Selasa, 26 Agustus 2014

Membersihkan Racun Wajib Belajar

Membersihkan Racun Wajib Belajar

Bukik Setiawan  ;   Ketua Indonesia Bercerita;
Inisiator Bincang Edukasi Anggota Koalisi Reformasi Pendidikan
MEDIA INDONESIA, 25 Agustus 2014
                                                


PENERAPAN kurikulum 2013 bermasalah (Media Indonesia, 17/7) karena pelatihan guru yang tidak optimal dan belum tibanya buku pegangan wajib ke sekolah. Selain itu, penambahan jam belajar akibat kurikulum 2013 menuai banyak protes dari masyarakat, termasuk bahkan Wakil Gubernur Jakarta hingga DPD RI (Media Indonesia, 14/8).

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam siaran persnya (15/8) menyebutkan penambahan jam pelajaran bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan. Tujuan tersebut berlandaskan data dari OECD, jam pelajaran Indonesia (6.000 jam) lebih sedikit daripada rata-rata negara OECD yang lain. Padahal, bila data tersebut dianalisis, tidak ada korelasi antara jumlah jam pelajaran dan kualitas pendidikan di suatu negara. Negara dengan jam pelajaran lebih banyak tidak selalu lebih baik kualitas pendidikannya.

Sebaliknya, penambahan jam belajar justru berpotensi memperparah persoalan pendidikan dari sudut pandang pelajar. Tanpa perbaikan mutu proses pembelajaran, penambahan jam belajar justru membuat siswa semakin lelah dan benci belajar. Pelajar kita menjadi keracunan belajar.

Sebagai racun

Kualitas pendidikan harusnya tidak hanya ditinjau dari pihak orang dewasa sebagai pelaksana dan pengambil kebijakan, tapi juga dari sudut pandang anak sebagai pelaku pembelajaran. Tanpa memahami sudut pandang anak, pemerintah seperti memberikan makanan kepada anak tanpa melihat bagaimana respons dari anak, tubuh, dan jiwanya. Pemerintah tidak mengetahui apakah dampak kebijakannya menyehatkan atau justru meracuni anak.

Belajar saat ini telah melampaui ambang batas dosis yang bisa dicerna anak. Hasil survei PISA menunjukkan pelajar bahagia di sekolah bukan karena aktivitas belajar atau interaksinya dengan guru. Pelajar bahagia karena bisa bertemu teman. Anak-anak kita berangkat sekolah dengan niat bertemu dengan teman-temannya. Tidak ada bukti yang menunjukkan pelajar kita suka belajar. Dengan ditambah kemajuan IT dengan sosial media, misalnya, semakin menambah kuat dugaan bahwa anak memang hanya suka bertemu teman-temannya ketika berangkat ke sekolah.

Mari kita melihat kenyataan di lapangan. Apabila tidak ada nilai ujian, ganjaran, atau hukuman apa pun, berapa pelajar yang akan belajar? Sebagian besar pelajar akan berhenti belajar ketika tidak ada konsekuensi yang ditanggungnya. Artinya, pelajar terpaksa belajar. Mereka belajar untuk memenuhi kewajiban atau menyenangkan orangtua. Mereka belajar demi lulus ujian nasional.

Mengapa kita memaksa anak belajar? Akarnya pada logika wajib belajar. Awalnya wajib belajar ialah program yang dicetus kan setelah kemerdekaan sebagai respons cepat untuk penyiapan manusia Indonesia dalam mengisi kemerdekaan. Program pada situasi darurat akan menjadi salah kaprah ketika digunakan situasi yang sudah tidak darurat lagi. Sayangnya logika darurat semacam ini masih terus dipertahankan pemerintah.

Wajib belajar mengasumsikan belajar ialah kewajiban. Tidak peduli anak suka atau tidak, mereka harus belajar. Arti belajar pun disempitkan dengan bersekolah. Jadi, suka tidak suka, anak harus bersekolah. Penggunaan logika itu kemudian membenarkan pemerintah untuk memaksa dan menuntut anak untuk belajar, bahkan sampai melebi hi batas kemampuan anak. Wajib belajar yang semula diniatkan baik pun berubah menjadi racun.

Dampak racun wajib belajar

Pertama, pela jar menjadi pusing. Belajar menjadi aktivitas yang memusingkan bagi pelajar. Waktu TK ketika dosis masih sedikit, anak relatif suka masuk sekolah. Namun, semakin banyak dosis, semakin anak merasa terpaksa ke sekolah. Semakin tinggi tingkat sekolah, guru harus semakin memaksa pelajar buat belajar.

Kedua, racun wajib belajar mematikan hasrat belajar siswa. Setiap anak pada dasarnya adalah pembelajar alami. Mereka penuh rasa ingin tahu, tertarik, dan ingin mencoba banyak hal.Namun, wajib belajar tidak memfasilitasi, tapi justru membunuh keingintahuan anak. Sebagaimana yang dikatakan Neil Postman, anak masuk sekolah sebagai tanda tanya, keluar sebagai tanda titik.

Ketiga, racun wajib belajar melumpuhkan pelajar untuk bergerak sesuai dengan kesukaannya. Jam belajar yang berlebihan membuat siswa tidak punya cukup waktu untuk baik dirinya maupun keluarga, untuk bermain dan bersosialisasi. Pelajar menghabiskan banyak waktu hanya untuk mempelajari pengetahuan yang tak bermakna buat dirinya. Jarang sekali ada baik sekolah maupun guru yang melakukan assessment secara cermat terhadap kemampuan anak dalam belajar sesuai dengan gayanya (learning style).

Keempat, racun wajib belajar membuat pelajar mati rasa. Pelajar terbiasa untuk tidak mengekspresikan kesukaannya. Tanpa sosialisasi yang cukup, pelajar tidak mendapatkan kesempatan buat mengasah empatinya. Sekolah kita kemudian melahirkan robot tanpa hati. Di banyak sekolah, jarang sekali kita melihat inisiatif dan kreativitas guru yang mencoba memaknai kelas secara meluas sehingga belajar tak hanya terbatas pada ruang kelas. Ada begitu banyak ruang kelas seperti pasar, rumah sakit, panti jompo, puskesmas, kantor polisi, dan pom bensin sebagai tempat belajar siswa dalam meningkatkan daya kritis sekaligus empati anak karena mereka terbiasa dengan dunia sekitarnya.

Membersihkan racun

Presiden terpilih, Joko Widodo, menyatakan komitmennya melakukan perubahan termasuk di bidang pendidikan. Dengan revolusi mentalnya, presiden terpilih punya tanggung jawab untuk mengubah mentalitas belajar anak-anak kita. Untuk mewujudkannya, pemerintah harus mulai dengan membersihkan racun dari tubuh dan pikirannya. Bagaimana caranya?

Dari mendikte menjadi mendengarkan. Pemerintah tidak lagi mendikte apa yang harus dilakukan anak dan masyarakat, tapi mendengarkan kebutuhan dan aspirasi mereka. Undang pelajar untuk menyampaikan pendapat, bukan hanya mereka yang berprestasi, juga mereka yang tidak mendapat posisi. Semua harus didengarkan. Dengan mendengarkan, pengambil kebijakan akan memahami cara membersihkan racun wajib belajar.

Dari wajib belajar menjadi gemar belajar. Pemerintah menganalisis semua kebijakan pendidikan nasional. Aturan-aturan yang mempunyai semangat wajib belajar harus dipangkas, termasuk aturan mengenai ujian nasional. Pemerintah melibatkan potensi dan konteks lokal dalam pembelajaran. Potensi dan konteks lokal bukan ditentukan dinas pendidikan daerah seperti yang terjadi selama ini, melainkan oleh orangtua dan masyarakat lokal.

Otonomi pada guru untuk berkreasi. Perlakukan guru sebagai orang terhormat, bukan sebagai pihak yang diawasi, dikontrol, dan dicurigai. Guru harus punya cukup keleluasaan untuk mengekspresikan kreativitasnya. Pemerintah melakukan monitoring, umpan balik, dan pengembangan guru secara berkelanjutan.

Pada tingkat sekolah, kepala sekolah bisa memulai membersihkan racun wajib belajar dengan berhenti bicara, dan membuka hati untuk mendengarkan. Sebagaimana Kepala SD Tomoe Gakuen, Sosaku Kobayashi, yang mendengarkan celotehan Toto Chan. Hanya dengan mendengarkan, kepala sekolah bisa mendapatkan inspirasi untuk menumbuhkan kegemaran belajar.
Kemudian kepala sekolah membuat tantangan belajar yang bersifat sukarela. 

Beberapa sekolah di Indonesia sudah memulainya dengan mengadakan Tantangan Membaca, program menumbuhkan kegemaran membaca, tanpa paksaan. Lupakan target, fokus pada menumbuhkan kegemaran belajar anak. Bersihkan racun wajib belajar, stimulasi anak gemar belajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar