Rabu, 06 Agustus 2014

Membendung Arus Urbanisasi

                                  Membendung Arus Urbanisasi

Paulus Mujiran  ;   Pemerhati Sosial,
Ketua Pelaksana Yayasan Soegijapranata Semarang
SINAR HARAPAN, 04 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   
                               
Arus balik setelah Lebaran usai segera menggeliat. Setelah gegap gempita dengan mudik ke kampung halaman, sebentar lagi warna arus balik akan segera terasa. Selebrasi perjalanan dengan susah payah menuju kampung halaman segera berubah menjadi mengularnya jutaan kendaraan menuju kota-kota besar.

Perjalanan arus balik tidak kalah melelahkan. Dalam kondisi lelah setelah liburan panjang, masih harus berjibaku dengan kemacetan panjang. Kerusakan jalan di berbagai tempat patut diduga menjadi penyebab kemacetan dan berkontribusi terhadap kecelakaan.

Kalau mudik menandai pergerakan manusia dari kota ke kampung halaman atau udik. Arus balik menandai kembalinya kaum urban ini ke kota-kota tempat selama ini mereka tinggal. Dampak mudik dan arus balik ialah terjadinya migrasi sebagian penduduk untuk mengais rezeki di kota.

Mereka tergiur bujuk rayu dan cerita sukses sanak saudara mereka yang sukses di kota. Membanjirnya warga desa yang hendak mencari penghidupan layak di kota setelah Lebaran, tidak terhindarkan. Uniknya, momentum itu selalu jatuh setelah Lebaran.

Penghapusan Operasi Yustisi Kependudukan (OYK) 2013 lalu, membuat Kota Jakarta terbuka bagi semua pendatang baru. Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menyatakan, siapa pun boleh datang ke Jakarta asal mempunyai pekerjaan.

Dampak dihapuskannya OYK, pendatang baru yang memasuki Jakarta diperkirakan naik 25,5 persen. Penelitian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LDFE UI) terhadap penduduk DKI Jakarta mudik Lebaran sebanyak 3.616.774, atau 36,21 persen dari total penduduk Jakarta sebanyak 9.988.329 orang.

Jika dibandingkan jumlah pemudik sebanyak 3.616.774 orang dan jumlah arus balik diperkirakan mencapai 3.685.274 orang, terdapat pendatang baru ke Jakarta mencapai 68.500 orang, atau 1,89 persen dari jumlah arus mudik. Pendatang ke DKI Jakarta ini naik 25 persen atau 17.500 orang dibandingkan tahun lalu mencapai 51.000 orang.

Ada tiga kategori pendatang ke Jakarta. Pertama, pendatang baru yang akan menetap di Jakarta. Kedua, ada yang tinggal sementara waktu. Ketiga, pendatang yang segera pulang ke kampung halaman.

Ada banyak alasan mengapa Jakarta masih menjadi magnet bagi pendatang. Pertama, hingga kini Jakarta masih menjadi barometer, terutama dari sisi pertumbuhan industri dan penyerapan lapangan kerja. Jakarta masih dianggap tempat untuk segala keinginan tercapai, terutama dalam mengubah hidup seseorang.

Berbondong-bondong orang dari daerah datang ke Jakarta untuk satu tujuan, mencari penghidupan yang lebih layak. Selama pembangunan hanya bertumpu di Jakarta, arus urbanisasi menuju Jakarta tidak pernah dapat dibendung.

Jakarta memang menjanjikan pekerjaan dari strata elite seperti menteri, DPR, dan pengusaha, tetapi juga tempat bertarungnya warga mencari penghidupan kelas bawah seperti tukang ojek, sopir bajaj, pedagang kaki lima, tukang sapu, bahkan tukang tambal ban dan pemulung. Jakarta memang ramah dan menyediakan hampir semua pekerjaan itu bagi semua orang.

Keterbukaan Jakarta semenjak masa lalu menyebabkan orang berbagai etnis, budaya, agama, dan latar belakang sosial mengais penghidupan di Jakarta.

Kedua, kaum urban berbondong-bondong ke Jakarta karena daya dukung pedesaan semakin menyempit. Sempitnya lapangan kerja di desa menyebabkan mereka lebih suka bekerja di kota karena mudah mendapatkan uang.

Ini menjadi potret hancurnya sektor pertanian yang menopang kehidupan penduduk desa. Kehancuran sektor pertanian disebabkan sempitnya lahan dan permainan kebijakan yang tidak menentu.

Banyak keputusan, khususnya bagi penduduk desa, cenderung berubah-ubah. Pergantian kebijakan dalam sesaat membuat lahan-lahan pertanian menjadi rusak. Kebijakan menanam cengkeh yang kemudian diminta berganti kakao, lantas teh, benar-benar menyebabkan pertanian menjadi rusak.

Idealnya satu keluarga petani mampu mengelola 2-3 ha lahan untuk penghidupan yang layak. Namun, sekarang target itu tidak terjadi. Akibatnya, kemiskinan dan kemelaratan yang dialami petani dan warga pedesaan yang kekurangan lahan.

Ketiga, kurangnya keterampilan anak-anak muda desa untuk bekerja di sektor-sektor pertanian yang mampu menjadi daya dukung dalam membangun desa. Kurikulum sekolah yang berorientasi kepada pembangunan di kota menyebabkan dalam diri anak-anak lebih tertanam mengenai kehidupan kota ketimbang pedesaan.

Bahasa kurikulum dan materi pengajaran yang lebih menanamkan mengenai segala hal berbau kota menyebabkan ukuran-ukuran sukses bahwa hidup, tinggal, dan bekerja di kota. Nyaris tidak pernah ada persiapan untuk mengelola lahan-lahan di desa yang kesuburan tanahnya kian berkurang.

Tentu, ke depan kondisi pembangunan yang timpang antara desa dengan kota perlu diselaraskan. Pembangunan yang bertumpu kepada budaya kota harus digantikan dengan pembangunan yang lebih ramah kepada desa. Selama ini, satu-satunya kendala desa tidak maju karena kecilnya anggaran yang dikelola desa.

Amanat Undang-Undang Nomor 6/2013 mengenai Desa adalah solusi sekaligus terobosan untuk lebih meningkatkan taraf hidup orang desa dalam pembangunan. Urbanisasi hanya dapat dibendung dengan pembangunan yang lebih diarahkan ke desa.

Tentu saja, pelaksanaan UU itu masih harus dikawal. Bukan tidak mungkin jika kelak dana Rp 1,2 miliar per tahun per desa benar-benar cair tapi penggunaannya tidak terawasi. Sangat mungkin dana itu justru menjadi bancakan aparat tingkat desa yang ujung-ujungnya terjerat korupsi.

Sekarang, bagaimana komitmen mengangkat persoalan desa ini sehingga penduduknya dapat mencintai desanya sendiri. Di samping tentu saja, lapangan kerja padat karya seperti industri yang menyerap banyak tenaga kerja diarahkan ke pedesaan.

Kendala infrastruktur jalan dan transportasi harus dapat diatasi secepatnya. Pembangunan jalan tol Trans-Jawa dan Trans-Sumatera perlu dilanjutkan di era pemerintahan baru.

Sukses tidak harus menuju Jakarta dan membebani Jakarta dengan masalah-masalah sosial yang kian kompleks. Mudik memang tidak semata-mata soal ketimpangan pembangunan, tetapi juga ajang silaturahmi yang merekatkan desa dengan kota. Sebagai tradisi, ini harus tetap terpelihara bahkan dirawat. Namun, dampaknya berupa arus urbanisasi harus dapat dibendung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar