Maafkan
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
03 Oktober 2015
Romo Imam sedang santai bersama kedua cucunya yang cerdas,
ketika saya datang. "Maafkan saya, Romo, waktu Ajeng berulang tahun,
saya tak bisa datang," kata saya. Romo meminta Ajeng untuk
"salim" mencium tangan saya. Lanang, adiknya, mengikuti. "Tak
perlu minta maaf untuk urusan kecil. Presiden saja marah besar ketika ada
yang memfitnah bahwa beliau akan meminta maaf kepada PKI," ujar Romo.
"Bagaimana rekonsiliasi kalau tak dibarengi dengan
bermaaf-maafan? Tak boleh Presiden minta maaf atas nama negara?" Saya
bertanya hati-hati, maklum sensitif. Romo menjawab, "Negara tak boleh
minta maaf kepada PKI karena PKI memang salah dalam kasus G30S itu. Apalagi
PKI sudah banyak berbuat onar, peristiwa Madiun, misalnya. Tetapi meminta
maaf kepada keluarga korban yang banyak terbunuh karena diduga PKI padahal
belum pernah ada pembuktian mereka PKI, saya rasa perlu
dipertimbangkan."
Saya termangu. Teringat masa-masa pembasmian PKI pada
tahun 1966 ketika usia saya 15 tahun dan ikut dalam rombongan pembasmi,
sebuah trauma yang hanya sebagian kecil mampu saya tulis di otobiografi.
"Memang sulit juga. Di masa PKI jaya, mereka pun sudah meneror rakyat
dan banyak korban berjatuhan. Belum tentu pula korban itu lawan
politiknya," kata Romo.
Saya masih termangu dan Romo meneruskan, "Kalau
memaafkan harus dilakukan secara formal dan resmi, semua pihak harus
melakukannya.
Masalahnya, siapa yang memulai? Ini kasus yang ruwet, tragedi
enam lima itu sulit diketahui orang secara utuh. Semua orang hanya tahu
sepotong-sepotong, lalu membuat catatan seolah-olah itu adalah sejarah yang
benar. Bertambah ruwet lagi ketika pelaku sudah tak ada, sudah langsung
dibunuh tanpa diusut bagaimana duduk masalahnya, ada yang tua lalu meninggal
dan seterusnya. Ruwet...." Dan Romo menepok-nepok jidatnya.
"Begitu sulitkah merangkai peristiwa itu, Romo?
Misalnya membuka semua dokumen atau bagaimanalah. Saya selalu tak enak makan
setiap tanggal 30 September dan 1 Oktober, mengenang orang-orang lugu di desa
yang digorok dengan alasan antek-antek PKI," saya berkata lirih. Romo
langsung menjawab, "Sulit dan mungkin mustahil. Jangankan kasus lima
puluh tahun lalu, pembunuhan Munir yang juntrungannya lebih jelas saja sudah
sepuluh tahun lewat, tak ketahuan ujung pangkalnya."
"Lalu bagaimana, dong?" saya penasaran.
"Ya, barangkali dilupakan saja, langsung rekonsiliasi dengan
maaf-memaafkan," jawab Romo. "Misalnya, Ilham Aidit, mewakili
anak-cucu tokoh PKI, meminta maaf kepada rakyat yang menjadi korban karena
politik bapaknya. Lalu presiden atau entah siapa meminta maaf kepada rakyat
yang menjadi korban karena diduga sebagai pengikut PKI. Fokus maaf itu ke
rakyat yang terimbas, bukan ke partai atau lembaga negara.
Masalahnya, tolok
ukurnya dari kapan? Zaman penjajahan atau era Majapahit?"
"Ajeng mau minta maaf atas nama siapa?" saya
alihkan perhatian kepada cucu-cucu Romo. Ajeng berdiri, "Saya minta maaf
karena leluhur saya sudah mewariskan kebudayaan buruk yang kini disangka
luhur oleh para wakil rakyat sehingga dimasukkan dalam undang-undang. Leluhur
saya, Roro Mendut, dengan budaya merokok itu."
Saya tersentak dan Romo tertawa. Kini Lanang yang berdiri,
"Saya tak mau minta maaf. Justru orang-orang harus minta maaf ke saya,
karena telah mencemarkan nama baik leluhur saya dengan menyebutnya sebagai
perampok, padahal tak ada bukti nyata. Leluhur saya itu raja yang
terhormat."
Saya mendekati Lanang, "Siapa leluhurmu, Nak?"
Lanang berkata lantang, "Ken Arok." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar