Belajar
dari Kemajuan Republik Korea
Vishnu Juwono ; Dosen Administrasi Publik FISIP Universitas Indonesia,
Kandidat Doktor dari London School of Economics (LSE),
London, Inggris
|
KORAN
SINDO, 05 Agustus 2014
Beberapa pekan lalu penulis mendapatkan kesempatan yang berharga
untuk mempresentasikan makalah pada dua konferensi internasional yakni World Conference for Public Administration
(WCPA) yang berlangsung pada 25-27 Juni 2014 di Kota Daegu serta Public Management Research Conference
(PMRC) pada 29Juni-1 Juli 2014 di Seoul
National University.
Penulis mempresentasikan makalah berjudul “The Partner in Prosecuting Crime: the Role of International
Organization in Setting-Up Corruption Eradication Commission in Indonesia”
pada kedua konferensi tersebut. Saat melakukan presentasi di forum WCPA yang
menarik adalah akademisi dari universitas di Filipina dan Thailand yang ingin
mengetahui lebih jauh sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di
Indonesia. Mereka tertarik dengan keefektifan KPK dalam pemberantasan korupsi
di Indonesia karena pengalaman di Filipina dan Thailand dengan berbagai
inisiatif antikorupsi serta lembaga antikorupsinya tidak berjalan efektif.
Sebabnya, secara politik sengaja dilemahkan serta sumber dayanya
terbatas karena telah mengganggu kepentingan elite politik di Thailand dan
Filipina. Di konferensi WCPA ini sesama akademisi Indonesia juga
berkesempatan mempresentasikan makalahnya. Ada rekan penulis dari departemen
administrasi di Universitas Indonesia Wahyu Mahendra, dosen dari Universitas
Terbuka Nurcholis Hanif, Mani F Broto serta Yuli T E Anshori.
Pelajaran dari Republik
Korea
Namun, dari kunjungan selama hampir dua minggu ini yang
mengesankan adalah kemajuan negara republik Korea yang begitu cepat hingga
menjadi salah satu negara maju di dunia. Sebagai contoh kondisi Kota Seoul.
Dengan desain bangunan-bangunan dalam kota yang mengombinasikan arsitektur
modern seperti kompleks Dongdaemun
Design Plaza dengan gedung-gedung bersejarah Korea yang dirawat dengan
baik seperti Istana Changdeokgung,
bisa dikatakan Seoul sudah memenuhi syarat sebagai salah satu kota
megapolitan dunia yang modern dan maju.
Awalnya republik Korea pada waktu merdeka kondisinya tidak
berbeda dengan Indonesia, sebagai negara dengan tingkat pendidikan serta
pendapatan yang masih rendah. Pada 1945 penduduk Korea yang menikmati bangku
pendidikan tingkat menengah ke atas hanya 5% dan hingga 1960-an pendapatan
per kapita republik Korea hanya USD100 per tahun. Selain itu juga akhir 1990-an
republik Korea bersama-sama dengan Indonesia terkena imbas dari krisis
ekonomi Asia sehingga mendapatkan bantuan dari Dana Moneter Indonesia (IMF).
Saat ini Korea termasuk dalam 20 kelompok negara dengan ekonomi
terbesar dunia, tetapi juga dengan pendapatan per kapita lebih dari lima kali
Indonesia yakni di atas USD30.000 per tahun (OECD, 2012). Menurut Joseph Lee dari kantor Perdana Menteri Korea
Selatan yang ditemui penulis di konferensi WCPA, orang tua warga Korea sangat
mengutamakan pendidikan anaknya sehingga sebagian besar pendapatannya
dialokasikan untuk kebutuhan anaknya tersebut. Saat republik Korea berdiri
sehabis perang saudara Korea kondisinya memprihatinkan di mana 1/3
penduduknya tidak punya rumah dan hanya 21% dari tanahnya layak untuk
bertani.
Akibat itu, mereka berinvestasi besar di dalam bidang
pendidikan. Hasilnya siswa tingkat menengah Korea masuk dalam lima besar
untuk bidang studi Membaca dan Matematika serta nomor tujuh untuk sains
berdasarkan hasil tes Programme for
International Student Assessment (PISA) pada 2013 untuk mengukur kualitas
pendidikan internasional. Selain kompetensi dan keahlian, budaya kompetisi
juga ditekankan kepada warga Korea. Presiden Korea Park Chung Hee yang
memimpin sejak 1961 menerapkan nilai-nilai kerja keras kepada warganya.
Akibat itu, baik pegawai negeri maupun pegawai swasta Korea
dikenal dengan etos kerja kerasnya dengan jam kerja yang sangat panjang.
Berdasarkan data dari OECD pekerja Korea bekerja selama 2.193 jam per tahun,
tertinggi dibandingkan negara-negara tergabung dalam OECD. Selain itu, Korea
juga sadar karena tidak memiliki kekayaan alam, satu-satunya jalan untuk
meningkatkan pendapatan negara dan kemakmuran masyarakat dengan meningkatkan
performa perdagangannya melalui produk ekspor yang unggul.
Berkat kerja sama yang efektif antara pemerintah dan beberapa
konglomerasi perusahaan yang dikenal sebagai Chaebol seperti Samsung,
Hyundai, dan Lotte pada 1962- 1967 mereka membangun industri yang kuat. Ini
menjadi fondasi yang kokoh bagi kinerja ekspor Korea hingga saat ini. Tidak
heran tingkat ekspor Korea selama 1964-1977 meningkat dari USD100 juta
menjadi USD10 miliar. Pada periode yang sama pendapatan per kapita juga
meningkat dari USD120 menjadi USD1.040 (Tudor, 2012). Dengan krisis ekonomi
pada 1997, konglomerat Chaebol tidak mendapatkan proteksi sebanyak sebelum
krisis dari pemerintah.
Presiden Kim Dae Jung yang berkuasa sejak Januari 1998 mendorong
disahkan berbagai undang-undang penting untuk perbaikan tata kelola
korporasi, pelindungan pemilik minoritas dan mengurangi korupsi antara
politisi dan para Chaebol . Akibat itu, para Chaebol dipaksa untuk
berkompetisi pada pasar internasional. Hasilnya sebagai contoh produk-produk
elektronik seperti smartphone dari Samsung, lemari es LG atau televisi
Samsung cukup laku di pasar internasional, termasuk pasar Indonesia.
Beberapa tahun terakhir ini Pemerintah Korea mencoba melakukan diversifikasi
agar tidak terlalu bergantung pada Chaebol dengan mengembangkan industri
hiburan. Ini dilihat bagaimana film-film komersial Korea menembus pasar
Jepang dan negara Asia lain. Kemudian juga melalui industri musik pop,
melalui K-Pop, mereka juga berhasil menembus pasar Asia. Tidak heran
perusahaan rekaman SM Entertainment dan YM Entertainment mempunyai nilai
kapitalisasi di bursa pasar modal Korea masing-masing sebesar USD1 miliar dan
USD250 juta dolar.
Membangun tenaga kerja melalui pendidikan dan etos kerja keras,
berorientasi pada pengembangan produk ekspor teknologi tinggi serta
kompetitif, serta fleksibilitas pemerintah dalam mengantisipasi persaingan
global, menurut penulis, merupakan kebijakan yang patut diikuti pemerintah
baru yang bekerja pada Oktober 2014 mendatang agar Indonesia dapat menjadi
negara maju seperti Korea. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar