Selasa, 19 Agustus 2014

Kekosongan Hukum Masa Transisi Pemerintah

         Kekosongan Hukum Masa Transisi Pemerintah

Deddy S Bratakusumah  ;   Staf Ahli Menteri Bidang Pemerintahan dan Otonomi Daerah Kementerian PAN dan RB
DETIKNEWS, 18 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Transisi pemerintah merupakan langkah yang sangat penting dan tak terhindarkan dalam dinamika demokrasi. Perpindahan pemerintahan dari rezim lama kepada rezim baru selayaknya berlangsung dengan baik dan lancar, karena menyangkut kehidupan bangsa bernegara. Perpindahan rezim tidaklah sederhana, karena akan menyangkut pengejawantahan program-program yang ditawarkan oleh presiden terpilih saat kampanye, ke dalam dokumen perencanaan bahkan anggaran negara. Sangatlah naif manakala presiden terpilih harus menjalankan APBN yang disusun oleh rezim lama.

Dalam keadaan normal tanpa ekses dan gugatan pemilu, pemenang pemilu presiden di Indonesia akan dapat diketahui dan ditetapkan paling lambat pada pertengahan Agustus, sementara pelantikannya biasanya dilakukan pada akhir bulan Oktober. Jelas, presiden terpilih hanya punya waktu kurang lebih 60 hari untuk menyiapkan segalanya, mulai dari elaborasi program yang ditawarkan sampai dengan penuangannya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).

Lebih jauh lagi, presiden terpilih hanya memiliki waktu maksimal dua minggu untuk ikut membahas RAPBN tahun mendatang (inipun kalau diajak bicara oleh rezim lama). Sebagai gambaran, Nota Keuangan dan RAPBN 2015 akan disampaikan pada pertengahan Agustus 2014, saat presiden petahana memberikan pidato didepan DPR dan DPD. Tanpa kerjasama yang resmi antara penyusun RAPBN 2015 dengan tim dari presiden terpilih, mustahil program-program presiden terpilih dapat diakomodasi dalam RAPBN 2015. Selain itu, dalam kurun waktu 60 hari, presiden terpilih harus pula mempersiapkan calon-calon menteri yang akan ditempatkan dalam kabinetnya. Sungguh suatu waktu yang sangat kritis, yang memerlukan kerja keras dan hati-hati.

Bagi Indonesia, peralihan pemerintah tahun 2014 merupakan peralihan pemerintah yang senyatanya, karena tahun ini benar-benar terjadi peralihan kekuasaan dari satu presiden ke presiden lainnya yang sama sekali baru. Keadaan ini tidak pernah terjadi baik pada tahun 2004 ataupun 2009. Tahun 2004 merupakan pemilihan presiden secara langsung yang diselenggarakan untuk pertama kalinya, sehingga presiden dapat menerapkan programnya tanpa harus memperhatikan program rezim sebelumnya. Sementara itu pada tahun 2009, SBY sebagai petahana telah terpilih kembali, sehingga masa peralihan yang terjadi dapat dikatakan tanpa masalah. Tinggal lanjutkan!.

Kekosongan Hukum

Masa peralihan pemerintah yang menyangkut struktur pemerintah dan administrasi negara sejauh ini belum diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Masifnya lingkup peralihan kekuasaan dan pertanggungjawaban serta akuntabilitas dalam kurun waktu yang singkat memerlukan pengaturan dan dasar hukum yang sahih.

Lebih jauh lagi, andaikata penyelesaian pemilu presiden berlarut-larut sampai melewati bulan Oktober, maka transisi pemerintah akan berakibat pada pertanggungjawaban dan akuntabilitas keuangan serta hukum dan konstitusi yang lebih rumit. Bahkan siapa yang menjabat presiden pada masa transisi ini pun belum ada pengaturannya. Bila ini terjadi, akan terdapat kekosongan pemerintahan.

Untuk mengatasi keadaan ini, ke depan transisi pemerintah harus masuk dalam peraturan perundangan. Antara lain dapat dimasukkan ke dalam UU Pemilu dan UU Pilkada yang sedang dan akan direvisi. Kita belum terlambat, negara se kelas Amerika Serikat pun, baru mulai mengatur ihwal transisi pemerintah pada tahun 1963 melalui “The Presidential Transition Act of 1963”, yang telah mengalami dua kali amandemen.

Sebelum tahun 1963, transisi pemerintah di Amerika Serikat dilakukan oleh tim relawan dengan dana sendiri. Setelah “act” tersebut diundangkan kondisi ini tak terjadi lagi, karena di dalam “act” telah diatur bahwasanya negara harus menyediakan dan menyiapkan berbagai sumber daya dan dana untuk: (1) kantor, (2) staf pendukung beserta penggajiannya, (3) akses kepada data dan informasi resmi, dan (4) berbagai pengeluaran keuangan lainnya yang terkait dengan persiapan peralihan kekuasaan. Kiprah ini dikoordinasikan oleh semacam Sekretariat Negara.

Selanjutnya, dalam amandemen terhadap “act” yang dilakukan pada tahun 2010, masa transisi ini diperluas sampai dengan persiapan pra-pemilu. Para kandidat presiden yang sudah ditetapkan oleh “komisi pemilihan umum” berhak untuk mendapatkan fasilitas negara. Hal ini dimaksudkan agar para tim sukses dari para kandidat bisa mendapatkan akses yang resmi terhadap informasi pemerintah, sehingga program-program yang ditawarkan oleh kandidatnya tidak terlalu “ngawur”. Sebagai tambahan, disediakan pula dana untuk pelatihan dan orientasi bagi tim pendukung atau bagi individu-individu yang dianggap berpotensi untuk jadi calon menteri dalam kabinet mendatang, manakala yang bersangkutan terpilih.

Rumah Transisi Jokowi-JK

Karena tidak adanya pengaturan masalah transisi, tercetus wacana “Rumah Transisi” dari Tim Pendukug calon presiden Jokowi-JK. Wacana seperti ini sangatlah masuk akal, namun dari sisi akuntabilitas, sangat rentan terhadap berbagai distorsi. Bisa saja “Rumah Transisi” ini disponsori oleh pemodal yang memiliki kepentingan tertentu, semacam 'ijon', akibatnya mereka akan menuntut budi baiknya, tatkala presiden sudah dilantik.

Tim seperti ini pada hakekatnya merupakan tim yang berada di luar pemerintahan, sehingga akses terhadap data yang resmi milik pemerintah tentunya sangat terbatas. Akibatnya informasi yang menjadi dasar penyiapan program dan aksi pemerintah presiden baru hanya didasarkan pada data yang tersedia dan dapat diakses secara terbuka, atau bahkan mungkin hanya didapatkan dari “mbah Google”. Suatu hal yang sangat ironis.

Dengan pengalaman yang kita dapatkan dari Pemilu 2014, kita menemukan bahwasanya masa peralihan pemerintah memerlukan pengaturan yang konstitusional, agar lebih akuntabel dan dapat terhindar dari berbagai agenda terselubung para kelompok kepentingan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar