Selasa, 05 Agustus 2014

Doa untuk Perdamaian

                                             Doa untuk Perdamaian

Ridual Situmorang  ;   Staf Pengajar Bahasa Indonesia
dan Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan
KOMPAS, 02 Agustus 2014

                                                                                                                                   

Meski kemudian Israel dan Palestina saling serang kembali, undangan Paus Fransiskus untuk pemimpin dua negara yang bertikai, Peres dan Abbas, ke Vatikan murni hanya untuk berdoa, −bukan untuk diskusi politik−, adalah upaya revolusioner.

Betul ini adalah konsekuensi logis dari buntu dan ”gagalnya” pendekatan politik damai yang telah berkali-kali diupayakan berbagai pihak. Namun, kelihatannya Paus Fransiskus tidak sekadar mengajak pemimpin kedua negara berdoa.
Lebih luas lagi, Paus Fransiskus berusaha membuka pikiran para pemimpin dunia yang kini cenderung sekuler untuk kembali pada pendekatan doa.

Kita memang tidak dapat mengukur kekuatan doa, apalagi membatasi ukuran kekuatannya. Doa adalah sesuatu yang abstrak, tetapi hasilnya bisa konkret.
Doa pun bukan magis yang diperalat iblis, melainkan ungkapan teologis yang berhubungan transendental. Karena itu, doa adalah keindahan. Segala tindakan yang menyakiti bukanlah wujud konkret dari doa.

Pada prinsipnya, doa universal. Kitalah yang gegabah menyekatnya dalam teologi sempit. Jadi, wajarlah apabila diresapi dan dihidupi, doa menjadi senjata pamungkas untuk menyatukan segala sesuatu yang tampak berbeda.

Bukan pelarian

Pada doa, kita tidak menghalalkan logika kekuatan, apalagi kekerasan, tetapi di dalam doa, kita diharuskan untuk meresapi kekuatan logika kedamaian. Inilah yang jeli ditangkap Paus Fransiskus. Ia sadar bahwa dengan doa kesempatan untuk saling menghormati menjadi terbuka, baik dengan realitas kemanusiaan maupun ketuhanan.

North Carolina pernah menyimpulkan hasil penelitiannya pada doa-doa yang dihidupi para tokoh Perjanjian Lama—Hannah, Ruth, Salomo, dan Daniel—bahwa doa hanyalah ekspresi cinta di antara sahabat, ratapan orang jujur yang menjadi korban, upaya mengobati luka sosial, dan upaya menentang kekuatan represif.
Jadi, doa adalah sesuatu tindakan yang kongruen dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan.

Masalahnya, apakah doa para pemimpin itu lantas bermuara pada terciptanya kedamaian dunia, terutama di Israel dan Palestina? Kenyataannya, Israel dan Palestina kembali saling serang. Yang pasti, doa bukan pelarian ketika tidak ada jalan lain. Jika diresapi, dimaknai, dan dihidupi, niscaya hati mereka yang sungguh-sungguh berdoa akan saling mengasihi karena doa merupakan ekspresi cinta di antara para sahabat.

Dengan kata lain, doa mensyaratkan timbunan ego diturunkan demi kemaslahatan bersama. Israel, misalnya, harus menurunkan dosis egonya dengan cara mengakui Palestina sebagai negara. Bukan karena Palestina layak merdeka, melainkan karena hak dasar setiap manusia itu adalah bebas dan merdeka.

Sebaliknya, Palestina pun harus bertanggung jawab penuh dan menggaransi kenyamanan bagi orang Israel dan Kristen untuk bebas berziarah ke Bethlehem. Palestina pun harus mengakui Israel sebagai negara yang juga berhak atas kota suci agama mereka, dan menjamin hilangnya tindakan radikal di sana.
Itulah sebenarnya wujud konkret doa yang diharapkan oleh Paus Fransiskus.

Doa revolusioner

Kita telah sama-sama melihat dan menyaksikan mereka berdoa. Kita yakin pula, dengan doa, mereka sudah dicegah untuk melakukan hal yang tidak baik, apalagi mengkhianati.

Kalau mereka yang berdoa menjadi penyamun di kemudian hari, itu adalah masalah belakangan yang harus kita kutuk.

Apalagi, kita meyakini doa mengundang Yang Ilahi untuk hadir. Jadi, kalau mereka—terutama Peres dan Abbas—sudah berani mengundang Yang Ilahi, seharusnya mereka siap mengorbankan sesuatu untuk Yang Ilahi, yaitu pembebasan hati manusia dari setiap timbunan kebencian.

Berani mengundang Yang Ilahi berarti berani pula membiarkan Tuhan bekerja, yaitu menghapuskan segala penindasan. Jadi, seperti seruan Paus Fransiskus, ”Lakukan sesuatu yang berani, kita tidak bisa terus-terus seperti ini.”

Dalam hati, melalui doa bersama ini, kita sangat ingin agar kedamaian sesegera mungkin tercipta dari sana untuk dunia. Semoga gereja menjadi nama lain dari kasih, semoga sinagoga menjadi lambang persaudaraan, dan semoga pula masjid menjadi lambang rahmat karena pada hakikatnya agama itu adalah jalan untuk melahirkan keharmonisan, bukan kekacauan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar