Selasa, 05 Agustus 2014

Ratapan

                                                                  Ratapan

Anonim  ;   Kolumnis “Kredensial” Kompas
KOMPAS, 03 Agustus 2014

                                                                                                                                   

Rafah, Khan Younis, Gaza City, Jabalya, Beit Lahiya, dan Beit Hanun rasanya begitu dekat di hati. Kota-kota itu pernah kami kunjungi tak lama setelah digempur habis-habisan oleh Israel pada perang 2008-2009. Dan, beberapa di antaranya kami kunjungi lagi pada tahun 2012.

Perang Israel-Hamas (27 Desember 2008-18 Januari 2009) begitu dahsyat. Gempuran Israel yang diberi nama Operation Cast Lead, paling kurang, menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa, menyebabkan 1.440 orang Palestina tewas dan 5.380 orang terluka. Rumah-rumah ambruk. Gedung-gedung sekolah rusak berat. Masjid-masjid tidak lagi berdiri tegak karena kubahnya sudah rata dengan tanah. Rumah sakit-rumah sakit menjadi begitu muram karena begitu banyak orang terluka, anak-anak dan perempuan tak berdaya, bergeletakan. Dan, kamar mayat penuh. Perkebunan jeruk dan zaitun rusak parah. Kini, tragedi itu berulang.

Gaza City menjadi kota mati ketika malam tiba. Ah, betapa terpencilnya kota itu dari dunia luar. Semua sisinya—laut, darat, dan udara—ditutup oleh Israel dengan moncong senjata dan tank serta kapal perang dan pesawat tempur. Meminjam ratapan Yeremia ketika melihat Jerusalem yang runtuh dan menjadi sunyi: laksana seorang jandalah ia, yang dahulu agung di antara bangsa-bangsa, yang dahulu ratu di antara kota-kota, sekarang menjadi tak berdaya. Demikian pula keadaan Gaza City dan kota-kota di Jalur Gaza ketika itu dan kini.

Pada malam hari, tersedu-sedu ia menangis. Tak ada seorang pun yang menghibur dia. Negara-negara Arab yang biasanya ramai-ramai mendukung Hamas (Palestina) kini seperti diam. Ali Younes, analis CNN, mengatakan, apa yang terjadi saat ini di luar kebiasaan. Danielle Pletka dari The American Enterprise Institute berpendapat, perang kali ini ”perang kelompok berhaluan keras—Persaudaraan Muslim, Hamas, Hezbollah, dan pendukung-pendukung mereka, yakni Iran, Qatar, dan Turki—melawan Israel dan negara-negara Arab yang lebih moderat, termasuk Jordania, Mesir, dan Arab Saudi”. Dalam bahasa lain, Fareed Zakaria mengatakan, ”Inilah proxy war untuk mengontrol atau mendominasi Timur Tengah.”

Posisi mereka berseberangan dengan Qatar, Turki, dan Iran yang mendukung Hamas, juga Hezbollah dan Persaudaraan Muslim. Turki yang tidak senang dengan perubahan di Mesir (dengan tersingkirnya Muhammad Mursi) harus berhadapan dengan koalisi Kairo dan Riyadh. Sementara itu, Hamas ingin menegaskan posisinya, semacam mempertegas posisi tawarnya dengan Fatah, setelah tercapai kesepakatan untuk membentuk pemerintahan Palestina bersatu.

Karena itu, perundingan perdamaian baru akan memberikan hasil kalau melibatkan, selain Mesir, juga Turki dan Qatar serta tentu Amerika Serikat yang bisa menekan Israel dalam peta baru di Timur Tengah ini. Sementara itu, hingga Jumat lalu, sudah 1.654 orang Palestina tewas—80 persen di antaranya penduduk sipil, termasuk sedikitnya 296 anak-anak. Apa yang bisa penduduk Gaza lakukan selain meratap ketika melihat orang-orang yang dicintai tewas berkalang tanah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar