Selasa, 26 Agustus 2014

Pentingnya Power Sharing

Pentingnya Power Sharing

Ardi Winangun  ;   Pengamat Politik
HALUAN, 26 Agustus 2014

Artikel AW ini telah dimuat di OKEZONENEWS 22 Agustus 2014
                                                                                                                       


Pemenang Pemilu Presiden, Jokowi, sudah ancang-ancang mem­bentuk susunan para pembantunya, menteri. Untuk mencari siapa orang yang cocok dan layak mem­bantu Jokowi, pria asal Solo, Jawa Tengah, itu membentuk Tim Transisi. Kepada orang-orang yang berada di tim itulah, Jokowi meminta masu­kan dan saran.

Sebagai orang yang berpi­kiran sederhana namun Jokowi mempunyai pendirian yang idealis. Jauh-jauh hari sebelum Pemilu Presiden dilakukan, ia berkoar-koar bahwa koalisi yang dibangun adalah koalisi tanpa syarat. Jadi tak ada syarat bila partai politik hendak berhimpun untuk men­dukung dirinya dalam Pemilu Presiden. Bila ada partai po­litik yang menyo­dorkan berapa men­­­­­teri yang dii­nginkan, sebagai syarat dukungan, pastinya tawaran itu akan ditolak. Dengan prinsip itu, maka ba­nyak partai po­litik ya­ng eng­gan me­la­buh ke­pa­danya.

Syarat yang demikian, oleh Jokowi akan diperketat de­ngan ‘aturan’ bah­wa men­teri yang ke­lak masuk dalam kabinetnya tidak boleh merang­kap jabatan sebagai strategis di partai politik. Jadi kelak tidak  ada menteri yang sekaligus ketua umum, sekre­taris umum, atau jabatan penting lain di partai politik.

Apa yang diinginkan dan diharapkan Jokowi itu bagus. Dengan demikian para menteri akan serius mengurus bi­dangnya tanpa dibebani oleh urusan-urusan lain. Seperti di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, banyak menteri yang merangkap sebagai ketua umum dan pengurus penting lain di partai politik sehingga selain mengganggu kinerja juga menjadikan kementerian itu menjadi sapi perahan untuk mendanai kegiatan dan akti­vitas partai politiknya. Akibat yang demikian beberapa men­teri tersandung masalah korupsi.

Namun benarkah Jokowi akan seidealis itu? Kalau kita lihat, Jokowi adalah Wa­likota Solo yang sukses. Berkat blusukan dan gaya kepemim­pinannya di kota itu, dirinya mendadak popular hingga menarik banyak orang atas dirinya. Kepo­pularannya itu membuat dirinya melesat menjadi Gu­bernur Jakarta hingga akhir­nya menang dalam Pemilu Presiden versi KPU.

Tetapi kalau kita cermati dengan saksama, pengalaman Jokowi dalam masalah urusan pemerintahan dan politik masih dalam lingkup yang sempit atau belum banyak pengalaman sehingga kadang-kadang ia menggampangkan masalah dengan pengalaman dan idea­lismenya itu. Lihat saja ketika ia berkampanye di Pemilukada Jakarta yang lalu, dalam soal banjir ia mengatakan, problem macet dan banjir di Jakarta kelihatannya nggak sulit-sulit amat untuk diatasi.

Bila ia mengatakan hal demikian tentu masalah banjir dan macet bisa terurai saat ini namun buktinya Jakarta tetap banjir dan macet hingga saat ini. Jokowi mengatakan demikian karena ia me­mpu­nyai pengalaman saat memim­pin Kota Solo, tapi masalahnya Solo kan bukan Jakarta.

Dengan modal pengalaman dalam lingkup kecil untuk menyelesaikan masalah yang lebih besar tentu hal demikian tidak akan bisa mengatasi masalah. Meski demikian Jokowi tetap pede dan idealisme. Bila ia masih pede serta idealisme tetapi dalam reali­tasnya tidak sesuai dengan hal yang demikian maka akan ada respons seba­liknya dari masya­rakat.

Dalam menyusun kabinet para menteri, sepertinya Jokowi masih menggunakan penga­laman di Solo dan Jakarta. Bila demikian pasti akan menim­bulkan masalah bagi partai politik pen­du­kungnya. Seba­gai partai politik pen­dukung tentu PDIP, Nasdem, PKB, Hanu­­ra, dan PKPI ingin men­dapat jatah yang la­yak dan a­dil dalam bagi-bagi kekuasaan. Hal itu wajar se­bab mereka su­dah ber­sus­ah payah dan me­ngor­­bankan se­luruh kekua­ tan­nya untuk meme­nangkan Jokowi. Selain itu bagi-bagi kekuasaan dalam politik adalah hal yang wajar dan bukan suatu hal yang tabu, aib, atau memalukan.

Wajar bila PKB ingin mendapat jatah Menteri Agama sebab PKB memiliki sumber daya manusia untuk mengu­rusi masalah itu, sudah berpengalaman dalam soal agama dan masalah-masalah yang ada. Wajar juga PKB meminta jatah menteri karena ia sudah bekerja keras untuk Jokowi. Jadi PKB layak men­dapat kue kekuasaan.

Bila permintaan PKB itu ditanggapi Jokowi dengan santai atau bahkan tidak menggubris tentu hal demikian akan mem­bawa masalah ke depan bagi kelanggengan kekua­saannya.

Jokowi tidak tanggap dalam menanggapi aspirasi partai politik pendukungnya bisa jadi seperti alasan di atas bahwa ia terlalu pede, idealisme, dan pengalaman yang kurang dalam politik dan masalah-masalah yang lebih besar yang dihadapi. Sifat-sifat yang demikian membuat ia meng­gam­pangkan masalah.

Agar koalisi pendukung Jokowi tidak pecah maka Tim Transisi atau orang-orang di sekitar Jokowi harus bisa menjadi ‘guru’ dan ‘penasehat,’ agar Jokowi lebih aspiratif dalam soal menteri. Susilo Bambang Yudhoyono yang sudah ako­modatif terhadap partai politik yang mendu­kungnya dengan mema­sukan ketua umum partai menjadi menteri saja masih digoyang-goyang oleh DPR, apalagi kalau tidak menga­komodir mereka.

Kabinet Ahli yang dii­nginkan Jokowi itu bagus namun kondisi demikian bisa terjadi bila kekua­saan itu otoriter. Jaman Pre­siden Soeharto, para men­terinya adalah orang-orang yang ahli sebab kursi di DPR dikua­sai penuh, lem­baga ne­gara lain diken­dalikan, dan pers ditutup ke­beba­sa­annya.

Jokowi mem­ben­tuk kabinet ahli murni 100 persen adalah sebuah mimpi dan angan-angan idea­lisme saja. Untuk itu Jokowi penting mengakomodir kekua­tan partai politik dalam kekua­saannya. Banyak orang yang pintar dan ahli dari partai politik. Dan dengan adanya bagi-bagi kekuasaan maka stabilitas politik lebih terjaga. Untuk itu Jokowi harus lebih luwes dalam soal para men­teri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar