Jati
Diri Bangsa Maritim
Muhammad Arief Rosyid Hasam ; Ketua Umum PB HMI
|
REPUBLIKA,
25 Agustus 2014
Jika betul kita ingin mencapai kehormatan dan
kesejahteraan sebagai bangsa berdaulat, inilah saatnya memusatkan perhatian
pada pembangunan maritim. Bukan hanya demi meningkatkan daya tahan dan daya
saing kita di tengah dinamika bangsa-bangsa, juga karena lautan memiliki
kekayaan yang sangat melimpah dan telah lama terabaikan.
Hampir 8 juta km persegi luas Tanah Air
Indonesia, 70 persen bagiannya adalah lautan. Inilah negara maritim terbesar
dengan potensi keanekaan hayati lautan paling kaya di muka bumi. Apalagi
didukung posisinya di titik persinggungan pelayaran global, jika dikelola
dengan baik, akan menjadi sumber kekuatan geopolitik dan geoekonomi bagi
bangsa ini.
Rokhmin Dahuri (2012) menyebut, dari
sedikitnya 10 sektor ekonomi maritim yang dapat dikembangkan, termasuk
perikanan, energi, pariwisata, dan perhubungan, memiliki total nilai ekonomi
hingga 1,2 triliun dolar AS, setara dengan tujuh kali APBN 2014. Kesempatan
kerja yang bisa dihidupkan dari seluruh sektor ini mencapai 50 juta orang,
atau sekitar 42 persen dari total angkatan kerja saat ini.
Potensi ekonomi ini sekian lama terabaikan
karena pembangunan kewilayahan dan SDM bangsa kita bertumpu pada pemenuhan
kebutuhan daratan (land-base oriented),
dan meninggalkan kebutuhan lautan (sea-base
oriented). Kekeliruan ini telah dimulai sejak dalam pikiran, dengan
mengatakan Tanah Air kita sebagai wilayah lautan yang ditaburi pulau-pulau,
saat kenyataan menunjukkan sebaliknya.
Dahulu Presiden Soekarno yang memang mendalami
sejarah menunjukkan keberpihakan besar pada pembangunan maritim. Dengan
dukungannya, Perdana Menteri Djuanda mendeklarasikan Wawasan Nusantara, yang
menghimpun wilayah republik hingga sebesar saat ini. Namun wawasan tersebut
tak dilanjutkan pemerintahan yang menggantikannya, yang hingga saat ini tetap
bangga melaksanakan pembangunan berdasar land-based oriented yang dipandu
dana bantuan luar negeri.
Hasilnya kebijakan politik-ekonomi kita berupa
alokasi anggaran negara, dana perbankan, pembangunan infrastruktur, dan
pembangunan manusia tak lagi ditujukan pada pemanfaatan potensi kepulauan,
pesisir pantai, dan kelautan. Sehingga pergerakan ekonomi-sosial-politik
hanya tak merata ke seluruh wilayah kepulauan Indonesia, namun berputar-putar
di daratan, terutama di pulau Jawa.
Pembangunan bangsa
maritim
Untuk mengembalikan orientasi pembangunan
maritim, yang pertama dibutuhkan adalah manusia-manusia yang akan
mendukungnya. Barangkali kita perlu membangun "manusia baru"
Indonesia dengan kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan yang memadai untuk
mengolah potensi laut yang demikian besar.
Wawasan kelautan perlu disuntikkan ke
kurikulum sekolah tingkat dasar hingga menengah. Sekolah-sekolah tinggi
dengan kurikulum kelautan perlu diperkuat. Negara Tiongkok yang hanya
seperempat wilayahnya lautan saja, mendirikan universitas maritim di tiap
provinsi yang wilayahnya berhubungan dengan laut, mengapa kita tidak?
Lebih besar lagi, kita perlu pengembangan
kebudayaan khususnya bagi generasi muda agar memiliki wawasan dan bangga jika
bekerja di profesi maritim. Butuh media dan kampanye berkelanjutan untuk
menggugah kesadaran bangsa tentang kemegahan potensi lautan kita, baik untuk
kebutuhan industri maupun pertahanan wilayah.
Pengembangan kebudayaan tentu memerlukan waktu
yang tak sebentar. Perlu juga kita menetapkan sebuah landasan politik yang
kukuh dan relevan dengan visi maritim. Landasan politik ini merupakan jaminan
bagi kemantapan dan keberlanjutan pemerintahan pusat maupun daerah dalam visi
pembangunan maritim. Visi tersebut perlu dilanjutkan dalam bentuk kebijakan
dan program aksi pemerintahan. Sinergi kelembagaan perlu dibangun untuk
memadukan berbagai aspek dan menghilangkan sektoral seperti terjadi selama
ini.
Untuk memandu luasnya cakupan pembangunan
maritim, barangkali pemerintah ke depan memerlukan sebuah kementerian
koordinator bidang maritim. Kemenko ini perlu untuk menyelaraskan kebijakan
lintas sektor, termasuk perikanan, perhubungan, kewilayahan, industri,
pariwisata, dan energi kelautan. Seperti Bung Karno di tahun 60-an menunjuk
Ali Sadikin membawahi menteri koordinator urusan maritim.
Sehingga pembangunan maritim Indonesia bukan
sekedar visi satu pemerintahan, namun keniscayaan bagi siapa pun yang
memimpin negara maritim ini di masa mendatang. Seluruh potensi perlu
digerakkan untuk menghidupkan kembali daya maritim, sehingga sanggup mengarungi
bahtera bangsa dalam arus besar persaingan mondial.
Kerja besar sedang menunggu. Hingga di masa
depan, tumbuh pusat-pusat pertumbuhan baru yang tak lagi berkisar di
kota-kota besar hari ini: Pangkalan Bun, Tanjung Pinang, Derawan, Miangas,
Flores, Morotai, Sorong, dll. Inilah janji bagi kemajuan di masa depan, yang
perlu sama-sama kita buktikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar