Panggil
Kami Buruh Sragen!
Eko Prasetyo ;
Anggota Badan Pekerja Social Movement Institute (SMI)
|
INDOPROGRESS,
18 Agustus 2014
Apakah nasib kita akan
terus seperti
Sepeda rongsokan karatan
ini?
O, tidak, dik!
Kita akan terus melawan
Waktu yang bijak bestari
Kan sudah mengajari kita
Bagaimana menghadapi
derita
Kitalah yang akan memberi
senyum
Kepada masa depan
Jangan menyerahkan diri
pada ketakutan
Kita akan terus bergulat
(Wiji Thukul, Puisi untuk
Adik)
AKU TINGGAL di kota yang indah. Sragen namanya. Sekujur kota
dikelilingi oleh sawah. Diapit dengan pepohonan yang rindang dan sejuk.
Keramahan penduduk beradu dengan simpati kaum pendatang. Jika malam, sawah
itu mendengungkan suara kodok: ramai dan kompak. Irama malam juga dihiasi
oleh langit yang jadi pekarangan bintang. Terang kota berhiaskan lampu
jalanan. Kini lapangan telah jadi mimbar pesta: biasanya penduduk habiskan
malam di sana. Ada pasar malam di alun-alun. Mirip ibu kota tanpa kemacetan.
Seperti kota wisata tanpa kegaduhan.
Tapi ketentraman ternyata tak bisa abadi. Kota ini memikat tak
saja bagi kami tapi juga buat mereka: kawanan penyamun yang bertitel
investor. Kawanan yang disambut oleh pemerintah dengan tangan terbuka. Mereka
ingin sawah disulap jadi pabrik dan suara kodok berubah jadi suara mesin.
Berdatangan mereka dengan membawa uang dan janji.
Uang itu mempesona untuk mereka yang tak paham keindahan. Uang
itu meyentuh ambisi dan kerakusan. Uang itu mengganti keinginan jadi hasrat
dan menyulap kepentingan jadi ambisi. Maka dengan mudah uang itu meyentuh
kewenangan. Melalui pintu uang itulah sawah tidak ditanami padi tapi
bangunan. Deretan pabrik itu berdiri seperti sebuah botol di pinggiran meja:
berjejer, tanpa bentuk dan hanya mengeluarkan suara gaduh. Maka beriringan
dengan itu lahirlah janji. Lowongan pekerjaan dibuka seluas-luasnya. Persis
di depan pabrik ada pengumuman nyaring: menerima lowongan kerja. Hiasan yang
kini hampir merajai pada tiap pintu pabrik di kota kami. Maka
berbondong-bondong penduduk mendaftar sebagai buruh. Mereka berusaha untuk
mempercayai sebuah janji tentang harapan, bahwa buruh akan diperlakukan
seperti bunyi UU Perburuhan. Diberi hak berorganisasi, dikasih kesempatan
demo hingga diangkat jadi karyawan tetap. Tapi pabrik ternyata bukan lembaga
bajik yang patuh pada bunyi aturan.
Di antara nama pabrik itu adalah PT DMST (Delta Merlin Sandang
Tekstil). Letaknya di desa Bumi Aji. Persisnya berada di pinggir jalan Sragen
menuju Ngawi. Memakan tanah berhektar-hektar. Pabrik itu berdiri sejak tahun
2003. Jumlah buruhnya mencapai 3000. Perusahaan raksasa yang mengolah kapas
jadi benang lalu mengubah benang jadi kain. Seluruh proses ini tidak
diselesaikan dengan tongkat sihir tapi mesin raksasa. Mesin yang ukuran dan
kemampuanya seperti raksasa. Hingga pernah mesin itu melahap tangan buruh
sampai pergelagan. Buntung tangan itu hingga dioperasi tak bisa membuatnya
kembali sediakala. Tak hanya mesin melainkan pemilik mesin itu juga
perangainya seperti raksasa: buruh perempuan jika hamil harus berhenti,
kontrak hanya berlaku tiga bulan saja, liburan lebaran hanya 4 hari, jaminan
kesehatan nol, perlindungan hak nol dan serikat buruh hanya diperbolehkan
kalau itu sesuai keinginan perusahaan. Perbuatan nista pabrik itu berlangsung
selama 13 tahun!! PT DMST mirip rombongan penyamun yang merampok apapun yang
dimiliki manusia. Perusahaan ini meyajikan sesuatu yang kejam: buruh
selayaknya diperlakukan seperti mesin. Haknya ditenggelamkan dan kemauannya
harus sesuai dengan ambisi perusahaan. Mengail laba banyak dengan cara
memeras tenaga.
Sudah barang tentu buruh tak terima. Kesabaran ada batasnya dan
kekejaman tak bisa selamanya. Warga tak suka. Mahasiswa mau membela.
Ketiganya bersatu menentang praktek keji perusahaan DMST. Maka perlawanan
lalu disusun. Pertama mereka ingin ada perjanjian baru dengan perusahaan.
Mula-mula perusahaan mau susun janji: ingin mengubah dan memberi hak. Tapi
perusahaan tahu kalau janji tak harus ditepati. Mereka janji bukan dengan
pembeli tapi buruhnya sendiri. Janji tinggal dokumen di atas kertas. Dua kali
perundingan dilakukan dan tak membuahkan hasil. Bahkan tiap perundingan ada
Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) di sana. Jalan berunding buntu maka cara kedua:
buruh memutuskan aksi. Bukan di pabrik tapi di kantor Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Di sana mereka bertemu lagi dengan janji yang keluar dari mulut
Dewan. Janji yang membujuk dan mempesona itu disampaikan oleh dewan lewat
gaya sok tahu persoalan.1 Ketika berunding itulah kepala Disnaker hilir mudik
mirip setrika melobi Dewan. Mungkin supaya tuntutan buruh bisa dilunakkan.
Kepala Disnaker dan Dewan sepakat untuk ada di sisi buruh. Walau diucapkan di
bulan puasa tapi nyatanya itu hanya bualan. Persisnya tanggal 2 Agustus:
tiba-tiba buruh tak bisa masuk perusahaan, terutama mereka yang aktif di
serikat pekerja FBLP (Forum Buruh Lintas Pabrik). Kata pabrik, buruh yang
bisa bekerja hanya yang diundang lewat SMS. Menggelikan sekali pabrik yang
punya lebih 3000 pekerja mengundang masuk lewat SMS. Mirip undangan deklarasi
ketimbang kegiatan produksi.
PT DMST menjelma jadi gurita. Harapan buruh tinggal pada dirinya
sendiri. Maka dengan gagah berani mereka datangi pabrik. Tanggal 4 Agustus
2014, dibantu oleh warga, pabrik didatangi buruh dan mahasiswa. Disnaker yang
sejak semula tak bisa membela hanya datang menonton. Manager perusahaan
nyatanya tak bisa memenuhi tuntutan buruh. Sayangnya polisi tak mengerti
maksud suci ini. Alam pikiran hukum membentuk mereka untuk menatap rombongan
buruh sebagai pembuat onar. Tanpa perundingan, bahkan tanpa mau tahu alasan,
para buruh itu dipukul, ditangkap hingga diadili. Kapolres Sragen malah
ikutan memarahi hingga mencaci maki. Banyak saksi melihat ia ikut memukuli
massa aksi. Pentungan diayun kesana-kemari dengan korban kening, kaki hingga
punggung massa. Ada perempuan tua hingga anak muda dijambak rambutnya.
Diseretnya buruh-buruh itu dalam rombongan tersangka dan diangkut dalam
tuduhan sebagai kriminal. Kali ini Polisi seperti kaki tangan perusahaan yang
marah karena aksi buruh. Pasal tindak pidana ringan ditempelkan pada tujuh
orang yang didakwa sebagai pelaku. Persisnya tanggal 6 Agustus Pengadilan
Negeri Sragen menggelar persidangan buram: 7 buruh dianggap
menghalang-halangi karyawan masuk kerja.2 Pasal 493 KUHP dijeratkan pada
mereka. Peradilan tercepat dalam sejarah dunia hukum: ditangkap tanggal 5
Agustus dan esoknya langsung disidang.
Bagaimana sidang tercepat
itu berlangsung?
Kantor pengadilan dipenuhi oleh intel dan polisi. Truk polisi
melintang dekat halaman pengadilan. Buruh yang tergabung dalam serikat
perusahaan ikut didatangkan. Perkara tindak pidana ringan yang disidang mirip
dengan kasus teroris. Penuh pengawalan dan padat pengawasan. Polisi
berseragam dan preman bersliweran. Hari itu seakan semua petugas hukum
tumplek ke pengadilan. Mirip maklumat bahwa ini persidangan serius dan
bahaya.
Hakim tunggal mengusut dan bertanya dengan lagak. Ia berusaha
mengadili buruh dengan cara pikir pengusaha. Para saksi yang diajukan oleh
polisi selalu ditanya oleh hakim: apa perusahaan rugi dengan mogok? Apa
dibenarkan buruh kontrak minta jadi pegawai tetap? Apakah demostrasi itu
sudah minta ijin perusahaan? Bagaimana mereka dihalang-halangi oleh aksi
buruh? Entah mengapa, hari itu tersangka bukan berhadapan dengan hakim tapi
penguasa hukum yang sikapnya bela perusahaan. Puncak adegan persidangan itu
adalah: tujuh tersangka disalahkan oleh hakim karena melakukan demonstrasi.
Kata si hakim: bagaimana kalau nanti demo lalu pabrik pindah ke luar negeri.
Tidakkah warga Sragen akan rugi. Bukankah perbuatan buruh itu akan membawa
ekonomi Sragen babak-belur. Dengan garang hakim tuduh salah satu pendamping
buruh sebagai provokator yang jauh-jauh datang dari Jakarta.3 Peryataan hakim
ini lebih mirip lontaran satpam pabrik ketimbang penegak hukum. Di tangan
kualitas hakim seperti itu, vonis pidana dijatuhkan pada tujuh pembela buruh:
pidana kurungan tujuh hari dengan masa percobaan selama sebulan.
Sontak putusan itu bawa petanda. Pengadilan memang ada bersama
perusahaan. Pengadilan ternyata kawan perusahaan. Tak sekalipun perusahaan
yang ingkari hak buruh dijatuhi hukuman. Pabrik memang jadi sandaran harapan
hakim, polisi hingga disnaker. Jika tak percaya lihatlah kantor Disnaker
Sragen: megah dan mewah. Wajar jika banyak yang curiga posisi keberpihakan
Disnaker. 13 tahun perusahaan melanggar tanpa Disnaker peduli. Buruh PT DMST
bukan hanya dipotong tanganya oleh mesin melainkan juga dipangkas seluruh
haknya. Hak sebagai manusia yang punya martabat, kehormatan dan sepatutnya
dilindungi. Kontrak baru disodorkan pada buruh dengan tanggapan tunggal:
HARUS setuju. Isinya bedebah sekali: kontrak kerja hanya tiga bulan, bisa
diputus setiap saat oleh pabrik, hak berorganisasi hanya diberikan pada
serikat yang disetujui oleh perusahaan dengan gaji yang sudah ditentukan. Itu
bukan ikatan kerja yang adil tapi kontrak untuk kerja rodi. Kini buruh
memerlukan bantuan untuk membela dan memperjuangkan haknya. Bukan hanya untuk
menekan pabrik melainkan menekan pejabat siapapun yang kini berdiri di
belakang kepentingan pabrik. 13 tahun adalah waktu penjajahan yang terlampau lama
jika didiamkan saja.
Kami hanya buruh. Tapi buruh punya hati yang tak terbuat dari
baja. Kami bukan batangan mesin yang gampang untuk diganti jika rusak. Kami
manusia yang tidak hanya butuh diupah tapi juga butuh untuk diperlakukan
layaknya manusia: dilindungi, dihargai dan dijamin kebebasanya berorganisasi.
Kami tahu bahwa yang kami lawan ini raksasa berhati serigala. Itu sebabnya,
kami punya kekuatan yang tak mungkin mereka punya: keberanian dan kebenaran.
Jika kami benar maka kami berani. Dan kalau kami berani itu karena kami yakin
kalau kami benar. Keduanya itu hendak kami tebarkan bukan melalui uang, tapi
di jalan melalui aksi dan tebar persoalan. Ingatlah pintu pabrik itu pernah
kami kepung; jalanan itu sudah pernah kami buat macet dan anggota parlemen
sudah pernah kami debat. Kini pabrik DMST akan kami ingat dan pahat namanya,
bukan sebagai tempat untuk mengail laba tapi gulag yang menelan semua
perasaan manusiawi yang kami miliki. DMST akan jadi sebuah nama yang punya
alamat malapetaka yang dihuni oleh mereka yang punya keinginan mencelakai
semua pekerjanya.
DMST, mungkin kalian dengan bangga telah membekuk kami. Tujuh
orang buruh telah diseret sebagai tersangka. FBLP kau harapkan akan
ditinggalkan oleh para anggotanya. Sementara tak semua mahasiswa mau terlibat
dalam soal ini. Tapi kami tak sendiri karena kini kami melipat-gandakan diri.
Di kampus-kampus namamu akan kami ingat dengan rasa benci dan jijik. Di
sekolah kami akan ingatkan semua anak agar jangan pernah mau bekerja di sana.
Di rumah ibadah kami akan memanjatkan doa semoga Tuhan memberi azab untuk
semua yang kamu lakukan. Di luar negeri akan kami ajak seluruh penduduk dunia
untuk memboikot produkmu. Hingga di tempat-tempat umum akan kami umumkan
bahwa di negeri ini ada penindas yang berlagak membuka lowongan. Namanya tak
lain adalah PT DMST (Duta Merlin Surya Tekstil). Alamatmu di sana tertera
jelas dengan terang benderang: di kota penipu dengan rumah bertanda
kekejaman.
Kini kami mau KATAKAN: menentangmu adalah perbuatan mulia di
dunia ini. Melawanmu adalah perbuatan bajik yang diganjar dengan pahala
berlipat. Kini kami mengajak semua pembaca untuk berbaris bersama kami. Di
barisan depan kami namai barisan kehormatan. Karena pabrik itu melukai
kehormatan kota kami dan pejabat kami. Mereka menjual kehormatanya untuk
pabrik. Pada barisan tengah kami namai barisan martir. Karena lewat melawanmu
kami semua diberi anugerah sebagai terpidana. Status yang ditetapkan karena
kebenaran perjuangan. Sedang di barisan akhir kami beri nama barisan harga
diri. Karena melawanmu adalah cara untuk menggariskan sesuatu yang sudah
langka di negeri ini: harga diri sebagai manusia merdeka melawan para tiran
yang berlindung dan bersolek di balik akumulasi laba. PT DMST kami mengajakmu
ke medan laga hari ini, hari berikutnya dan hari-hari selanjutnya. Selama
kamu belum penuhi hak kami, ingin kami cetuskan janji: Melawan PT DMST selalu
& selamanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar