Deklarasi
Juanda 1957,
Produk
Geopolitik “Par Excellence”
Urip Santoso, PENASIHAT
FORUM MASYARAKAT MARITIM INDONESIA, CHAIRMAN CENTRE FOR MARITIM STUDIES
INDONESIA
Sumber
: SINAR
HARAPAN, 13
Desember 2011
Deklarasi Juanda tahun 1957 dalam era
Soekarno bernilai sangat geopolitis dan geostrategis. Tetapi apakah hal itu
dihayati para pemimpin di era reformasi?
Padahal salah satu hasil penting deklarasi
ini adalah UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea), yang
merupakan pengakuan Indonesia sebagai negara archipelago (maritim)
terbesar di dunia.
Bayangkan teritori Indonesia menjadi mekar
hampir lima kali luas asalnya menjadi 5.193.250 km persegi, di mana 60
persennya atau 3.166.163 km persegi berupa laut (Prof Dr M Dimyati Hartono,
SH). Artinya, kodrat dan sejarahnya adalah bahari atau maritim. Apakah
identitas ini masih ada setelah 66 tahun Indonesia merdeka?
Memang banyak masalah yang menyangkut
eksistensi Indonesia sebagai negara bahari. Sayangnya, kita tidak mampu
menyelesaikan secara tangkas dan terhormat berbagai persoalan kebaharian itu.
Artinya, walaupun Indonesia oleh UNCLOS resmi
diakui sebagai negara maritim terbesar di dunia, kenyataannya kita belum
diperlakukan sebagai negara maritim yang tangguh. Moto TNI AL “Yalesveva
Jayamahe” hanya menjadi semacam paradoks.
Kita perlu menemukan kembali identitas
kebaharian sebagai identitas bangsa. Jakob Oetama, salah satu sosok yang
mempunyai komitmen tentang eksistensi kebaharian Indonesia, pernah menyatakan
keprihatinannya 10 tahun lalu. Dia melemparkan gagasan menarik tentang pentingnya
menemukan kembali (reinventing) Indonesia melalui kelautan.
Kata reinventing secara implisit
mengandung makna ada sesuatu yang hilang dan harus ditemukan kembali. Apakah
yang sudah hilang itu? Yang hilang adalah kesadaran bahwa bangsa kita adalah
bangsa bahari yang dulu pernah jaya. Oleh karena itu, menemukan kembali (reinventing)
Indonesia berarti menemukan kembali identitas kebaharian sebagai identitas
bangsa.
Penemuan kembali identitas sebaiknya tidak
terjebak pada sekadar romantisme sejarah Sriwijaya dan Majapahit dahulu yang
memang jaya. Sekadar menyebut contoh; kasus-kasus Sipadan dan Ligitan di Pantai
Timur Kalimantan, Ambalat di sebelah barat Kalimantan, dan belum lama ini
seorang nelayan Indonesia meninggal di penjara Malaysia.
Ahmad Zailani atau Eli (34) bersama 12
nelayan dari Deli Serdang, Sumatera Utara, ditahan di penjara Malaysia. Eli
kemudian meninggal di penjara.
Yang lebih parah lagi adalah kebijaksanaan
Kementerian Kelautan dan Perikanan yang membuka keran impor ikan untuk memenuhi
permintaan industri pengalengan. Padahal dapat dipastikan ikan-ikan itu juga
berasal dari perairan Indonesia.
Pemerintah seharusnya mencari jalan keluar
yang mendasar. Bukankah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari awal
sudah bersemboyan pembangunan yang pro-job, pro-growth,dan pro-poor?
Sangat mengenaskan, memang, nasib nelayan Indonesia.
Ada olok-olok yang beredar di lingkungan para
nelayan di daerah Brebes, Tegal, dan Pekalongan. Mereka mengatakan nelayan itu
“digdaya” (sakti), tetapi sebetulnya hanyalah akronim. Arti sebenarnya gudig
sedaya; sangking miskinnya, seluruh badannya gudigan (kudisan).
Tagih Janji SBY
Ada masalah yang tidak kalah penting. Sesuai
pesan UU RI No 17 Tahun 2008, seharusnya pada 2011 sudah terbentuk Coast
Guard Indonesia yang sudah operasional. Tetapi yang kita saksikan saat ini
barulah Bakorkamla yang sudah dapat diperhitungkan tidak mungkin dapat
berfungsi secara efisien untuk menjaga dan mengatur lautan yang demikian
luasnya.
Institusi Bakorkamla terdiri dari tidak kurang
tujuh instansi yang masing-masing per UU memiliki kewenangan (otoritas) wilayah
hukumnya sendiri-sendiri. Tidak mengherankan kalau hingga sekarang masih sulit
untuk Indonesia memiliki coast guard di bawah satu komando.
Mengapa? Penyebab utamanya, kepentingan-kepentingan
sempit masing-masing sektor. Lautan dari dulu tidak dapat dikapling seperti
halnya di darat.
UU Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJPN) 2005–2025 (UU RI No 17 Tahun 2007) telah disetujui dan
ditandatangani Presiden SBY pada 5 Februari 2007.
Di sana tersurat tentang Visi dan Misi
Pembangunan Nasional tahun 2005–2025, yang antara lain mencantumkan kalimat
”Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan
berbasiskan kepentingan nasional”. Artinya, menumbuhkan wawasan bahari bagi
masyarakat dan pemerintah agar pembangunan Indonesia berorientasi kelautan.
Selama ini ada dua Presiden RI yang
memberikan perhatian serius pada masalah kebaharian/maritim. Pertama, Presiden
Soekarno yang pada 1 Juni 1945 dalam pidatonya menjelaskan Pancasila sebagai
dasar negara berkata, our geopolitical destiny is maritim. Di kemudian
hari secara konsekuen, Soekarno membuktikan apa yang dia katakan.
Soekarno mendukung sepenuhnya ikhtiar dan
usaha PM Juanda mengenai Deklarasi Juanda. Lantas, dalam usaha merebut kembali
Irian Jaya (Nederlands Nieuw Guinea) di tahun 1962, dia mengembangkan Indonesia
menjadi negara yang sangat disegani tidak saja di lingkungan ASEAN, tapi juga
di Asia Selatan. Dalam rangka Trikora itu, hadir kapal tempur RI Irian dan
kapal-kapal selam Indonesia kelas Whiskey.
Di udara, Belanda digentarkan pesawat-pesawat
bomber dan tempur MIG dan Ilyushin. Presiden kedua adalah Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menghidupkan kembali tanggal 13 Desember resmi
sebagai Hari Nusantara pada 1999.
Bagi SBY yang masih mempunyai waktu 25 bulan
ke depan diharapkan bisa memenuhi janjinya yang termaktub dalam UU RI tahun
2007. Dia perlu menunjukkan akankah dirinya dikenang rakyatnya sebagai Presiden
RI ke-3 yang menemukan kembali identitas bangsa Indonesia sebagai bangsa
bahari?
Artinya, merealisasi Deklarasi Juanda tanggal
13 Desember yang isinya menyatakan Indonesia sebagai negara kepulauan yang
memiliki corak tersendiri. Kedua, bahwa sejak dahulu kala Kepulauan Nusantara
ini sudah merupakan satu kesatuan. Ketiga, ketentuan ordonansi 1939 dapat
memecah belah keutuhan wilayah Indonesia.
Deklarasi itu mengandung satu tujuan, yakni
mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat,
untuk menentukan batas-batas NKRI sesudah dengan asas negara kepulauan, dan
untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan
keselamatan NKRI.●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar