Kamis, 14 Agustus 2014

Konflik Internal Partai Beringin

                               Konflik Internal Partai Beringin

Ismatillah A Nu’ad  ;   Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina Jakarta
JAWA POS, 14 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

PARTAI Golongan Karya (Golkar) mengalami konflik internal setelah ada kubu yang menginginkan partai berjuluk Partai Beringin itu sebaiknya menjadi mitra atau koalisi dalam pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Kubu tersebut mengingatkan bahwa Golkar tak memiliki sejarah sebagai partai oposisi. Menjelang musyawarah nasional, kekuasaan kubu Aburizal Bakrie terancam oleh beberapa fungsionaris yang siap-siap juga mencalonkan diri sebagai ketua umum. Kepemimpinan ARB –sapaan Aburizal Bakrie– dianggap telah gagal membawa Golkar menuju kejayaannya.

Memang, jika ada partai politik pascapilpres yang tengah menjadi perbincangan hangat saat ini, itulah Partai Golkar. Parpol pemenang kedua dalam Pileg 2014 itu saat ini tengah bingung memikirkan masa depannya. Saat ini Golkar memiliki peluang besar untuk menjadi partai oposisi mengingat kursi di DPR nanti cukup banyak, mengimbangi PDIP. 

Meski belum pernah ada dalam sejarahnya bagi Golkar, tradisi oposisi sangat penting sebagai perimbangan supaya pemerintahan nanti tidak berjalan sepihak. Selain itu, salah satu rumusan demokrasi, mesti ada kekuatan oposisi yang berfungsi melakukan kritik, kontrol, koreksi, dan sekaligus sebagai kekuatan penyeimbang bagi status quo.

Kekosongan kekuatan oposisi dipercaya sebagai salah satu jalaran bagi munculnya pemerintahan otoritarian, yakni pemerintahan yang bekerja atas kemauan sendiri, tanpa bisa dikoreksi meskipun keliru. Sistem politik demokrasi yang tunaoposisi justru akan menjadi ancaman bagi demokrasi itu sendiri.

Kemenangan PDIP pada pileg di satu sisi akan memperkuat posisi pemerintahan mendatang. Karena itulah, banyak pimpinan parpol yang berusaha merapat ke pasangan Jokowi-JK. Tapi, di sisi lain, harus ada pimpinan parpol yang berdemarkasi dari kekuasaan status quo. Ini penting sebagai langkah ke depan untuk mengawal agar proses demokratisasi tetap terjaga. Demarkasi politik atau penjagaan jarak dengan kekuasaan status quo menyimbolkan oposisi yang nanti bertugas mengawal aspirasi rakyat sesungguhnya, bukan oposisi dalam arti hanya untuk mendapat power sharing.

Jika kekuatan oposisi terbentuk, secara otomatis harus terjadi ”pembagian” wewenang kuasa. Dalam arti, kebijakan politik tidak akan sepenuhnya diambil presiden beserta gerbong politiknya. Namun, akan terjadi pencairan kebijakan karena ada pembagian ide serta gagasan yang nanti dimainkan kekuatan oposan.

Oposisi yang berbasis pada nilai-nilai demokrasi tidak sama sekali diarahkan untuk merusak keadaan. Namun justru bervisi untuk memperbaiki dan menyempurnakan tatanan sehingga mendatangkan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat. Karena itu, oposisi juga mesti tetap menjaga sistem supaya bisa terus berlangsung. 

Menurut Ignas Kleden, oposisi harus menjadi semacam advocatus diaboli atau devil’s advocate yang memainkan peran sebagai setan yang menyelamatkan kita justru dengan mengganggu kita terus-menerus. Dalam peran itu, oposisi berkewajiban mengemukakan titik-titik kelemahan dari suatu kebijakan. Sehingga apabila kebijakan itu diterapkan, segala hal yang dapat mengakibatkan efek samping yang merugikan rakyat sudah lebih dulu ditekan seminimal mungkin. Sehingga kebijakan membawa berkah, bukan membawa petaka (Kleden, 2001 : 5).

Tidak seharusnya kekuatan oposisi bertubrukan atau apalagi membuat suatu kesenjangan (gap) yang tajam antara satu dan lainnya seperti dialami negara-negara yang baru mengawali proses demokratisasi di mana hal itu sesungguhnya sangat childish. Oposisi mesti menjadi sebuah kekuatan sinergis yang dapat membawa kebijakan ke arah yang lebih baik dan integral. Kekuasaan politik memang tidak boleh absolut, tapi harus patuh pada aturan main dan demokrasi itu sendiri.

Oposisi yang diharapkan ke depan adalah oposisi yang terlembaga ke dalam institusi politik. Di sinilah kemudian letak kans besar Golkar. Golkar sebagai institusi politik berhak menjadi kekuatan oposisi karena memiliki fungsi-fungsi politik, seperti fungsi rekrutmen politik.

Dalam membangun pemerintahan yang kuat ke depan dan menjaga agar agenda perubahan dapat terlaksana dengan baik, dibutuhkan sparring partner dalam dunia politik sebagai kekuatan penyeimbang (balance of power). Kekuatan penyeimbang yang diharapkan tentunya yang benar-benar berperan sebagai kekuatan pengontrol yang efektif demi tujuan politik kemaslahatan bersama (politics of the common good).

Selama ini kekuatan oposisi yang terlembaga nyaris tidak dimiliki, baik pada kekuatan-kekuatan politik maupun kelompok-kelompok politik yang ada. Peran oposisi malah lebih banyak dipraktikkan gerakan mahasiswa dan LSM dalam mengontrol kebijakan pemerintah di sektor publik. Tentu, dengan kelemahan yang dimiliki, kekuatan oposisi yang dilakoninya tidak akan mampu membuat pemerintahan berjalan efektif dan efisien karena ketiadaan kekuatan pemaksa yang dimiliki, namun hanya sebagai kekuatan penekan.

Dipandang dari etika kebebasan, oposisi dapat dikatakan sebagai kegiatan parlementarian yang paling terhormat (J. Stuart Mill, 1987). Dalam tangga demokrasi dia mampu menempati ukuran tertinggi karena bisa mencegah adanya ancaman status quo. Paham yang menyatakan bahwa the winner takes all dapat dikurangi atau dihambat dengan adanya falibilisme dalam etika berdemokrasi. Prinsip ini menyatakan bahwa adanya perwakilan politik tidak selalu menjamin identik dengan penyerahan kedaulatan rakyat. Padahal, kita tahu bahwa perwakilan rakyat itu temporer sifatnya, sedangkan kedaulatan itu permanen.

Untuk itu, oposisi harus menjadi permanen dalam kehidupan demokrasi. Sebab, selama ini belum ada pelembagaan oposisi sebagai bagian dari unsur demokrasi secara nyata, yang ada hanya pada tataran teoretis. Padahal, kita tahu, dengan menjalankan demokrasi, konsekuensinya harus ada oposisi sebagai pengawas yang independen. Politik oposisi adalah nilai yang melekat pada demokrasi. Jika demokrasi dimengerti sebagai transaksi politik yang sekuler, konsekuensinya: setiap hasil transaksi terbuka untuk dipersoalkan ulang.

Oposisi dimaksudkan untuk menjamin keterbukaan demokrasi dan memastikan bahwa monopoli kebenaran atas dasar apa pun tidak boleh terjadi. Sehingga terbukti bahwa politik berfungsi untuk menjaga netralitas ruang publik. Metodenya dapat dilakukan melalui penyediaan alternatif pandangan dan pemikiran untuk diuji secara rasional berdasar argumen yang bisa diterima semua kepentingan politik yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar