliun untuk merehabilitasi wilayah Aceh
dan Nias.
Namun,
kritik dan pertanyaan banyak muncul. Wah, Otsus Papua dinilai gagal
sekarang malah digantikan oleh sebuah "unit"? Sebagai badan
"koordinasi", apa kewenangan yang dimiliki UP4B? Apakah UP4B tak
lebih dari proyek yang lain lagi? Tipuan apa lagi yang akan dimainkan di Papua?
Menjadi
tugas UP4B, yang dipimpin Letjen TNI (purn) Bambang Dharmono, untuk membuktikan
bahwa pesimisme yang muncul itu tidak beralasan, dan tugas pertamanya adalah
kesejahteraan di Papua membaik, setidaknya dalam dua tahun mendatang.
Namun,
meski tidak mengurusi soal keamanan, ketua UP4B wajib mengingatkan Presiden
Yudhoyono dan rekan-rekannya di jajaran TNI/Polri agar mengakhiri gelar militer
di Papua. Ingatkan aparat keamanan itu, pelanggaran hak-hak asasi manusia yang
masih dan eksesif itulah yang berpotensi "memerdekakan Papua".
Mari
kita buka catatan sejarah, renungkan lagi apa yang membuat rakyat Timor Timur
memilih pisah dari Indonesia, meski sudah lebih dua dekade terintegrasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar