Senin, 04 Agustus 2014

Pluit

                                                                        Pluit

Arswendo Atmowiloto  ;   Budayawan
KORAN JAKARTA, 02 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Karena tak tahan  direngek cucu, saya  menyertai ke mal daerah Pluit, Jakarta Utara, hari  libur kemarin ini. Tak berbeda  dengan mal lain, dagangan  yang disajikan, harga, juga kesulitan mencari tempat parkir,  kalau tak ada pemandangan  ke arah laut. Katanya mirip  laut yang diuruk di Singapura.  Suasana berbeda ini barang  kali memang menjadi nilai  jual dalam persaingan banyak  mal baru. Daerah Muara  Karang ini ternyata sudah  tak terbayangkan dibandingkan 15 tahun. Sangat jauh  berbeda, dilihat ketika saya  mencari daerah kering ketika  membuat sinetron Kenapa  Harus Inul.

Tapi yang membuat saya  menulis ini bukan mal, bukan  juga kenangan nostalgis.  Melainkan ketika meliuk  berputar saat pulang, mampir  di Waduk Pluit. Kata waduk  menggemakan makna yang  sangat berharga. Pluit, konon  dari kata fluitscip, kapal layar  panjang berlunas ramping,  bernama Het WhittePaert  yang dimangkrakkan di danau itu zaman Belanda dulu.  Danau itu sendiri semula  berkedalaman 10 meter, dan  dua tahun terakhir tinggal  2 meter saja. Pedangkalan  terus-menerus, lahan yang tadinya 80 ha berkurang 20 ha,  dengan segala masalah yang  berat. Tanah yang dikuasai  oleh yang tak berhak, pemindahan yang sensi dengan  hak asasi manusia, ini dalam  arti sebenarnya. Pergulatan  antara hak dengan kewajiban.

Antara danau yang harus  menjadi penampung air, pastilah merepotkan, juga membahayakan karena  banjir bisa menyambar pembangkit listrik  tenaga uap. Apalagi di  daerah tersebut perkembangannya begitu  pesat dengan berbagai apartemen, hotel,  mal, perumahan, jalan  lebar yang terlihat  dari pesawat terbang  sebelum mendarat di  bandara SoekarnoHatta.  Konon upaya  menyelamatkan dan  memfungsikan waduk  sudah dimulai sejak  tahun 1960. Lalu  timbul-tenggelam, diupayakan, dilupakan.  Bolak-balik tak keruan  juntrungannya. Baru  di era Jokowi-Ahok  waduk itu menemukan bentuknya. Bisa  diperbandingkan tepat  secara telak bagaimana  sebelum dibangun dan  kini setelah, sebagian,  dibangun. Itu yang saya rasakan bahkan sebelum  sore datang lebih  utuh, karena baru kemudian pengunjung  bertambah.

Beberapa  pengunjung berombongan, menikmati,  berpotret, menghibur  diri dengan menyewa  sepeda atau becak  mini atau menaikkan layang-layang,  makan bersama, atau  berparade dengan  bintang peliharaan.  Yang terpancar adalah  kegembiraan. Yang  saya rasakan adalah  pohon-pohon sekitar itu akan tumbuh  dan membuat teduh.  Lebih dari semua itu,  di sayup-sayup mata  memandang sisa-sisa  bangunan lama mungkin  akan berubah. Juga bangunan rumah susun akan lebih  terisi. Atau berbagai jenis  harapan yang, duh, sungguh  menjanjikan. Ini yang saya rasakan, justru setelah mengunjungi mal  gede pinggir laut. Ada keberhasilan dalam zaman pembangunan ini. Dan pada Waduk  Pluit, pengertian dan makna  keberhasilan itu mendarat di  bumi persoalan sebenarnya.  Betapa indah, juga saktinya,  jika Waduk Pluit menjadi  simbol nyata pemahaman  pemerintah dan masyarakatnya.

Betapa luar biasa kalau  masyarakat bisa disadarkan  pentingnya sebuah waduk untuk sebuah kebersamaan.  Betapa semua ini bisa  berlangsung dalam suasana  damai, meski di awalnya sempat panas. Karena kalau pendekatan Waduk Pluit menjadi  role model, rasa-rasanya  keberhasilan itu bukan hanya  masalah fisik. Bukan sekadar  bangunan di sana untuk mereka yang di sini. Melainkan,  dan ini lebih menggembirakan, bahwa sebenarnya yang  namanya masyarakat dan  pemerintah itu bisa berdialog.  Bisa merumuskan permasalahan dan mencari jalan  keluar bersama. Waduk Pluit yang saya  lihat sungguh menjanjikan  kemungkinan dari dinamika  yang selama kadang hanya diselesaikan dengan kekerasan.  Dinamika yang ternyata bisa  diwadahi dengan kesabaran,  kesadaran, dan saling memercayai.

Dan ketika tempat ini  menjadi tempat wisata, yang  dipamerkan, yang bisa dilihat, yang diabadikan dalam  potret, bukan hanya sebuah  tempat, melainkan juga ruang  indah untuk didiami bersama,  dirasakan keberadaannya. Waduk Pluit sungguh cantik dan inspiratif untuk semua  waduk atau sungai atau rawa  atau tanah tak bertuan menjadi ruang kebersamaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar