Membersihkan
Racun Wajib Belajar
Bukik Setiawan ; Ketua Indonesia
Bercerita;
Inisiator Bincang Edukasi Anggota Koalisi
Reformasi Pendidikan
|
MEDIA
INDONESIA, 25 Agustus 2014
PENERAPAN kurikulum
2013 bermasalah (Media Indonesia, 17/7)
karena pelatihan guru yang tidak optimal dan belum tibanya buku pegangan
wajib ke sekolah. Selain itu, penambahan jam belajar akibat kurikulum 2013
menuai banyak protes dari masyarakat, termasuk bahkan Wakil Gubernur Jakarta
hingga DPD RI (Media Indonesia, 14/8).
Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan dalam siaran persnya (15/8) menyebutkan penambahan jam pelajaran
bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan. Tujuan tersebut berlandaskan data
dari OECD, jam pelajaran Indonesia (6.000 jam) lebih sedikit daripada
rata-rata negara OECD yang lain. Padahal, bila data tersebut dianalisis,
tidak ada korelasi antara jumlah jam pelajaran dan kualitas pendidikan di
suatu negara. Negara dengan jam pelajaran lebih banyak tidak selalu lebih
baik kualitas pendidikannya.
Sebaliknya, penambahan
jam belajar justru berpotensi memperparah persoalan pendidikan dari sudut
pandang pelajar. Tanpa perbaikan mutu proses pembelajaran, penambahan jam
belajar justru membuat siswa semakin lelah dan benci belajar. Pelajar kita
menjadi keracunan belajar.
Sebagai racun
Kualitas pendidikan
harusnya tidak hanya ditinjau dari pihak orang dewasa sebagai pelaksana dan
pengambil kebijakan, tapi juga dari sudut pandang anak sebagai pelaku pembelajaran.
Tanpa memahami sudut pandang anak, pemerintah seperti memberikan makanan
kepada anak tanpa melihat bagaimana respons dari anak, tubuh, dan jiwanya.
Pemerintah tidak mengetahui apakah dampak kebijakannya menyehatkan atau
justru meracuni anak.
Belajar saat ini telah
melampaui ambang batas dosis yang bisa dicerna anak. Hasil survei PISA
menunjukkan pelajar bahagia di sekolah bukan karena aktivitas belajar atau
interaksinya dengan guru. Pelajar bahagia karena bisa bertemu teman.
Anak-anak kita berangkat sekolah dengan niat bertemu dengan teman-temannya.
Tidak ada bukti yang menunjukkan pelajar kita suka belajar. Dengan ditambah
kemajuan IT dengan sosial media, misalnya, semakin menambah kuat dugaan bahwa
anak memang hanya suka bertemu teman-temannya ketika berangkat ke sekolah.
Mari kita melihat
kenyataan di lapangan. Apabila tidak ada nilai ujian, ganjaran, atau hukuman
apa pun, berapa pelajar yang akan belajar? Sebagian besar pelajar akan
berhenti belajar ketika tidak ada konsekuensi yang ditanggungnya. Artinya,
pelajar terpaksa belajar. Mereka belajar untuk memenuhi kewajiban atau
menyenangkan orangtua. Mereka belajar demi lulus ujian nasional.
Mengapa kita memaksa
anak belajar? Akarnya pada logika wajib belajar. Awalnya wajib belajar ialah
program yang dicetus kan setelah kemerdekaan sebagai respons cepat untuk
penyiapan manusia Indonesia dalam mengisi kemerdekaan. Program pada situasi
darurat akan menjadi salah kaprah ketika digunakan situasi yang sudah tidak
darurat lagi. Sayangnya logika darurat semacam ini masih terus dipertahankan
pemerintah.
Wajib belajar
mengasumsikan belajar ialah kewajiban. Tidak peduli anak suka atau tidak,
mereka harus belajar. Arti belajar pun disempitkan dengan bersekolah. Jadi,
suka tidak suka, anak harus bersekolah. Penggunaan logika itu kemudian
membenarkan pemerintah untuk memaksa dan menuntut anak untuk belajar, bahkan
sampai melebi hi batas kemampuan anak. Wajib belajar yang semula diniatkan
baik pun berubah menjadi racun.
Dampak racun wajib belajar
Pertama, pela jar
menjadi pusing. Belajar menjadi aktivitas yang memusingkan bagi pelajar.
Waktu TK ketika dosis masih sedikit, anak relatif suka masuk sekolah. Namun,
semakin banyak dosis, semakin anak merasa terpaksa ke sekolah. Semakin tinggi
tingkat sekolah, guru harus semakin memaksa pelajar buat belajar.
Kedua, racun wajib belajar
mematikan hasrat belajar siswa. Setiap anak pada dasarnya adalah pembelajar
alami. Mereka penuh rasa ingin tahu, tertarik, dan ingin mencoba banyak
hal.Namun, wajib belajar tidak memfasilitasi, tapi justru membunuh
keingintahuan anak. Sebagaimana yang dikatakan Neil Postman, anak masuk
sekolah sebagai tanda tanya, keluar sebagai tanda titik.
Ketiga, racun wajib
belajar melumpuhkan pelajar untuk bergerak sesuai dengan kesukaannya. Jam
belajar yang berlebihan membuat siswa tidak punya cukup waktu untuk baik
dirinya maupun keluarga, untuk bermain dan bersosialisasi. Pelajar
menghabiskan banyak waktu hanya untuk mempelajari pengetahuan yang tak
bermakna buat dirinya. Jarang sekali ada baik sekolah maupun guru yang
melakukan assessment secara cermat terhadap kemampuan anak dalam belajar
sesuai dengan gayanya (learning style).
Keempat, racun wajib
belajar membuat pelajar mati rasa. Pelajar terbiasa untuk tidak
mengekspresikan kesukaannya. Tanpa sosialisasi yang cukup, pelajar tidak
mendapatkan kesempatan buat mengasah empatinya. Sekolah kita kemudian
melahirkan robot tanpa hati. Di banyak sekolah, jarang sekali kita melihat
inisiatif dan kreativitas guru yang mencoba memaknai kelas secara meluas
sehingga belajar tak hanya terbatas pada ruang kelas. Ada begitu banyak ruang
kelas seperti pasar, rumah sakit, panti jompo, puskesmas, kantor polisi, dan
pom bensin sebagai tempat belajar siswa dalam meningkatkan daya kritis
sekaligus empati anak karena mereka terbiasa dengan dunia sekitarnya.
Membersihkan racun
Presiden terpilih, Joko
Widodo, menyatakan komitmennya melakukan perubahan termasuk di bidang
pendidikan. Dengan revolusi mentalnya, presiden terpilih punya tanggung jawab
untuk mengubah mentalitas belajar anak-anak kita. Untuk mewujudkannya,
pemerintah harus mulai dengan membersihkan racun dari tubuh dan pikirannya.
Bagaimana caranya?
Dari mendikte menjadi
mendengarkan. Pemerintah tidak lagi mendikte apa yang harus dilakukan anak
dan masyarakat, tapi mendengarkan kebutuhan dan aspirasi mereka. Undang
pelajar untuk menyampaikan pendapat, bukan hanya mereka yang berprestasi,
juga mereka yang tidak mendapat posisi. Semua harus didengarkan. Dengan
mendengarkan, pengambil kebijakan akan memahami cara membersihkan racun wajib
belajar.
Dari wajib belajar
menjadi gemar belajar. Pemerintah menganalisis semua kebijakan pendidikan
nasional. Aturan-aturan yang mempunyai semangat wajib belajar harus
dipangkas, termasuk aturan mengenai ujian nasional. Pemerintah melibatkan
potensi dan konteks lokal dalam pembelajaran. Potensi dan konteks lokal bukan
ditentukan dinas pendidikan daerah seperti yang terjadi selama ini, melainkan
oleh orangtua dan masyarakat lokal.
Otonomi pada guru
untuk berkreasi. Perlakukan guru sebagai orang terhormat, bukan sebagai pihak
yang diawasi, dikontrol, dan dicurigai. Guru harus punya cukup keleluasaan
untuk mengekspresikan kreativitasnya. Pemerintah melakukan monitoring, umpan
balik, dan pengembangan guru secara berkelanjutan.
Pada tingkat sekolah,
kepala sekolah bisa memulai membersihkan racun wajib belajar dengan berhenti
bicara, dan membuka hati untuk mendengarkan. Sebagaimana Kepala SD Tomoe
Gakuen, Sosaku Kobayashi, yang mendengarkan celotehan Toto Chan. Hanya dengan
mendengarkan, kepala sekolah bisa mendapatkan inspirasi untuk menumbuhkan
kegemaran belajar.
Kemudian kepala
sekolah membuat tantangan belajar yang bersifat sukarela.
Beberapa sekolah di
Indonesia sudah memulainya dengan mengadakan Tantangan Membaca, program menumbuhkan kegemaran membaca, tanpa
paksaan. Lupakan target, fokus pada menumbuhkan kegemaran belajar anak.
Bersihkan racun wajib belajar, stimulasi anak gemar belajar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar