Asap
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
10 Oktober 2015
Sahabat saya di Palangkaraya
mencurahkan isi hatinya lewat surat elektronik. Dia menyebutkan mendapat
musibah yang sulit diatasi. Dia bilang, kalau rumahnya kebakaran dan semua
barang ludes, itu lebih jelas. Orang-orang mudah memberi pertolongan,
mengirimkan makanan dan pakaian bekas layak pakai. "Tapi musibah ini
unik, saya tak membutuhkan beras atau mi instan. Juga tak perlu pakaian
bekas, pakaian saya masih banyak di lemari. Bahkan saya tak perlu bantuan
uang, tabungan saya masih lumayan."
Saya langsung jawab, "Anda
tak mengalami musibah. Jangan manja." Dia membalas panjang dan saya
membayangkan dia tersinggung. "Anda tak memahami musibah yang
mahadahsyat ini. Musibah asap dari hutan yang terbakar. Ke mana-mana dikepung
asap. Anak-anak tak bisa sekolah. Kami tak bisa keluar rumah. Beberapa kamar
memang tertutup rapat karena ada penyejuk udara, asap tak bisa masuk. Tetapi
tak semua ruangan tertutup, dapur, tempat mencuci pakaian, dan banyak lagi
yang harus dilewati setiap waktu."
Saya membalas, "Kenapa tak
mengungsi sementara?" Tak lama dia pun menulis, "Pesawat tak bisa
terbang. Naik mobil tetap dikepung asap. Anda bayangkan, ini Kalimantan,
bukan Jawa. Tak ada kereta api, apalagi kereta cepat. Tak ada jalan tol. Apa
bisa naik mobil terus-menerus tanpa berhenti makan dan isi Premium? Itu
artinya tetap menghirup asap. Asal Anda tahu, pemberitaan musibah asap juga
tak adil. Media lebih suka menulis Riau, Jambi, Palembang, Bengkulu, bahkan
Sumatera Barat yang tak seberapa kena asap. Tapi Palangkaraya hanya disebut
sesekali, seolah-olah tak parah. Kalimantan itu masih Indonesia
apa-tidak?"
Waduh, ini sudah nyerempet ke
mana-mana. Sahabat saya itu orang yang sukses, hidupnya berkecukupan. Terus
terang dia juga suka menolong orang. Kini orang tak bisa menolong dia. Pasti
dia stres.
"Saya hargai tentara yang
masuk hutan memadamkan api," dia menulis lagi. "Saya hargai petugas
kehutanan yang sibuk, meski gaji mereka kecil dan anggaran kehutanan itu
sangat minim, hanya Rp 50 ribu untuk menjaga hutan setiap hektare. Saya pun
menghargai pemerintah daerah yang membagikan masker, meski bukan masker
high-efficient particulate air filter yang ideal tapi mahal. Saya kagum
kepada Presiden Jokowi yang masuk ke hutan, meskipun itu sangat seremonial
dan seharusnya Presiden tinggal keluarkan perintah. Tapi kenapa Menteri
Kehutanan menolak bantuan Singapura untuk ikut memadamkan api? Takut kalau
apinya padam lantas mereka mengklaim telah berjasa? Ah, alasan sepele. Yang
tak saya pahami lagi, kenapa musibah ini bukan dijadikan bencana nasional?
Apa karena Jawa dan Bali tak terkena asap?"
Wah, lagi-lagi saya tepok jidat
membacanya. Sudah lari ke mana-mana keluhan ini. Tanpa ikut pusing soal
"ketidakadilan Jawa dan luar Jawa", saya cuma ikut heran kenapa
begitu lambat pemerintah menetapkan bencana asap ini sebagai bencana
nasional. Kenapa pula menolak bantuan negara tetangga, bukankah sudah ada
perjanjian saling bantu antarnegara ASEAN jika terjadi musibah jenis ini?
"Kalau Anda tak bisa juga
berbuat apa-apa, ya, sudahlah. Doakan cucu-cucu saya yang masih kecil, meski
saya sudah memborong kaleng oksigen. Saya kira korban akan berjatuhan kalau
pemerintah lambat seperti ini. Dan saya pun paham kenapa Anda diam, memang
relawan Jokowi rikuh bicara dalam situasi begini, mungkin di mulutnya ada
asap."
Surat elektronik ini bermuatan
fitnah, langsung saya jawab, "Saya prihatin dan berdoa, tapi saya bukan
relawan siapa-siapa, saya relawan NKRI." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar