Selasa, 26 Agustus 2014

Tiada Bulan Madu Presiden Baru

Tiada Bulan Madu Presiden Baru

A Tony Prasetiantono  ;   Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP) Universitas Gadjah Mada
MEDIA INDONESIA, 25 Agustus 2014
                                               


SETELAH menempuh jalan yang lumayan berliku, akhirnya Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) ditetapkan menjadi presiden dan wakil presiden terpilih. Pasar sektor finansial menyambut positif. Akhir pekan lalu, rupiah diperdagangkan dalam kisaran 11.600-11.700 per dolar AS, sedangkan indeks harga saham gabungan (IHSG) di kisaran 5.200. Penutupan bursa Jumat (22/8) sore pada level 5.198.

Itu memang bukan level yang optimal karena kurs rupiah pernah mencapai 11.200 per dolar AS, pada saat Jokowi secara resmi dimajukan menjadi calon presiden oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada 14 Maret 2014. Namun, situasi saat ini tidak bisa dibandingkan dengan Maret 2014. Pada saat sekarang, tidak mudah mengungkit rupiah agar mengalami apresiasi. Penyebabnya berbagai tekanan berat mulai mendera perekonomian Indonesia. Defisit transaksi berjalan masih berada di level tinggi, minus US$25 miliar, sementara subsidi energi mulai mendaki angka-angka yang menyebabkan pemerintahan Jokowi nanti tidak akan sempat `berbulan madu'.

Pada saat ini praktis tidak ada ekonom yang tidak setuju bahwa subsidi energi (BBM dan listrik) yang saat ini berjumlah Rp 350 triliun merupakan beban fiskal yang tak terkirakan jumlahnya. Angka itu ekuivalen dengan 19% terhadap APBN 2014 yang jumlahnya Rp 1.877 triliun. Beratnya beban fiskal tersebut akan berlanjut pada 2015, ketika subsidi energi meningkat menjadi Rp363 triliun, sedangkan APBN mencapai Rp2.020 triliun.

Sederet angka itu mengerucut ke kesimpulan bahwa ruang fiskal sangatlah sempit. Anggaran untuk pembangunan infrastruktur pada 2015 hanyalah Rp206 triliun, atau lebih rendah daripada subsidi BBM Rp291 triliun dan listrik Rp72 triliun. Angka subsidi listrik menurun dari Rp103 triliun (2014) karena pemerintah dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) `berani' menaikkan tarif listrik secara berkala. Subsidi BBM terus meningkat secara tajam karena kombinasi antara (1) harga BBM bersubsidi belum dinaikkan dan (2) kenaikan konsumsi BBM akibat pertumbuhan ekonomi dan kenaikan daya beli masyarakat kelompok menengah ke atas.

Sosialisasi dan pemahaman

Tidak ada pilihan lain, sejak sekarang presiden terpilih Jokowi dan timnya harus berdiskusi secara intensif, bagaimana menanggulangi tantangan fiskal yang berat di ongkos subsidi BBM. Karena itu, pertanyaan besarnya ialah 1) kapan harga BBM bersubsidi dinaikkan dan 2) berapa besarannya?

Sebelum kelak memutuskan penaikan harga BBM bersubsidi, menurut saya, pemerintahan Jokowi amat perlu melakukan serangkaian sosialisasi dan pemahaman, bagaimana posisi Indonesia dalam peta energi dunia.Selama ini masyarakat, termasuk para politikus, seperti tidak paham atau tidak mau tahu bahwa Indonesia kini bukanlah produsen minyak yang besar. Dulu kita memang pernah memproduksi hingga 1,6 juta barel per hari dan menjadi anggota Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an.Namun, saat ini tidak lagi. Itu semua tinggal sejarah.

Kita kini boleh dibilang merupakan negara yang agak inferior dalam produksi dan cadangan minyak dunia. Produksi kita cuma 800 ribu barel per hari, sedangkan cadangan minyak hanya 4 miliar barel.Sebagai perbandingan, cadangan minyak dunia berada di Venezuela (300 miliar barel), Arab Saudi (275), Kanada (173), Iran (155), Irak (141), Kuwait (104), Uni Emirat Arab (98), Rusia (80), Libia (48), dan Nigeria (37). Kelak, Brasil diduga akan menjadi `juara' cadangan minyak dunia dengan tingkat cadangan di atas 300 miliar barel.

Dengan kondisi cadangan yang sedemikian tipis, BBM merupakan komoditas langka yang harus dihemat. Cara yang paling memaksa orang untuk berhemat ialah dengan menaikkan harga BBM bersubsidi, tidak ada cara lain. Terlebih lagi, BBM bersubsidi justru dinikmati para pemilik mobil pribadi, yang kadang kala cc-nya besar (di atas 1.800 cc, bahkan ada yang 4.000 cc).

Studi yang dilakukan Javier Arze del Granado dkk untuk IMF (September 2010) menunjukkan subsidi BBM yang diberlakukan di negara-negara berkembang justru 61% dinikmati 20% penduduk berpendapatan tertinggi. Sebaliknya, 20% penduduk berpendapatan terendah justru hanya menikmati manfaat 3%. Artinya, subsidi BBM mengalami misalokasi ke penduduk kaya daripada miskin. Berarti terjadi salah sasaran besar-besaran.

Dalam kasus Indonesia, angkanya tidak jauh berbeda. Diperkirakan, 70% subsidi BBM dinikmati 20% penduduk berpendapatan tertinggi. Yang menarik, Malaysia yang pendapatan per kapita penduduknya sudah mencapai US$11.500 masih memberi subsidi pada BBM. Sementara itu, pendapatan per kapita Indonesia ialah US$3.500. Malaysia masih melakukannya, saya duga, karena ada semacam sindrom sebagai produsen minyak, yang merasa wajar jika memberi subsidi BBM kepada rakyatnya.

Misalokasi BBM bersubsidi itu hanya bisa dihentikan dengan dua cara, yaitu 1) pemilik mobil pribadi sama sekali tidak boleh mengonsumsi BBM bersubsidi ataukah 2) harga BBM bersubsidi dinaikkan secara gradual.

Cara pertama mengandung masalah, bahwa pemilik mobil pribadi tidak selamanya orang kelas menengah ke atas. Ada orang yang memiliki mobil tua yang murah, ada juga yang mobilnya hasil warisan atau pemberian. Cara kedua mengandung kelemahan, masih akan terjadi misalokasi subsidi yang dinikmati orang kaya.
Pemerintahan baru presiden terpilih Jokowi bisa memilih salah satu dari opsi tersebut, atau malah mengombinasikannya. Jika penaikan harga BBM yang dipilih, hendaknya dilakukan secara bertahap, untuk menuju ke level keekonomian Rp11.000 per liter. Penaikan harga bisa dilakukan dari Rp6.500 ke sekitar Rp8.500 per liter. Memang hal itu akan menimbulkan inflasi, yang saya perkirakan bisa mencapai 1%. Dengan asumsi inflasi 2014 sekitar 5%, kemungkinan inflasi 2015 mencapai 6% masih dalam kisaran yang terjangkau (affordable) bagi pemerintahan baru.

Pilihan sulit

Cara yang cukup ekstrem ialah menghentikan penjualan BBM bersubsidi kepada pemilik mobil pribadi. Hal itu akan memenuhi asas keadilan (fairness), yang memaksa orang-orang kelas menengah ke atas (pemilik mobil) mengonsumsi BBM nonsubsidi.Memang akan ada sebagian pemilik mobil yang menjadi korban kebijakan itu, yakni pemilik mobil tua dan warisan. Namun, di sisi lain juga baiknya mendorong masyarakat untuk tidak menggunakan mobilmobil tua yang biasanya boros energi. Silakan mobil-mobil tua tersebut beristirahat di garasi masing-masing, dan bisa juga sesekali digunakan dalam ke giatan tertentu, misalnya karnaval dan ekshibisi.

Pilihan-pilihan kebijakan tersebut semuanya sulit.Tidak ada yang mudah. Itulah sebabnya saya menduga presiden terpilih Jokowi dan wakil presiden Jusuf Kalla tidak akan pernah sempat menikmati `bulan madu'. Itu persis dialami Presiden Barack Obama ketika menjadi presiden saat perekonomian AS terkena krisis subprime mortgage pada 2008-2009. Presiden AS Franklin Delano Roosevelt juga menjabat ketika depresi besar melanda perekonomian dunia, pada 1933.Roosevelt kemudian memperkenalkan program New Deal dengan pembangunan infrastruktur besar-besaran, demikian pula yang dilakukan Obama dengan program New New Deal.

Lalu, kapan momentum yang tepat untuk menaikkan harga BBM bersubsidi? Ada tiga kemungkinan, yaitu 1) pada September 2014 di akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono; 2) pada November 2014 pada era pemerintahan presiden terpilih Jokowi, dengan asumsi pada November laju inflasi sedang landai; ataukah 3) pada Februari/Maret 2015, dengan asumsi inflasi sedang rendah. Opsi pertama dan kedua akan menyebabkan inflasi 2014 mencapai 6%, sedangkan opsi ketiga akan menyebabkan inflasi 2014 hanya 5%, tetapi inflasi 2015 akan menjadi 6%.

Semua pilihan sulit, bergantung pada bagaimana dalam beberapa hari ke depan masalah itu didiskusikan antara Presiden Yudhoyono dan presiden terpilih Jokowi. Semula saya skeptis terhadap opsi pertama, dengan asumsi Presiden Yudhoyono tentunya ingin mengakhiri periode 10 tahun kepemimpinannya dengan mulus, tanpa gejolak, dengan inflasi rendah (5%) kepada penerusnya, Jokowi.

Namun, belakangan saya mencium gelagat adanya opsi lain. Bisa saja Presiden Yudhoyono tidak ingin disalahkan karena `meninggalkan bom waktu' kepada penerusnya. Bom waktu tersebut ialah struktur fiskal yang compang-camping: subsidi BBM terlalu besar, jauh melampaui kemampuan membangun infrastruktur. Itu pasti bukan akhir periode pemerintahan yang indah bagi Presiden Yudhoyono.

Karena itu, kita jadi sangat penasaran untuk menantikan, kesepakatan apakah yang bakal dicapai Yudhoyono dan Jokowi? Bisakah keduanya memutuskan hal yang sangat krusial dan sensitif, yakni mencicil penaikan harga BBM bersubsidi sebelum 20 Oktober 2014? Rasanya tidak ada yang mustahil. Bisa jadi Presiden dan presiden terpilih akan mengumumkannya bersama-sama keputusan besar itu. Kalau demikian halnya, itu akan menjadi peristiwa unik yang fantastis. Kita tunggu hasil pertemuan mereka berdua pada pekan ini.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar