Rabu, 07 Desember 2011

Anak-anak Papua yang Membanggakan

Anak-anak Papua yang Membanggakan
Kristanto Hartadi, WARTAWAN SENIOR SINAR HARAPAN
Sumber : SINAR HARAPAN, 6 Desember 2011


Masalah Papua memenuhi benak saya hari-hari ini, karena banyak hal terjadi di sana yang membuat saya akhirnya bertanya: apakah Papua akan merdeka, seperti yang terjadi di provinsi RI ke-27 Timor Timur?

Seorang rekan diplomat senior dan pernah menjadi duta besar di sejumlah negara ketika saya tanyakan hal itu menjawab pasti: merdeka tidak bisa, tapi untuk lepas dari Indonesia terbuka peluangnya.

Artinya, jelasnya, Papua sudah pernah "dimerdekakan" oleh Indonesia ketika akhirnya Belanda memilih menyerahkan wilayah terakhir yang didudukinya di Hindia Belanda itu pada tahun 1962.

Agar Belanda tidak terlalu hilang muka digelarlah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), dengan metode disesuaikan dengan situasi saat itu di Irian Barat. Jadi, kalau sebutannya merdeka lagi itu tak lazim, katanya.

Mengenai hal ini saya akan coba tulis dalam kesempatan lain. Masih terkait Papua, Senin (5/12), saya hadir dalam sebuah diskusi terbatas mengenai soal pendidikan di Papua. Salah satu narasumber adalah Prof Dr Yohanes Surya, yang berhasil membuktikan bahwa anak-anak Papua yang dididiknya jauh dari bodoh, bahkan cerdas.

Dia buktikan itu bahwa anak-anak pedalaman (dari Puncak Jaya, Mulia, Tolikara) yang diambil secara acak, karena mereka rata-rata tidak mampu membaca, menulis, dan berhitung, dalam tempo beberapa bulan dapat diubah sampai mampu menjadi juara Olimpiade Sains.

Pilih Panjat Pohon

Rekan Antie Sulaiman, staf di Pusat Kajian Papua, di Universitas Kristen Indonesia, mengeluhkan di rumahnya ada dua anak asuh asal Papua, tetapi mereka "nakal-nakal", sulit disuruh belajar, senangnya bermain dan memanjat pohon, bahkan ada yang dua kali tidak naik kelas.

Oleh Yohanes Surya dijawab apa yang dihadapinya juga demikian, karena mereka menjadi "nakal" tak lain karena takut menghadapi soal yang mereka tidak paham, sehingga memilih lari, memanjat pohon, atau bersembunyi di kolong.

Bahkan, tuturnya, ada seorang anak asal Merauke yang kesenangannya bermain dengan buaya, namun kalau diberi soal lari tunggang langgang.

"Jadi, pada tahap awal harus diajarkan kepada mereka bahwa matematika itu mudah, jangan ajarkan mereka kali-kalian kalau tambah dan kurang belum tuntas, misalnya," kata Yohanes. Kini di Surya Institut terdapat 600 anak dari berbagai kabupaten di Papua menjalani pendidikan dan tahun depan akan datang lagi 400 anak.

Berkat keberhasilannya mendidik anak-anak di Papua itu, Yohanes Surya diajak bekerja sama oleh PP Muhammadiyah untuk mengajarkan metodenya itu. Ini karena ada sekitar 1 juta murid di berbagai lembaga pendidikan dasar Muhammadiyah, juga PB NU, memintanya mengajarkan matematika dan fisika untuk jutaan anak di pesantren-pesantren mereka.

Dalam diskusi itu juga terungkap bahwa banyak pihak di Republik Indonesia yang tidak suka kalau anak-anak Papua menjadi pintar karena "nanti Papua makin cepat merdeka dari Indonesia".

Anggapan itu pasti akan langsung dibantah pemerintah. Kenyataannya, dana otonomi khusus yang triliunan rupiah tidak berbuahkan pada didirikannya lebih banyak sekolah di kampung, di gunung, di lembah, atau di pantai-pantai Papua.

Banyak anak Papua tetap terbelakang karena tidak terjangkau pendidikan yang layak. Sementara itu, anak-anak dari para pendatang yang tinggal di kota-kota besar di Papua lebih merasakan dana otonomi khusus, fasilitas pendidikan mereka jauh lebih baik.

UP4B Mau Bikin Apa?

Dalam upaya mengatasi desakan Papua untuk memisahkan diri yang makin kuat itu, akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B).

Saya menduga UP4B ingin meniru kisah sukes Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (BRRN) pimpinan Kuntoro Mangkusubroto, yang pascatsunami 26 Desember 2004, mengelola dana sekitar Rp 70 triliun untuk merehabilitasi wilayah Aceh dan Nias.
Namun, kritik dan pertanyaan banyak muncul. Wah, Otsus Papua dinilai gagal sekarang malah digantikan oleh sebuah "unit"? Sebagai badan "koordinasi", apa kewenangan yang dimiliki UP4B? Apakah UP4B tak lebih dari proyek yang lain lagi? Tipuan apa lagi yang akan dimainkan di Papua?

Menjadi tugas UP4B, yang dipimpin Letjen TNI (purn) Bambang Dharmono, untuk membuktikan bahwa pesimisme yang muncul itu tidak beralasan, dan tugas pertamanya adalah kesejahteraan di Papua membaik, setidaknya dalam dua tahun mendatang.
Namun, meski tidak mengurusi soal keamanan, ketua UP4B wajib mengingatkan Presiden Yudhoyono dan rekan-rekannya di jajaran TNI/Polri agar mengakhiri gelar militer di Papua. Ingatkan aparat keamanan itu, pelanggaran hak-hak asasi manusia yang masih dan eksesif itulah yang berpotensi "memerdekakan Papua".

Mari kita buka catatan sejarah, renungkan lagi apa yang membuat rakyat Timor Timur memilih pisah dari Indonesia, meski sudah lebih dua dekade terintegrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar