Sabtu, 09 Agustus 2014

Schooling as Violence

Schooling as Violence

Ahmad Baedowi  ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 04 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

KOLOM ini sengaja menyadur judul dari buku Clive Harber, Schooling as Violence: How Schools Harm Pupils and Societies (2004), sebuah buku provokatif yang mengingatkan kita akan bahaya sekolah sebagai penyebab kekerasan. Menurut Harber, tanpa kita sadari, sekolah terus memelihara dan menanamkan benih kekerasan karena sering kali praktik belajar-mengajar berlangsung tanpa pengawasan yang memadai, baik dari masyarakat, teman sejawat guru, kepala sekolah, maupun pengawas. Sebagai sebuah lembaga yang memproduksi kebencian, sekolah tetap mempertahankan praktik-praktik kekerasan, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik.

Dalam buku yang sebagian besar berdasarkan fakta-fakta kekerasan yang terjadi di sekolah, Harber bahkan tak segan membuat metaforametafora yang menggambarkan kondisi kekerasan di sekolah dengan akibat-akibat bawaannya. Misalnya, dia menyebut persekolahan sebagai lahan persemaian paham terorisme, sekolah selalu mengajarkan kebencian (rasial), sekolah sebagai tempat dimulainya kekerasan secara seksual, sekolah membuat anak menderita karena faktor ujian, sekolah sebagai upaya militerisme karena faktor disiplin, serta--ini yang paling ekstrem--sekolah secara tak sengaja juga mengajarkan bagaimana caranya membunuh (learning to kill). Pendek kata, tak ada yang baik dan positif dari sekolah karena pada ujungnya justru persekolahanlah yang membuat masyarakat makin menderita.

Mengapa pandangan Harber ini patut dijadikan pertimbangan sebagai langkah serius sekolah dalam meminimalisasi problem kekerasan? Karena kekerasan, dalam metafora yang luas, bisa mencakup beragam perlakuan yang tidak menyenangkan baik secara fisik maupun psikologis. Efek kekerasan terhadap anak sungguh amat dahsyat karena secara fi sik ataupun psikologis, kekerasan akan membekas lama dan dalam di relung jiwa seorang anak. Dalam jangka panjang, efek psikologis mungkin yang paling mengkhawatirkan karena bisa memengaruhi peri laku seseorang ketika dewasa, bahkan di masa tuanya.

Beberapa kasus kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan dan mencuat dalam sebulan terakhir di Indonesia ini mengindikasikan adanya tindak kekerasan yang melibatkan hampir semua stakeholder sekolah, yaitu guru, pegawai, siswa, dan bahkan orangtua. Kasus pedofilia di Jakarta International School yang melibatkan pegawai dan guru, kasus guru Emon di Sukabumi yang luar biasa keji dan tak beradab, serta perlakuan kasar kakak kelas terhadap adik kelas di salah satu sekolah dasar di Jakarta Timur dan juga STIP merupakan contoh buruk betapa dunia pendidikan seolah tak mampu menghindari dan sekaligus melawan kekerasan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan pernah berwacana untuk mengeluarkan peraturan presiden yang berkaitan untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan di dunia pendidikan. Meskipun hingga saat ini belum terwujud, paling tidak hal itu menandakan bahwa kekerasan di dunia pendidikan sudah masuk kriteria kejadian luar biasa, sehingga presiden harus turun tangan menangani isu ini. Jika perpres tersebut jadi dirilis, sesungguhnya juga bisa merupakan penanda lemahnya birokrasi pendidikan kita dalam menangani masalah ini secara kelembagaan. Padahal, seharusnya penanganan isu dan masalah kekerasan dimulai di tingkat sekolah, bukan oleh sebuah peraturan presiden. Meskipun memiliki banyak kekurangan, sekolah merupakan penanggung jawab secara langsung bagaimana seharusnya pola perilaku dan cara berpikir anak harus dibentuk, bukan oleh peraturan yang terlalu jauh jaraknya dengan kondisi lingkungan sekolah.

Yang menarik dari buku Clive Harber ialah kesimpulannya bahwa sekolah harus terus ada dan harus menjadi bagian dari upaya menumbuhkan sikap dan sifat damai dalam diri siswa. Lawan dari kekerasan adalah perdamaian, dan damai adalah karakter. Untuk mencapainya dibutuhkan laku sikap dan cara berpikir positif yang dirancang melalui sebuah skenario. Jika skenario adalah sebuah rencana, pendidikan adalah domain yang mampu mewadahi setiap orang untuk menggali potensi damai dalam diri masing masing. Dalam pendidikan, seseorang harus bersedia belajar tentang semua hal, termasuk menggali rasa dan situasi damai. 
Seperti semua ajaran agama, rasa dan situasi damai ialah pesan abadi yang dibawa oleh setiap nabi dengan agamanya masing-masing. Karena itu, pendidikan adalah sarana keselamatan setiap orang.

Selain itu, ada baiknya juga jika setiap kepala sekolah, guru, orangtua, dan para pendidik membaca memoar Jodee Blanco, Please Stop Laughing at Me: One Womans's Inspirational Story yang diterbitkan oleh Penerbit Alvabet menjadi Bencana Sekolah! Memoar Mengejutkan, Menggugah, dan Menginspirasi tentang Bullying (2013). Dalam pengakuan Jodee, “Saya membiarkan para siswa tahu bahwa bullying bisa merusak kita selamanya, dan bahwa bullying bukan cuma berarti hal-hal keji yang kita lakukan, melainkan juga hal-hal baik yang tidak kita lakukan, seperti membiarkan seseorang duduk sendirian saat makan siang, selalu memilih terakhir orang yang sama ketika membagi-bagi tim di kelas, atau berbicara tentang seseorang alih-alih berbicara dengan mereka.“

Kita harus terus meyakinkan para kepala sekolah, guru, siswa, pegawai, dan para pendidik bahwa kekerasan seharusnya bukan pilihan utama untuk menjalankan proses pendidikan yang baik dan benar. Dalam proses mendidik, keseimbangan target belajar antara pikir dan hati harus selalu berjalan seirama.

Pasalnya, apa yang kita ajarkan kepada para siswa pada dasarnya merupakan sebuah rekayasa pikir dan emosi kejiwaan yang akan memberikan pengaruh terhadap emosi dan intelektual masyarakat.

Sebagai contoh, jika perilaku tidak terpuji di bidang pendidikan terjadi, pasti akan memiliki pengaruh yang kuat terhadap apa yang terjadi di masyarakat. Pendidikan, sebagaimana kehidupan, ialah proses tak berujung yang harus direkayasa secara generik dan bertanggung jawab agar apa yang akan terjadi di masyarakat bisa dikendalikan dengan baik. Pada sisi ini, aspek emosional dan sosial proses pembelajaran harus dibentuk melalui sebuah mata rantai yang kuat antara pikiran dan hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar