Memulai
Pembaruan dari Ranah Minang
Evi Rahmawati, MAHASISWI UIN JAKARTA
Sumber : JARINGAN ISLAM LIBERAL, 6 Desember 2011
Ketika
kata pembaruan dikaitkan dengan Islam, maka yang ingin diperbarui sejatinya
bukan Islam sebagai agama, bukan pula al-Quran sebagai kitab suci, melainkan
pembaruan terhadap penafsiran atas keduanya. Karena tafsir seseorang atas
al-Quran bukanlah al-Quran itu sendiri. Ia sekadar tafsir atasnya. Maka,
perubahan atas tafsir terhadap al-Quran dan agama masih mungkin. Jika al-Quran
sudah pasti kebenarannya, absolut, maka penafsiran terhadapnya masih mengandung
banyak kemungkinan, termasuk kemungkinan salah. Untuk itu, sebagai sebuah
produk penafsiran atas al-Quran, maka kebenaran dalam sebuah penafsiran menjadi
relatif. Hasilnya, oleh karena mengimani sebuah penafsiran, maka seseorang
bukan saja bisa menjadi konservatif pada level pemikiran, bahkan ia bisa
mendasarkan aksi terornya dari al-Quran, sebagaimana yang dilakukan para
teroris akhir-akhir ini.
Itulah
penekanan Abdul Moqsith Ghazali atas pembaruan yang ingin dilakukan melalui
buku berjudul “Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia” yang untuk pertama kalinya
di-launching di IAIN Imam Bonjol Padang, 22 November 2011 lalu. Buku yang
merupakan antologi tulisan beberapa intelektual Muslim semisal M. Dawam Rahardjo,
Djohan Effendy, Abdul Moqsith Ghazali, Ulil Abshar-Abdalla, Neng Dara Affiah,
Budhy Munawar-Rachman, Ihsan Ali-Fauzi, dkk. ini menurut Moqsith membawa agenda
pembaruan yang berdasar pada tiga sendi atau pokok pemikiran: sekularisme,
pluralisme, dan liberalisme.
Secara
lugas, Abdul Moqsith Ghazali yang dikenal dengan keluasan pemahaman fikih dan
ushul fikih dalam menjelaskan pemikiran liberalnya itu, menegaskan bahwa
sekularisme adalah solusi terbaik untuk mengatasi kompleksitas kehidupan bangsa
Indonesia.
Sekularisme merupakan model yang tidak bisa dihindarkan ketika
mendudukkan relasi agama dengan negara. Sebagai sebuah negara yang plural, maka
sistem pemerintahan yang perlu dikembangkan di Indonesia mesti mampu
mengakomodir segenap kebutuhan bangsa yang plural itu. Jika sebaliknya, maka
tidak menutup kemungkinan akan banyak wilayah yang ingin memisahkan diri
manakala Indonesia dipaksa menjadi negara agama. Karena pluralitas bangsa kita
dengan segenap kearifan lokalnya sendiri-sendiri itulah, Islamisasi negara
menjadi tidak mungkin dilakukan. Namun demikian, tambah Moqsith, “desain
sekularisme yang tepat bagi Indonesia adalah sekularisme yang ramah terhadap
agama. Seperti Kanada, bukan model Prancis yang sekularismenya antiagama dan
dan melarang seluruh simbol-simbol keagamaan di ruang publik.”
Tentang
pluralisme, Moqsith meyakini betapa pluralisme penting untuk ditegakkan dalam
Islam. Menurut doktor dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan disertasi
yang sudah terbit sebagai buku dengan judul “Argumen Pluralisme Agama,
Membangun Toleransi Berbasis Al Quran” ini, gagasan dan praktik pluralisme
dalam tubuh Islam masih sarat dengan berbagai persoalan. Banyak hal yang harus
kita perbarui terkait dengan cara pandang kita terhadap agama-agama dan kelompok
lain. Padahal, Islam sendiri tumbuh dalam konteks yang plural. Bahkan selama
masa hidupnya, Nabi memiliki keluarga dari berbagai kalangan agama dan
golongan. Karena itu, jika pluralisme ditolak, maka sama saja dengan menentang
konsep dasar Islam dan konteks kehidupan Nabi sendiri.
Kalaupun
di Kitab Suci terdapat ayat walan tardlo ‘ankal yahuudu walan nashaara hatta
tattabi’a millatahum apakah lantas kita juga menutup mata atas ketentuan lain
yang secara tegas dinyatakan al-Quran yang sangat menghargai dan membenarkan
ajaran-ajaran (kitab) mereka? Apakah kita mengingkari ayat waanzalnaa ilaikal
kitaaba bilhaqqi mushaddiqan limaa bayna yadayhi minal kitaabi wamuhaiminan
‘alaihi fahkum bainahum bima anzala Allah? Demikian Moqsith menantang peserta
agar membuka pandangan atas kebenaran agama-agama lainnya di hadapan Allah.
Sementara,
ketika memaparkan gagasannya mengenai liberalisme, pengajar di beberapa
universitas terkemuka di Indonesia yang juga adalah Kyai bagi beberapa kalangan
santri ini pun secara cerdik melakukan pendekatan sejarah kultural setempat
(Sumatra Barat). Dengan merunut kejadian sejarah, ada semacam pembuktian betapa
akar kebebasan berpikir telah lebih dulu dilakukan oleh ulama besar dari
Sumatera Barat, Kyai Haji Agus Salim. Moqsith menceritakan bahwa satu abad yang
lalu Kyai Haji Agus Salim telah menjadi peletak dasar pemikiran Islam liberal
di Indonesia. Dengan tegas, ia mendobrak kemapanan konsep hijab bagi perempuan
dan laki-laki. Agus Salim, papar Moqsith, menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan
tidak perlu dipisahkan oleh hijab yang sifatnya material, karena yang menjadi
hijab laki-laki dan perempuan adalah spiritualitasnya, hatinya.
Dengan
sedikit sanjungan, Moqsith menyatakan kekagumannya akan keunikan Sumatra Barat,
yang bisa dikatakan sebagai representasi, semacam taman mini pemikiran Islam di
indonesia. Di Sumatera Barat, kita bisa melacak kelahiran tokoh besar dari
mulai yang Islamis, semisal Haji Agus Salim, hingga yang komunis, seperti Tan
Malaka. Karena akar sejarah yang sedemikian beragamnya itu, maka tak heran jika
kita bisa mendapati dualisme yang berbeda dalam keberislaman di Padang. Semisal
persoalan penerapan Syariah Islam, baik yang menolak ataupun yang menyuarakan,
semua ada di sini, Padang, Sumatera Barat. Namun tidak bisa dielakkan bahwa
Padang bisa dikatakan sebagai tempat lahirnya para pembaharu Islam di sepanjang
sejarahnya. Karena itu, pembaharuan pemikiran Islam bukan saja mungkin, tetapi
sudah sewajarnya terjadi di kota bagian Sumatra Barat ini.
Selain
Abdul Moqsith Ghazali, dalam diskusi dan launching buku yang dipenuhi oleh
sekitar seratus peserta tersebut, juga hadir pembicara dari kalangan muda,
yakni Zelfeni Wimra. Dalam paparannya, Zelfeni yang selain dosen pada fakultas
Syariah IAIN Imam Bonjol Padang juga dikenal sebagai seorang cerpenis itu
menekankan bahwa ketika pembaruan dikaitkan dengan Islam, terlebih dahulu kita
harus menentukan akan mendekati Islam dari segi apa. Ada tiga pendekatan yang
bisa dilakukan: pendekatan terhadap Islam sebagai akidah, Islam sebagai
gerakan, dan Islam sebagai ilmu pengetahuan. Bagi Wimra, jika ingin mendekati
Islam sebagai akidah, maka konsekuensinya harus ada kepatuhan di sana, sami’na
wa atha’na. Lain halnya jika kita akan melakukan pembaruan dengan memperlakukan
Islam sebagai sebuah gerakan, maka yang ditekankan di sini adalah bagaimana
kemudian gerakan ini kembali dievaluasi dan ditafsirkan agar bisa menemukan
sistem yang cocok untuk masyarakat Muslim. Sementara, jika pembaruan dilakukan
dengan mendekati Islam sebagai pancaran ilmu, maka konsekuensinya adalah
konflik. Karena, ilmu itu sendiri lahir dari konflik, dan dengan demikian,
Wimra meyakini, bahwa Islam itu sendiri adalah agama konflik. Itulah mengapa
sepanjang sejarah kelahirannya, Islam selalu diiringi dengan konflik.
Setelah
mempertanyakan pijakan awal yang ingin diambil dalam melakukan pembaruan ini,
Wimra mempertegas keyakinannya bahwa, “Pembaruan memang perlu dilakukan,
terutama dengan titik tolak Islam sebagai pancaran ilmu.” Ia meyakini bahwa
dalam al-Quran sendiri termaktub sebuah isyarat akan pentingnya bagi umat Islam
untuk terus memproduksi penafsiran. Ia menyebutkan salah satu ayat yang
menceritakan bagaimana al-Quran menantang kafir Quraisy manakala mereka meragukan
kebenaran al-Quran. Dengan tegas al-Quran menyeru mereka untuk mendatangkan
satu saja ayat yang lebih hebat, paling tidak sama kualitasnya dengan al-Quran.
Bagi
Wimra, jika kalangan yang dipandang menentang Islam saja diberi kesempatan
untuk merespon ayat-ayat dalam al-Quran, lantas mengapa umat Islam sendiri
tidak bisa? Karena itu, Wimra meyakini bahwa ayat tersebut adalah sebuah
isyarat, semacam pintu masuk bagi umat Islam untuk lebih giat lagi melakukan
penafsiran terhadap al-Quran, serta mengeksplorasi ayat-ayat yang ada di
dalamnya agar bisa membuka penafsiran secara lebih kontekstual. ●
Saya tidak setuju pendapat tentang Haji Agus Salim hanya satu sisi tidak komprehensif. Awal kehidupan beliau memang dari SD - SMA berpendidikan Belanda kemudian beliau bekerja di tanah suci petugas urusan haji dan sekaligus belajar agama kepada sepupunya Syaih Ahmad Khatib Al Minangkabawi Imam Masjidil Haram bersama-sama Haji Rasul Ayah Buya Hamka, KH. Ahmad Dahlan Pendiri Muhammadiyah, KH. Hasyim Asy'ari Pendiri NU. ada beberapa catatan tentang beliau. Pertama, ditangan beliau melalui Halaqoh kebangsaan lahirlah aktifis islam berpendidikan sekolah Belanda (Barat)tapi berpikir dan berhati islam Mr. Muhammad Roem, Prawoto, Natsir,dll yang kemudian menjadi pendiri dan penggerak Masyumi Partai Islam terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Di satu sisi juga Haji Agus Salim pernah jadi Guru Besar Tamu di Cornell University mengajarkan mata kuliah Islam dan Asia Tenggara bagaimana kultur islam di nusantara tidak dari sisi orientalis Snouck Horgrunje semenjak itu kajian Indonesia tidak di Leiden University tapi di Cornell University. Di sisi lain pada waktu perang kemerdekaan 1945 - 1949 beliau pernah menjabat Menteri Luar Negeri secara cerdas melakukan diplomasi tidak ke Eropa melainkan ke Timur Tengah untuk mendapat dukungan kemerdekaan Indonesia yang disokong penuh oleh Organisasi terbesar saat itu Ikhwanul Muslimin dan Liga Arab artinya beliau tahu arti ukhuwah islamiyah dan pan islamisme. Saya sebagai generasi minang di perantauan kurang setuju dikatang islam minangkabau itu liberal tetapi orang minang itu berjiwa merdeka dan dinamis. Sebaiknya Abdul Moqsith Ghazali dari JIL baca biografi dan penelitian langsung di lapangan dan sejarah minang dan Haji Agus Salim supaya komprehensif.
BalasHapus