Rabu, 14 Oktober 2015

Guru

Guru

Samuel Mulia  ;   Penulis Kolom “Parodi” Kompas Minggu
                                                       KOMPAS, 11 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di salah satu media sosial, sebuah stasiun radio menuliskan sebuah pertanyaan dalam rangka menyambut hari guru sedunia. Begini pertanyaan itu. Guru apa yang paling gak bisa dilupain? Kenapa? (Boleh guru di sekolah atau di luar sekolah seperti guru les, bimbel, kursus).

Memperingati

Sampai dua kali saya mengulangi untuk mengerti arti pertanyaan di atas. Akhirnya, dengan IQ yang gitu deh itu, saya menyimpulkan begini. Guru apa, itu berarti menunjukkan jenis pekerjaan sesuai dengan mata pelajaran. Guru matematika, misalnya.

Kalimat berbunyi "yang paling gak bisa dilupain" itu berarti bisa menjelaskan tabiat guru atau pengalaman yang dilakukan guru terhadap muridnya yang tak terlupakan. Artinya bisa berupa tabiat dan pengalaman yang baik dan indah, atau sebaliknya. Kata kenapa artinya memberikan penjelasan atas kalimat yang berbunyi 'paling gak bisa dilupain'.

Saya juga tak tahu mengapa di hari guru sedunia, stasiun radio itu justru tidak menanyakan kepada para guru, hal apakah yang paling gak bisa dilupain soal murid-muridnya atau soal institusinya.

Karena saya tak mengikuti jalannya acara di stasiun radio itu secara langsung, dan karena saya ingin juga berpartisipasi menjawab pertanyaan itu, maka inilah penjelasan saya. Sejujurnya saya sakit hati dengan guru-guru di masa 40 tahun yang lalu itu. Kesakitan yang mereka lakukan berupa penghinaan terhadap tingkat intelektualitas dan eksistensi saya sebagai pria yang dilahirkan flamboyan.

Di masa itu saya tak berani melawan guru. Saya sendiri tak tahu mengapa mereka menghina, karena saya tak pernah menjadi guru. Jadi saya tak pernah tahu pemikiran mereka, yang saya tahu, kalau saya ini hanya sebagai korban. Eh salah. murid, maksudnya.

Beberapa hari lalu sebelum tenggat tulisan ini, saya menyaksikan sebuah peragaan busana. Dan itu melambungkan saya pada profesi perancang mode. Sebuah profesi yang rumitnya setengah mati. Rumitnya karena pembeli yang datang untuk dibuatkan pakaian memiliki beraneka bentuk tubuh.

Dari yang tinggi tetapi bongkok, yang pendek dan montok, sampai yang berukuran sedang semampai, tanpa bisa menghindari mereka yang memiliki payudara berukuran besar atau bahkan nyaris serata dada laki-laki.

Memaafkan

Melihat berbagai bentuk tubuh dan ukuran itu, saya pernah bertanya dalam hati. Apakah seorang perancang mode itu pernah kesal melihat tubuh kliennya seperti itu? Karena dengan bentuk yang berbeda-beda dan unik itu, seorang perancang mode harus membuat pola yang berbeda-beda yang saya pastikan membuat mereka pusing tujuh keliling.

Apakah guru-guru saya ketika mereka mengatai saya bodoh seperti ayam tanpa otak adalah sebuah bentuk kekesalan mereka terhadap tingkat intelektualitas yang diberikan Tuhan untuk saya. Karena dengan intelektualitas yang ecek-ecek itu, mereka harus beberapa kali meluangkan waktu untuk mengajar saya berhitung, seperti seorang perancang mode harus membuat pola yang lebih rumit untuk klien mereka yang bentuk badannya unik ketimbang yang sudah dilahirkan secara proporsional.

Saya juga tak pernah tahu apakah ada perancang mode yang mengatai raga kliennya itu jeleknya setengah mati, seperti guru saya dengan ringan mengatai saya bodoh di depan sekian puluh murid lainnya.

Kalau saya melihat sebuah koleksi perancang mode yang indah, dan memiliki pelanggan yang banyak, saya berpikir bahwa yang mereka inginkan hanya satu hal. Agar kliennya itu merasa cantik dan tampil menawan dalam kreasi yang mereka ciptakan, apa pun bentuk raga pelanggannya, sehingga kliennya merasa menawan dengan keadaannya sendiri dan bukan menjadi boneka si perancang mode.

Bukankah agar tujuan itu tercapai, seorang perancang mode akan melupakan proses panjang membuat pola yang rumit, membuat jadwal mengepas berulang kali, dan mendengarkan mulut klien yang super bawel seperti sebuah nyanyian yang tak pernah berakhir. Belum lagi setelah semua selesai, mereka terlambat membayar.

Setelah menyaksikan peragaan busana itu, saya komat-kamit sendiri sambil menuruni tangga berjalan. Tidakkah guru-guru saya di masa itu ingin melihat saya dan sejuta muridnya di suatu hari 'berpenampilan' menawan dan percaya diri, meski ada yang IQ-nya jongkok seperti IQ ayam, dan flamboyan seperti gemulainya pohon bambu yang ditiup angin?

Sambil masih komat-kamit seperti orang setengah waras, saya bertanya pada diri saya. Perlukah saya ini sebagai bekas murid memperingati hari atau membuat selamatan untuk mengenang sebuah penghinaan dan luka yang dalam di hari istimewa itu?

Di dalam taksi dengan argo yang sekarang tambah mahal, saya berbicara dalam hati. Seyogianya itu bukan pekerjaan rumah guru-guru saya, itu pekerjaan rumah saya untuk menjawab. Eh. salah memaafkan, maksudnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar