Sinema: ”Magic Indonesia”
Garin Nugroho ; Penulis Kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
11 Oktober 2015
Hanya dalam
waktu tiga bulan, film-film Indonesia tersebar di berbagai festival film
dunia. Jangan heran beberapa pengamat film dunia melontarkan pujian lewat
surat elektronik (e-mail) kepada saya. Sebut saja, Festival Fukuoka, Jepang,
yang mengambil tema ”Magic Indonesia”, memutar film dari beragam generasi:
Cahaya dari Timur, Cagar Mata, Another Trip To The Moon, Pendekar Tongkat
Emas, Postcard from the Zoo, Petualangan Sherina, Kuldesak, hingga Opera
Jawa. Atau Tokyo Film Festival yang menayangkan Hilal hingga Tjokroaminoto.
Sementara Busan Film Festival memutar Aach Aku Jatuh Cinta hingga A Copy of
My Mind yang juga diputar di Venezia, di wilayah Amerika dan Kanada. Film
Siti ditayangkan di Telluride dan film pendek Following Diana di Toronto Film
Festival.
Catatan di
atas menunjukkan dua aspek penting sinema Indonesia, yakni beranak pinaknya
generasi film Indonesia dan keberagaman dalam tema dan gaya. Ironisnya,
justru pertanyaan klise muncul dari sebagian pelaku film Indonesia: Apa
gunanya masuk berbagai festival, tetapi kehilangan penonton di Indonesia?
Sesungguhnya
untuk menjawab pertanyaan di atas, cara termudah adalah mengamati program
yang terkandung pada beragam festival dunia, terbaca tiga pilar program utama
dalam sebuah festival, yakni program kompetisi, program pemasaran film, dan
program retrospeksi. Dengan kata lain, sesungguhnya setiap festival memberi
kelangsungan daya hidup kebudayaan yang kompetitif alias alternatif lewat
program kompetisi atau program khusus film alternatif, tetapi juga kebudayaan
komersial yang serba massa dan kebudayaan heritage. Tiga perspektif
kebudayaan ini sesungguhnya merepresentasikan nilai keutamaan sebuah
peradaban. Ketiganya saling menghidupi dan mengisi, mundurnya satu pilar akan
memundurkan daya hidup yang lain. Pada aspek ini, harus dipuji bertumbuhnya
strategi budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang terbaca lewat
dukungan pada penyebaran film dan pengiriman para kreator ke berbagai jenis
festival dunia.
Artinya,
sangatlah wajar jika film pada kebudayaan kompetitif dan alternatif sering
kali hanya ditonton sedikit penonton dengan kualitas tertentu. Namun, harus
dicatat, kebudayaan kompetitif mengandung penemuan baru, terobosan, dan
gugatan ketika film komersial alias market mengalami kejenuhan. Simak film
Quentin Tarantino, cara tutur alternatifnya kemudian banyak diadaptasi oleh
film populer. Demikian juga film-film heritage memberi sumber untuk selalu
diaktualisasi oleh kebudayaan film populer. Atau simak produk budaya lain,
industri batik tidak akan bertumbuh tanpa adaptasi dari kepeloporan para empu
batik dan penemu-penemu motif baru.
Hal ini
menunjukkan, sekiranya negeri ini hanya dihidupkan oleh kebudayaan populer
tanpa daya hidup budaya kompetitif, alternatif, dan heritage, daya hidup
kebudayaan populer akan tergilas waktu jenuh industri yang semakin cepat,
menjadikan daya hidupnya pendek, serba krisis, dan kehilangan pegangan
pertumbuhan akibat kehilangan sumber terobosan dan aktualisasi.
Oleh karena
itu, saatnya sinema Indonesia tidak lagi bertanya: kenapa film-film
berkualitas tidak cukup laku, tetapi yang harus dilakukan adalah membangun
strategi budaya film Indonesia menghidupkan tiga pilar budaya film, baik
alternatif, komersial, maupun heritage.
Agaknya, tersebarnya film-film Indonesia di sejumlah festival
menjadi semacam gugatan pada kultur serba tunggal dari bangsa ini, yakni
komersial dan massa yang menjadikannya kehilangan standar profesionalisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar