Rabu, 14 Oktober 2015

Dua Samudra

Dua Samudra

Trias Kuncahyono  ;   Penulis Kolom “Kredensal” Kompas Minggu
                                                       KOMPAS, 11 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bumi Indonesia ditakdirkan bernatur maritim. Secara geografis, Indonesia terletak di antara dua benua-Asia dan Australia-serta dua samudra-Pasifik dan Hindia. Mengingkari takdir ini berarti mengabaikan anugerah Yang Mahakuasa. Geography is destiny, geografi adalah takdir. Begitu kata pepatah lama. Apakah takdir sebuah negara, sebuah bangsa, ditentukan oleh letak geografi?

Seakan ingin menjawab pertanyaan itu, Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte (1769-1821) atau Napoleon I pernah mengatakan, "Politik negara berada dalam geografinya." Dalam rumusan lain, negarawan Prusia, Otto von Bismarck (1815-1898), mengatakan, "... Hanya satu hal yang tidak berubah dalam politik negara-negara, yaitu geografi," (Daoed Joesoef, Studi Strategi, Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional, 2014).

Dengan demikian, posisi geografis sebuah negara adalah penting. "Politik, terutama hubungan internasional, dipengaruhi faktor-faktor geografi," begitu tulis Oxford English Dictionary. Definisi ini menegaskan, perbedaan antara politik dan geopolitik adalah geodimensi-persimpangan antara geografi dan politik.

Kishore Mahbubani dalam The Great Convergence, Asia, The West, and The Logic of One World (2013) menulis, ada dua mazhab utama dari strategi geopolitik: mazhab internasionalis-liberal dan mazhab realis. Mazhab internasionalis-liberal menyatakan, sesuatu yang fundamental telah berubah dalam sejarah manusia. Di masa lalu, geopolitik adalah zero-sum game. Kini, permainan itu digantikan oleh kerja bersama bangsa-bangsa dalam kerangka kerja global yang lebih besar. Kontes geopolitik dapat menjadi win-win game.
Dalam geopolitik, hubungan yang sangat penting selalu antara kekuatan sangat besar (saat ini AS) dan kekuatan sangat besar yang tengah muncul (saat ini Tiongkok). Sejarah mencatat, ketika sebuah kekuatan besar mencoba untuk menggantikan kekuatan besar lainnya, yang hampir selalu terjadi adalah perang.

Relasi dan persinggungan dua kekuatan besar dunia- yang satu sedang muncul- yakni AS dan Tiongkok, semakin terasa di kawasan Asia Timur yang kian dinamis. Di Asia Timur, terutama di Laut Tiongkok Selatan, terjadi pergeseran kekuatan yang memiliki implikasi strategis terhadap hubungan di antara negara-negara di kawasan, termasuk Indonesia.

Laut Tiongkok Selatan adalah perairan yang bertaburkan beberapa kepulauan dan kaya sumber alam. Ada enam negara-Tiongkok, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Taiwan-yang mengklaim kedaulatannya atas kepulauan kaya itu. Tiongkok, negara terbesar di kawasan, sudah berupa satu kekuatan laut.

Mengingat laut ini juga menghubungkan Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, jadi berfungsi selaku jalur transportasi perdagangan antarkawasan-Eropa Barat dan Timur, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Timur-Amerika Serikat dan Rusia merasa berhak campur. Maka, bagian Pasifik ini berpotensi besar jadi semacam mare nostrum (laut kita) zaman dahulu.

Istilah mare nostrum awalnya digunakan orang-orang Romawi menunjuk pada Laut Tyrrhenian setelah mereka mengalahkan Sicilia, Sardinia, dan Corsica dalam Perang Punisia dengan Khartago. Pada 30 SM, Kekaisaran Romawi mendominasi wilayah dari Semenanjung Iberia hingga Mesir dan mare nostrum mulai diterapkan untuk seluruh Laut Tengah.

Dengan demikian, kemungkinan besar di masa mendatang- sudah mulai terasa saat ini-rivalitas di antara negara-negara besar di kawasan Asia Timur akan semakin nyata. Mereka akan seperti Romawi pada masa lalu, bersaing untuk menguasai akses di dua samudra-Hindia dan Laut Tiongkok Selatan sebagai bagian dari Samudra Pasifik-serta supremasi maritim di kedua samudra itu. Hal itu juga didorong pergeseran ekonomi-bisnis internasional dari kawasan Atlantik ke Pasifik.

Kalau mengikuti rumusan di atas-politik, terutama hubungan internasional, dipengaruhi oleh faktor-faktor geografi-dan fakta lapangan selama ini, maka kebijakan luar negeri Indonesia harus didasarkan pada kondisi geografisnya. Dengan demikian, perkembangan geostrategis dan geoekonomi di kawasan akan memengaruhi kebijakan luar negerinya: bagaimana posisi dan peran Indonesia di ASEAN dan juga bagaimana Indonesia menjalin relasi dengan kekuatan besar yang menjadi pemain utama di kawasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar