Schooling
as Violence
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 04 Agustus 2014
KOLOM ini sengaja menyadur
judul dari buku Clive Harber, Schooling
as Violence: How Schools Harm Pupils and Societies (2004), sebuah buku
provokatif yang mengingatkan kita akan bahaya sekolah sebagai penyebab
kekerasan. Menurut Harber, tanpa kita sadari, sekolah terus memelihara dan
menanamkan benih kekerasan karena sering kali praktik belajar-mengajar
berlangsung tanpa pengawasan yang memadai, baik dari masyarakat, teman
sejawat guru, kepala sekolah, maupun pengawas. Sebagai sebuah lembaga yang
memproduksi kebencian, sekolah tetap mempertahankan praktik-praktik kekerasan,
baik yang bersifat fisik maupun nonfisik.
Dalam buku yang sebagian besar
berdasarkan fakta-fakta kekerasan yang terjadi di sekolah, Harber bahkan tak
segan membuat metaforametafora yang menggambarkan kondisi kekerasan di
sekolah dengan akibat-akibat bawaannya. Misalnya, dia menyebut persekolahan
sebagai lahan persemaian paham terorisme, sekolah selalu mengajarkan
kebencian (rasial), sekolah sebagai tempat dimulainya kekerasan secara
seksual, sekolah membuat anak menderita karena faktor ujian, sekolah sebagai
upaya militerisme karena faktor disiplin, serta--ini yang paling
ekstrem--sekolah secara tak sengaja juga mengajarkan bagaimana caranya
membunuh (learning to kill). Pendek
kata, tak ada yang baik dan positif dari sekolah karena pada ujungnya justru
persekolahanlah yang membuat masyarakat makin menderita.
Mengapa pandangan Harber ini
patut dijadikan pertimbangan sebagai langkah serius sekolah dalam
meminimalisasi problem kekerasan? Karena kekerasan, dalam metafora yang luas,
bisa mencakup beragam perlakuan yang tidak menyenangkan baik secara fisik
maupun psikologis. Efek kekerasan terhadap anak sungguh amat dahsyat karena
secara fi sik ataupun psikologis, kekerasan akan membekas lama dan dalam di
relung jiwa seorang anak. Dalam jangka panjang, efek psikologis mungkin yang
paling mengkhawatirkan karena bisa memengaruhi peri laku seseorang ketika
dewasa, bahkan di masa tuanya.
Beberapa kasus kekerasan yang
terjadi di dunia pendidikan dan mencuat dalam sebulan terakhir di Indonesia
ini mengindikasikan adanya tindak kekerasan yang melibatkan hampir semua
stakeholder sekolah, yaitu guru, pegawai, siswa, dan bahkan orangtua. Kasus
pedofilia di Jakarta International
School yang melibatkan pegawai dan guru, kasus guru Emon di Sukabumi yang
luar biasa keji dan tak beradab, serta perlakuan kasar kakak kelas terhadap
adik kelas di salah satu sekolah dasar di Jakarta Timur dan juga STIP
merupakan contoh buruk betapa dunia pendidikan seolah tak mampu menghindari
dan sekaligus melawan kekerasan.
Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono bahkan pernah berwacana untuk mengeluarkan peraturan presiden yang
berkaitan untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan di dunia pendidikan.
Meskipun hingga saat ini belum terwujud, paling tidak hal itu menandakan
bahwa kekerasan di dunia pendidikan sudah masuk kriteria kejadian luar biasa,
sehingga presiden harus turun tangan menangani isu ini. Jika perpres tersebut
jadi dirilis, sesungguhnya juga bisa merupakan penanda lemahnya birokrasi
pendidikan kita dalam menangani masalah ini secara kelembagaan. Padahal,
seharusnya penanganan isu dan masalah kekerasan dimulai di tingkat sekolah,
bukan oleh sebuah peraturan presiden. Meskipun memiliki banyak kekurangan,
sekolah merupakan penanggung jawab secara langsung bagaimana seharusnya pola
perilaku dan cara berpikir anak harus dibentuk, bukan oleh peraturan yang
terlalu jauh jaraknya dengan kondisi lingkungan sekolah.
Yang menarik dari buku Clive
Harber ialah kesimpulannya bahwa sekolah harus terus ada dan harus menjadi
bagian dari upaya menumbuhkan sikap dan sifat damai dalam diri siswa. Lawan
dari kekerasan adalah perdamaian, dan damai adalah karakter. Untuk
mencapainya dibutuhkan laku sikap dan cara berpikir positif yang dirancang
melalui sebuah skenario. Jika skenario adalah sebuah rencana, pendidikan
adalah domain yang mampu mewadahi setiap orang untuk menggali potensi damai
dalam diri masing masing. Dalam pendidikan, seseorang harus bersedia belajar
tentang semua hal, termasuk menggali rasa dan situasi damai.
Seperti semua
ajaran agama, rasa dan situasi damai ialah pesan abadi yang dibawa oleh
setiap nabi dengan agamanya masing-masing. Karena itu, pendidikan adalah
sarana keselamatan setiap orang.
Selain itu, ada baiknya juga
jika setiap kepala sekolah, guru, orangtua, dan para pendidik membaca memoar
Jodee Blanco, Please Stop Laughing at
Me: One Womans's Inspirational Story yang diterbitkan oleh Penerbit
Alvabet menjadi Bencana Sekolah! Memoar
Mengejutkan, Menggugah, dan Menginspirasi tentang Bullying (2013). Dalam
pengakuan Jodee, “Saya membiarkan para
siswa tahu bahwa bullying bisa merusak kita selamanya, dan bahwa bullying
bukan cuma berarti hal-hal keji yang kita lakukan, melainkan juga hal-hal
baik yang tidak kita lakukan, seperti membiarkan seseorang duduk sendirian
saat makan siang, selalu memilih terakhir orang yang sama ketika membagi-bagi
tim di kelas, atau berbicara tentang seseorang alih-alih berbicara dengan
mereka.“
Kita harus terus meyakinkan
para kepala sekolah, guru, siswa, pegawai, dan para pendidik bahwa kekerasan
seharusnya bukan pilihan utama untuk menjalankan proses pendidikan yang baik
dan benar. Dalam proses mendidik, keseimbangan target belajar antara pikir
dan hati harus selalu berjalan seirama.
Pasalnya, apa yang kita ajarkan
kepada para siswa pada dasarnya merupakan sebuah rekayasa pikir dan emosi
kejiwaan yang akan memberikan pengaruh terhadap emosi dan intelektual
masyarakat.
Sebagai contoh, jika perilaku
tidak terpuji di bidang pendidikan terjadi, pasti akan memiliki pengaruh yang
kuat terhadap apa yang terjadi di masyarakat. Pendidikan, sebagaimana
kehidupan, ialah proses tak berujung yang harus direkayasa secara generik dan
bertanggung jawab agar apa yang akan terjadi di masyarakat bisa dikendalikan
dengan baik. Pada sisi ini, aspek emosional dan sosial proses pembelajaran
harus dibentuk melalui sebuah mata rantai yang kuat antara pikiran dan hati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar