Kamis, 08 Oktober 2015

Maafkan

Maafkan

Putu Setia ;   Pengarang; Wartawan Senior Tempo
                                                     TEMPO.CO, 03 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Romo Imam sedang santai bersama kedua cucunya yang cerdas, ketika saya datang. "Maafkan saya, Romo, waktu Ajeng berulang tahun, saya tak bisa datang," kata saya. Romo meminta Ajeng untuk "salim" mencium tangan saya. Lanang, adiknya, mengikuti. "Tak perlu minta maaf untuk urusan kecil. Presiden saja marah besar ketika ada yang memfitnah bahwa beliau akan meminta maaf kepada PKI," ujar Romo.

"Bagaimana rekonsiliasi kalau tak dibarengi dengan bermaaf-maafan? Tak boleh Presiden minta maaf atas nama negara?" Saya bertanya hati-hati, maklum sensitif. Romo menjawab, "Negara tak boleh minta maaf kepada PKI karena PKI memang salah dalam kasus G30S itu. Apalagi PKI sudah banyak berbuat onar, peristiwa Madiun, misalnya. Tetapi meminta maaf kepada keluarga korban yang banyak terbunuh karena diduga PKI padahal belum pernah ada pembuktian mereka PKI, saya rasa perlu dipertimbangkan."

Saya termangu. Teringat masa-masa pembasmian PKI pada tahun 1966 ketika usia saya 15 tahun dan ikut dalam rombongan pembasmi, sebuah trauma yang hanya sebagian kecil mampu saya tulis di otobiografi. "Memang sulit juga. Di masa PKI jaya, mereka pun sudah meneror rakyat dan banyak korban berjatuhan. Belum tentu pula korban itu lawan politiknya," kata Romo.
Saya masih termangu dan Romo meneruskan, "Kalau memaafkan harus dilakukan secara formal dan resmi, semua pihak harus melakukannya. 

Masalahnya, siapa yang memulai? Ini kasus yang ruwet, tragedi enam lima itu sulit diketahui orang secara utuh. Semua orang hanya tahu sepotong-sepotong, lalu membuat catatan seolah-olah itu adalah sejarah yang benar. Bertambah ruwet lagi ketika pelaku sudah tak ada, sudah langsung dibunuh tanpa diusut bagaimana duduk masalahnya, ada yang tua lalu meninggal dan seterusnya. Ruwet...." Dan Romo menepok-nepok jidatnya.

"Begitu sulitkah merangkai peristiwa itu, Romo? Misalnya membuka semua dokumen atau bagaimanalah. Saya selalu tak enak makan setiap tanggal 30 September dan 1 Oktober, mengenang orang-orang lugu di desa yang digorok dengan alasan antek-antek PKI," saya berkata lirih. Romo langsung menjawab, "Sulit dan mungkin mustahil. Jangankan kasus lima puluh tahun lalu, pembunuhan Munir yang juntrungannya lebih jelas saja sudah sepuluh tahun lewat, tak ketahuan ujung pangkalnya."

"Lalu bagaimana, dong?" saya penasaran. "Ya, barangkali dilupakan saja, langsung rekonsiliasi dengan maaf-memaafkan," jawab Romo. "Misalnya, Ilham Aidit, mewakili anak-cucu tokoh PKI, meminta maaf kepada rakyat yang menjadi korban karena politik bapaknya. Lalu presiden atau entah siapa meminta maaf kepada rakyat yang menjadi korban karena diduga sebagai pengikut PKI. Fokus maaf itu ke rakyat yang terimbas, bukan ke partai atau lembaga negara. 

Masalahnya, tolok ukurnya dari kapan? Zaman penjajahan atau era Majapahit?"
"Ajeng mau minta maaf atas nama siapa?" saya alihkan perhatian kepada cucu-cucu Romo. Ajeng berdiri, "Saya minta maaf karena leluhur saya sudah mewariskan kebudayaan buruk yang kini disangka luhur oleh para wakil rakyat sehingga dimasukkan dalam undang-undang. Leluhur saya, Roro Mendut, dengan budaya merokok itu."

Saya tersentak dan Romo tertawa. Kini Lanang yang berdiri, "Saya tak mau minta maaf. Justru orang-orang harus minta maaf ke saya, karena telah mencemarkan nama baik leluhur saya dengan menyebutnya sebagai perampok, padahal tak ada bukti nyata. Leluhur saya itu raja yang terhormat."
Saya mendekati Lanang, "Siapa leluhurmu, Nak?" Lanang berkata lantang, "Ken Arok."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar