Kekosongan Hukum Masa
Transisi Pemerintah
Deddy S Bratakusumah ;
Staf Ahli Menteri Bidang Pemerintahan dan Otonomi Daerah
Kementerian PAN dan RB
|
DETIKNEWS,
18 Agustus 2014
Transisi pemerintah merupakan langkah yang sangat penting dan
tak terhindarkan dalam dinamika demokrasi. Perpindahan pemerintahan dari
rezim lama kepada rezim baru selayaknya berlangsung dengan baik dan lancar,
karena menyangkut kehidupan bangsa bernegara. Perpindahan rezim tidaklah
sederhana, karena akan menyangkut pengejawantahan program-program yang
ditawarkan oleh presiden terpilih saat kampanye, ke dalam dokumen perencanaan
bahkan anggaran negara. Sangatlah naif manakala presiden terpilih harus menjalankan
APBN yang disusun oleh rezim lama.
Dalam keadaan normal tanpa ekses dan gugatan pemilu, pemenang
pemilu presiden di Indonesia akan dapat diketahui dan ditetapkan paling
lambat pada pertengahan Agustus, sementara pelantikannya biasanya dilakukan
pada akhir bulan Oktober. Jelas, presiden terpilih hanya punya waktu kurang
lebih 60 hari untuk menyiapkan segalanya, mulai dari elaborasi program yang
ditawarkan sampai dengan penuangannya dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM).
Lebih jauh lagi, presiden terpilih hanya memiliki waktu maksimal
dua minggu untuk ikut membahas RAPBN tahun mendatang (inipun kalau diajak
bicara oleh rezim lama). Sebagai gambaran, Nota Keuangan dan RAPBN 2015 akan
disampaikan pada pertengahan Agustus 2014, saat presiden petahana memberikan
pidato didepan DPR dan DPD. Tanpa kerjasama yang resmi antara penyusun RAPBN
2015 dengan tim dari presiden terpilih, mustahil program-program presiden
terpilih dapat diakomodasi dalam RAPBN 2015. Selain itu, dalam kurun waktu 60
hari, presiden terpilih harus pula mempersiapkan calon-calon menteri yang
akan ditempatkan dalam kabinetnya. Sungguh suatu waktu yang sangat kritis,
yang memerlukan kerja keras dan hati-hati.
Bagi Indonesia, peralihan pemerintah tahun 2014 merupakan
peralihan pemerintah yang senyatanya, karena tahun ini benar-benar terjadi
peralihan kekuasaan dari satu presiden ke presiden lainnya yang sama sekali
baru. Keadaan ini tidak pernah terjadi baik pada tahun 2004 ataupun 2009.
Tahun 2004 merupakan pemilihan presiden secara langsung yang diselenggarakan
untuk pertama kalinya, sehingga presiden dapat menerapkan programnya tanpa
harus memperhatikan program rezim sebelumnya. Sementara itu pada tahun 2009,
SBY sebagai petahana telah terpilih kembali, sehingga masa peralihan yang
terjadi dapat dikatakan tanpa masalah. Tinggal lanjutkan!.
Kekosongan Hukum
Masa peralihan pemerintah yang menyangkut struktur pemerintah
dan administrasi negara sejauh ini belum diatur dalam peraturan perundangan
yang berlaku di Indonesia. Masifnya lingkup peralihan kekuasaan dan
pertanggungjawaban serta akuntabilitas dalam kurun waktu yang singkat
memerlukan pengaturan dan dasar hukum yang sahih.
Lebih jauh lagi, andaikata penyelesaian pemilu presiden
berlarut-larut sampai melewati bulan Oktober, maka transisi pemerintah akan
berakibat pada pertanggungjawaban dan akuntabilitas keuangan serta hukum dan
konstitusi yang lebih rumit. Bahkan siapa yang menjabat presiden pada masa
transisi ini pun belum ada pengaturannya. Bila ini terjadi, akan terdapat kekosongan
pemerintahan.
Untuk mengatasi keadaan ini, ke depan transisi pemerintah harus
masuk dalam peraturan perundangan. Antara lain dapat dimasukkan ke dalam UU
Pemilu dan UU Pilkada yang sedang dan akan direvisi. Kita belum terlambat,
negara se kelas Amerika Serikat pun, baru mulai mengatur ihwal transisi
pemerintah pada tahun 1963 melalui “The Presidential Transition Act of 1963”,
yang telah mengalami dua kali amandemen.
Sebelum tahun 1963, transisi pemerintah di Amerika Serikat
dilakukan oleh tim relawan dengan dana sendiri. Setelah “act” tersebut
diundangkan kondisi ini tak terjadi lagi, karena di dalam “act” telah diatur
bahwasanya negara harus menyediakan dan menyiapkan berbagai sumber daya dan
dana untuk: (1) kantor, (2) staf pendukung beserta penggajiannya, (3) akses
kepada data dan informasi resmi, dan (4) berbagai pengeluaran keuangan
lainnya yang terkait dengan persiapan peralihan kekuasaan. Kiprah ini
dikoordinasikan oleh semacam Sekretariat Negara.
Selanjutnya, dalam amandemen terhadap “act” yang dilakukan pada
tahun 2010, masa transisi ini diperluas sampai dengan persiapan pra-pemilu.
Para kandidat presiden yang sudah ditetapkan oleh “komisi pemilihan umum”
berhak untuk mendapatkan fasilitas negara. Hal ini dimaksudkan agar para tim
sukses dari para kandidat bisa mendapatkan akses yang resmi terhadap
informasi pemerintah, sehingga program-program yang ditawarkan oleh
kandidatnya tidak terlalu “ngawur”. Sebagai tambahan, disediakan pula dana
untuk pelatihan dan orientasi bagi tim pendukung atau bagi individu-individu
yang dianggap berpotensi untuk jadi calon menteri dalam kabinet mendatang,
manakala yang bersangkutan terpilih.
Rumah Transisi Jokowi-JK
Karena tidak adanya pengaturan masalah transisi, tercetus wacana
“Rumah Transisi” dari Tim Pendukug calon presiden Jokowi-JK. Wacana seperti
ini sangatlah masuk akal, namun dari sisi akuntabilitas, sangat rentan
terhadap berbagai distorsi. Bisa saja “Rumah Transisi” ini disponsori oleh
pemodal yang memiliki kepentingan tertentu, semacam 'ijon', akibatnya mereka
akan menuntut budi baiknya, tatkala presiden sudah dilantik.
Tim seperti ini pada hakekatnya merupakan tim yang berada di
luar pemerintahan, sehingga akses terhadap data yang resmi milik pemerintah
tentunya sangat terbatas. Akibatnya informasi yang menjadi dasar penyiapan
program dan aksi pemerintah presiden baru hanya didasarkan pada data yang
tersedia dan dapat diakses secara terbuka, atau bahkan mungkin hanya
didapatkan dari “mbah Google”.
Suatu hal yang sangat ironis.
Dengan pengalaman yang kita dapatkan dari Pemilu 2014, kita
menemukan bahwasanya masa peralihan pemerintah memerlukan pengaturan yang
konstitusional, agar lebih akuntabel dan dapat terhindar dari berbagai agenda
terselubung para kelompok kepentingan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar