Ratapan
Anonim ;
Kolumnis “Kredensial”
Kompas
|
KOMPAS,
03 Agustus 2014
Rafah, Khan Younis, Gaza City, Jabalya, Beit Lahiya, dan Beit
Hanun rasanya begitu dekat di hati. Kota-kota itu pernah kami kunjungi tak
lama setelah digempur habis-habisan oleh Israel pada perang 2008-2009. Dan,
beberapa di antaranya kami kunjungi lagi pada tahun 2012.
Perang Israel-Hamas (27 Desember 2008-18 Januari 2009) begitu
dahsyat. Gempuran Israel yang diberi nama Operation Cast Lead, paling kurang,
menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa, menyebabkan 1.440 orang Palestina
tewas dan 5.380 orang terluka. Rumah-rumah ambruk. Gedung-gedung sekolah
rusak berat. Masjid-masjid tidak lagi berdiri tegak karena kubahnya sudah
rata dengan tanah. Rumah sakit-rumah sakit menjadi begitu muram karena begitu
banyak orang terluka, anak-anak dan perempuan tak berdaya, bergeletakan. Dan,
kamar mayat penuh. Perkebunan jeruk dan zaitun rusak parah. Kini, tragedi itu
berulang.
Gaza City menjadi kota mati ketika malam tiba. Ah, betapa
terpencilnya kota itu dari dunia luar. Semua sisinya—laut, darat, dan
udara—ditutup oleh Israel dengan moncong senjata dan tank serta kapal perang
dan pesawat tempur. Meminjam ratapan Yeremia ketika melihat Jerusalem yang
runtuh dan menjadi sunyi: laksana seorang jandalah ia, yang dahulu agung di
antara bangsa-bangsa, yang dahulu ratu di antara kota-kota, sekarang menjadi
tak berdaya. Demikian pula keadaan Gaza City dan kota-kota di Jalur Gaza
ketika itu dan kini.
Pada malam hari, tersedu-sedu ia menangis. Tak ada seorang pun
yang menghibur dia. Negara-negara Arab yang biasanya ramai-ramai mendukung
Hamas (Palestina) kini seperti diam. Ali Younes, analis CNN, mengatakan, apa
yang terjadi saat ini di luar kebiasaan. Danielle Pletka dari The American
Enterprise Institute berpendapat, perang kali ini ”perang kelompok berhaluan
keras—Persaudaraan Muslim, Hamas, Hezbollah, dan pendukung-pendukung mereka,
yakni Iran, Qatar, dan Turki—melawan Israel dan negara-negara Arab yang lebih
moderat, termasuk Jordania, Mesir, dan Arab Saudi”. Dalam bahasa lain, Fareed
Zakaria mengatakan, ”Inilah proxy war untuk mengontrol atau mendominasi Timur
Tengah.”
Posisi mereka berseberangan dengan Qatar, Turki, dan Iran yang
mendukung Hamas, juga Hezbollah dan Persaudaraan Muslim. Turki yang tidak
senang dengan perubahan di Mesir (dengan tersingkirnya Muhammad Mursi) harus
berhadapan dengan koalisi Kairo dan Riyadh. Sementara itu, Hamas ingin
menegaskan posisinya, semacam mempertegas posisi tawarnya dengan Fatah,
setelah tercapai kesepakatan untuk membentuk pemerintahan Palestina bersatu.
Karena itu, perundingan perdamaian baru akan memberikan hasil
kalau melibatkan, selain Mesir, juga Turki dan Qatar serta tentu Amerika
Serikat yang bisa menekan Israel dalam peta baru di Timur Tengah ini.
Sementara itu, hingga Jumat lalu, sudah 1.654 orang Palestina tewas—80 persen
di antaranya penduduk sipil, termasuk sedikitnya 296 anak-anak. Apa yang bisa
penduduk Gaza lakukan selain meratap ketika melihat orang-orang yang dicintai
tewas berkalang tanah? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar