Mahkamah
Mahabharata
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 09 Agustus 2014
Televisi makin mengukuhkan diri sebagai media informasi secara
live. Sebuah kejadian disiarkan bersamaan dengan real time. Untuk kesekian
kalinya, sidang gugatan di Mahkamah Konstitusi, Jumat (8/8), juga disiarkan
secara langsung. Siaran langsung tidak hanya digelar oleh stasiun televisi
dengan heavy berita, tapi juga televisi nonberita.
Seperti biasa, dalam siaran itu, sekaligus ada pembahasan,
opini, dan komentar jalannya persidangan. Siapa pun yang menyampaikan opini,
dan di mana saja tempatnya, dia sulit menghindarkan diri dari sikap memihak.
Keberpihakan ini tampaknya masih akan terus berlangsung dalam
sidang-sidang lanjutan. Bukan hanya dalam kasus tersebut, tetapi juga dalam
tema-tema atau isu lain yang layak dilakukan breaking news sebagai berita
penting yang harus live, tak boleh
ditunda.
Bukan kebetulan, pada waktu televisi lain bersiaran langsung,
sebuah stasiun televisi swasta menayangkan ulang Mahabharata, lakon klasik
yang mengisahkan perseteruan keluarga Bharata, antara Pendawa dan Kurawa.
Kebetulan atau bukan, episode yang ditayangkan siang itu mengenai bagian
Destarata harus memutuskan tokoh yang akan menjadi “pangeran pati” atau calon
raja Astina.
Dia mengalami dilema harus memilih Kurawa–anak keturunannya
sendiri–ataukah dari pihak Pandawa, keponakan. Sampai di sini, masa lampau
berbicara. Persaudaraan dalam arti tersurat dan tersirat antara Destarata dan
Pandu (ayah Pandawa Lima) juga Yama Widura. Mereka saling memercayai sehingga
apa pun putusan Destarata akan dipatuhi semua pihak. Ibarat kata, keputusan
Destarata adalah final dan mengikat.
Seperti umumnya “sinema India”, adegan pengumuman dipenuhi
dengan gambar wajah, close up,
reaksi emosi para pihak yang berkepentingan dan berkepanjangan. Waktu tayang
tersebut menghabiskan satu episode. Menjelang pengumuman, muncullah tokoh
Drorna (Durna) yang mengingatkan bahwa selama ini dia belum menerima bayaran.
Jadi, sebaiknya dua calon raja yang sama-sama muridnya harus membayar dulu.
Kalau tidak, persyaratan tidak sah menjadi raja. Bayarannya adalah ilmu serta
balas budi.
Kelanjutan kisah tersebut harus menunggu tayangan-tayangan berikutnya,
entah malam ini, esok, atau lusa. Maklum, pada jam tayang yang seharusnya,
tanpa informasi kepada pemirsa, televisi tersebut mengganti topik dengan
sebuah siaran berita. Barangkali ini menggambarkan sepenuhnya bahwa televisi
memang menjadi pilihan utama untuk mendapat informasi atau berita seketika
itu juga. Namun, pada saat yang sama, ada keterbatasan atau justru
keleluasaan dari sebuah tujuan. Inilah yang belakangan dipertanyakan:
keberpihakan sebuah televisi atau lebih jauh lagi menyangsikan kebohongan
yang disiarkan?
Media Sosial
Sering terjadi, dengan data dan fakta sama, bisa ada perbedaan
dalam pembentukan opini. Ini mulai dari penjudulan, pemilihan narasumber yang
ditampilkan, atau waktu dan kesempatan yang diberikan. Kalaupun narasumber yang
ditampilkan dari dua pihak mencoba cover both sides, yang berkepentingan
tetap berbeda nuansanya. Dalam bahasa sinetron ala Mahabharata berbeda
atmosfernya.
Pada titik yang bersamaan pula, media sosial seperti Twitter
atau Facebook juga merajalela. Mereka juga dilengkapi gambar, foto, dan
grafis. Mereka kadang lebih tak terkontrol dan sering menjadi lebih “nendang”
isinya. Selain itu, media sosial lebih menarik perhatian.
Misalnya, ketika tokoh Roro Jonggrang disebut sebagai contoh
yang membangun “candi” Tangkuban Perahu oleh seorang tokoh, bermunculan
reaksi. Ada yang mencoba meluruskan tak ada hubungan antara Roro Jonggrang di
Yogyakarta dan kisah Dayang Sumbi di tanah Pasundan. Ada juga yang guyon
bahwa legenda sudah diganti. Ledekan lainnya, mempertanyakan jangan-jangan
Seven Eleven pun sebenarnya proyek Roro Jonggrang.
Komentar atau ejekan bukan hanya dalam bentuk tulisan. Ada
bentuk yang kadang lebih menggelikan, seperti dalam meme (gambar atau foto
yang diberi teks) yang sungguh menghibur dan membuat tersenyum.
Kehadiran media sosial telah membuat sajian televisi atau media
cetak menjadi seperti sayur kurang garam dan sambal. Rasanya jadi hambar.
Media sosial memberi peluang seluas mungkin untuk berkreasi. Dia bisa berupa
pendekatan baru atau memperbarui pendekatan lama. Dengan demikian, dia perlu
tafsir baru untuk memahaminya.
Sebagai sumber informasi, realitas sesungguhnya, keserentakan
atau kesamaan waktu siar tak lagi monopoli milik televisi. Televisi kini tak
sendirian lagi. Juga bukan dua warna saja. Media sosial lebih banyak jenis.
Dia lebih banyak variannya dan lebih “hot” dalam arti sebenarnya. Semua juga
berlangsung 24 jam, tanpa henti.
Maka, sekarang sumber informasi (langsung) tak lagi tunggal dan
tak mungkin bisa dimonopoli. Dulu ilham dan wahyu dari para dewa hanya pada
orang tertentu: para raja dan keturunannya, seperti dalam Mahabharata, kini
jauh berbeda. Ilham turun melalui langit, satelit, dan untuk semua orang yang
bisa mengakses dalam waktu yang sama. Penafsirannya pun berbeda dari satu
penerima ke penerima lain. Informasi yang lebih berwenang bisa “dicengi,”
atau “ditoyor” bahkan ditertawakan sengakak-ngakaknya.
Wayang
Kalau proses ini mulai bisa diterima, sebenarnya Indonesia tak
perlu terlalu kaget ketika mendengar klaim bahwa “Allah bisa didesak” atau
“manusia titisan Tuhan” dan juga “Roro Jonggrang menunggu keputusan MK” atau
siapa memegangkan apa dengan cara yang spektakuler sekalipun. Karena pada
saat berikutnya, kritik, koreksi, opini, pelurusan–atau juga pembenaran, akan
bermunculan dengan lebih banyak, lebih berombongan, dan lebih sistematis.
Kedewasaan, juga kesabaran, barangkali bisa menjadi salah satu kata kunci
untuk pada akhirnya menemukan jawaban dari hiruk-pikuk ini walau mungkin
hanya jawaban sementara.
Hiruk-pikuk ini sebenarnya memang bukan saat melihat dan
menerima satu sisi informasi saja. Mahabharata pun sedang menghadirkan diri,
dan ternyata begitu banyak peminat. Tokoh-tokoh seperti Sengkuni atau Durna
cukup dikenali, juga oleh politisi. Seharusnya juga bisa dikenali
sifat-sifatnya. Kisah klasik ini agaknya masih laku, digemari sejak masih
dalam bentuk komik oleh RA Kosasih—yang lebih asli seperti yang disiarkan
saat ini. Ada juga versi S Ardisoma atau Teguh Santosa yang lebih terasa
Indonesia banget.
Saat-saat seperti ini, semua informasi saling berkelindan.
Mereka saling mengklaim kemenangan dan mengalahkan lawan dalam kata-kata yang
bisa terbukti atau hanya bualan. Sementara semua berlangsung, media klasik
seperti wayang juga masih menyampaikan ajaran yang diyakini. Kisah dalam
Mahabharata tidak berubah: kebaikan mengalahkan kejahatan, kejujuran
memenangi keculasan, dan itu perlu diperjuangkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar