Kereta Api (Hukum Efek I)
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
|
KORAN
SINDO, 04 Oktober 2015
Kebetulan almarhum ayah saya
berasal dari keluarga kereta api. Ayahnya, ayah tirinya dan adiknya, semua
bekerja di kereta api, yang perusahaannya pada waktu itu (di zaman Belanda)
bernama Nederlands-Indische Spoorweg
Maatschappij (NIS).
Perusahaan ini pada 28 September
1945, diambil alih oleh organisasi AMKA (Angkatan Muda Kereta Api) dari
pemerintah Jepang, dan sejak itu tanggal 28 September dijadikan hari Kereta
Api Nasional. Saya sendiri selama masih tinggal di Tegal, sampai SMA kelas I
di tahun 1958, masihsukamenggunakankereta api jurusan Tegal-Purwokerto pp
(mbah saya di Cilacap) dan Tegal-Jakarta pp (eyang saya di Jakarta) (Catatan:
sampai hari ini saat sendiri tidak mengerti mengapa kakek dan nenek yang dari
ayah dipanggil ”mbah”, sedangkan yang dari ibu dipanggil ”eyang”).
Pengalaman naik kereta api waktu
itu tidak begitu jauh dari cerita-cerita mbah dan paman saya tentang
perjalanan dengan kereta api di zaman Belanda (sebagai pegawai NIS
beliau-beliau bisa naik KA gratis ke manamana). Sama-sama pakai AC (angin
cepoi-cepoi) dan di setiap stasiun banyak pedagang asongan, sebagian di
antaranya meloncat masuk KA bahkan sebelum KA berhenti. Tetapi yang paling
mengganggu adalah waktu perjalanan yang makin lama makin sering terlambat.
Keterlambatan bukan hanya hitungan
menit, tetapi jam. Terlambat lebih dari tiga jam dianggap biasa. Karena itu,
nama perusahaan pertama dari perusahaan KA setelah diambil alih oleh AMKA
adalah Djawatan Kereta Api, disingkat DKA, yang kalau diplesetkan menjadi
Djam KAret (”Dj” ejaan lama, dibaca ”J”), Setelah saya pindah sekolah ke
Bogor dan kuliah di UI Jakarta (sejak 1958), saya hampir tidak pernah lagi
naik KA di Indonesia, tetapi saya sering naik KA di luar negeri, mulai KA
dari kampung ke kampung di Belanda, sampai kereta api Thalys dan TGV di Eropa
dan Shinkansen di Jepang.
Pengalaman saya ber-KA di luar
negeri menambah keengganan saya ber-KA di Indonesia, kecuali KA superspesial
seperti KA Bima (Biru Malam) Jakarta- Surabaya pp yang ada tempat tidurnya
(tahun 1969), atau KA Parahyangan Jakarta- Bandung pp (yang AC-nya tidak
pernah kendor dan selalu tepat waktu). Saya lebih memilih kapal terbang
walaupun untuk perjalanan di Jawa.
Sementara itu, kondisi
perkeretaapian Indonesia makin parah. Setiap menjelang lebaran, calon
penumpang mengantre sampai menginap di stasiun untuk memperoleh tiket mudik
yang sebagian besar sudah di tangan calo. Di dalam gerbong tidak ada lagi
ruang tersisa, sampai WC pun terisi manusia, sehingga saya tidak bisa
membayangkan bagaimana caranya orang kalau mau pipis atau mau pup .
Bukan itu saja. Sebagai dosen yang
hampir setiap hari ke UI Depok, dan melintasi jalan sejajar dengan rel dari
Pasar Minggu-Lenteng Agung sampai UI, saya menyaksikan bagaimana KA diperkosa
habishabisan oleh penumpang. Karena itu setelah DKA, nama perusahaan kereta
api diganti menjadi PNKA (Perusahaan Negara KA), tetapi penumpangnya malah mau
gratisan naik KA, sehingga PNKA diplesetkan menjadi Penumpang Numpang-gratis
di KA.
Dari PNKA diubah lagi namanya
menjadi PJKA (Perusahaan Jawatan KA), tetapi sama saja, malah PJKA jadinya
berarti Penumpang Jalan-jalan di atas KA. Masih penasaran nama PJKA diganti
lagi menjadi Perumka, tetapi tetap saja hasilnya: Penumpang Ngerumpi di atas
KA. Baru sejak namanya berganti menjadi PT KAI (PT Kereta Api Indonesia,
sejak 2011), kereta api Indonesia betul-betul menjadi KA yang nyaman untuk
ditumpangi.
Saya beberapa kali mencoba
menikmati KA gaya PT KAI, dan saya pikir nama baru ini sudah tepat yang
artinya adalah Penumpang Tertib di KA Indonesia. Bahkan barubaru ini saya
mengajak tamu saya, seorang psikolog dari Prancis, Dr Roseline Davido, untuk
menikmati KA Argo Lawu Yogyakarta-Jakarta.
Ternyata beliau sangat menikmati
perjalanan itu. Beliau menikmati pemandangan alam, AC yang sejuk terus, dan
WC yang bersih dan tidak berbau (walaupun WC jongkok dan goyangannya melebihi
gempa bumi 7 Skala Richter). Bahkan, beliau membeli sarapan dari petugas
restorasi yang berkeliling dari gerbong ke gerbong, dan dengan semangat
mengacungkan uang Rp5.000 (lima ribu rupiah) untuk membayar yang tentu saja
ditertawakan oleh mbak petugas restorasi.
Cepat-cepat saya sodorkan uang
senilai harga yang sebenarnya, yaitu Rp35.000. Mungkin di mata Dr Davido uang
lima ribu itu sudah banyak sekali, karena dia terbiasa berpikir dalam euro
yang hanya satuan atau maksimal belasan saja.
Saya tidak tahu apa rahasianya
Dirut PT KAI Ignasius Jonan ketika membalikkan kondisi Perumka menjadi PT KAI
dan bagaimana penggantinya, Dirut Edi Sukmoro bisa mempertahankan perubahan
itu sampai sekarang (biasanya ganti pimpinan, ganti kebijakan).
Saya belum pernah mengadakan
penelitian di PT KAI, tetapi saya melihat dari luar bahwa PT KAI menjalankan
perubahan sistem dengan sangat konsisten. Ketika penertiban stasiun UI
berlangsung, dan mendapat perlawanan keras dari PKL yang didukung oleh BEM, mahasiswa,
dan dosen-dosen serta didukung oleh LSM, saya lihat petugas penertiban tidak
mundur selangkah pun. Hari ini tidak ada lagi yang mengomel dengan keadaan
stasiun UI yang sudah bebas dari PKL dan penumpang liar yang tidak mau
membayar.
Buat saya, PT KAI adalah salah
satu contoh bagaimana Revolusi Mental seharusnya dipraktikkan. Manusia
Indonesia bisa diatur dan bisa ditertibkan. Bukan lewat jargon-jargon atau
ayat-ayat, melainkan cukup dengan melaksanakan suatu sistem yang ditegakkan
secara konsisten dan terus-menerus yang dalam psikologi dikenal dengan Hukum
Efek ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar