Membendung
Arus Urbanisasi
Paulus Mujiran ; Pemerhati Sosial,
Ketua Pelaksana Yayasan Soegijapranata Semarang
|
SINAR
HARAPAN, 04 Agustus 2014
Arus balik setelah Lebaran usai segera menggeliat. Setelah gegap
gempita dengan mudik ke kampung halaman, sebentar lagi warna arus balik akan
segera terasa. Selebrasi perjalanan dengan susah payah menuju kampung halaman
segera berubah menjadi mengularnya jutaan kendaraan menuju kota-kota besar.
Perjalanan arus balik tidak kalah melelahkan. Dalam kondisi
lelah setelah liburan panjang, masih harus berjibaku dengan kemacetan
panjang. Kerusakan jalan di berbagai tempat patut diduga menjadi penyebab
kemacetan dan berkontribusi terhadap kecelakaan.
Kalau mudik menandai pergerakan manusia dari kota ke kampung
halaman atau udik. Arus balik menandai kembalinya kaum urban ini ke kota-kota
tempat selama ini mereka tinggal. Dampak mudik dan arus balik ialah terjadinya
migrasi sebagian penduduk untuk mengais rezeki di kota.
Mereka tergiur bujuk rayu dan cerita sukses sanak saudara mereka
yang sukses di kota. Membanjirnya warga desa yang hendak mencari penghidupan
layak di kota setelah Lebaran, tidak terhindarkan. Uniknya, momentum itu
selalu jatuh setelah Lebaran.
Penghapusan Operasi Yustisi Kependudukan (OYK) 2013 lalu,
membuat Kota Jakarta terbuka bagi semua pendatang baru. Wakil Gubernur DKI
Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menyatakan, siapa pun boleh datang ke Jakarta
asal mempunyai pekerjaan.
Dampak dihapuskannya OYK, pendatang baru yang memasuki Jakarta
diperkirakan naik 25,5 persen. Penelitian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia (LDFE UI) terhadap penduduk DKI Jakarta mudik Lebaran
sebanyak 3.616.774, atau 36,21 persen dari total penduduk Jakarta sebanyak
9.988.329 orang.
Jika dibandingkan jumlah pemudik sebanyak 3.616.774 orang dan
jumlah arus balik diperkirakan mencapai 3.685.274 orang, terdapat pendatang
baru ke Jakarta mencapai 68.500 orang, atau 1,89 persen dari jumlah arus
mudik. Pendatang ke DKI Jakarta ini naik 25 persen atau 17.500 orang
dibandingkan tahun lalu mencapai 51.000 orang.
Ada tiga kategori pendatang ke Jakarta. Pertama, pendatang baru
yang akan menetap di Jakarta. Kedua, ada yang tinggal sementara waktu.
Ketiga, pendatang yang segera pulang ke kampung halaman.
Ada banyak alasan mengapa Jakarta masih menjadi magnet bagi
pendatang. Pertama, hingga kini Jakarta masih menjadi barometer, terutama
dari sisi pertumbuhan industri dan penyerapan lapangan kerja. Jakarta masih
dianggap tempat untuk segala keinginan tercapai, terutama dalam mengubah
hidup seseorang.
Berbondong-bondong orang dari daerah datang ke Jakarta untuk
satu tujuan, mencari penghidupan yang lebih layak. Selama pembangunan hanya
bertumpu di Jakarta, arus urbanisasi menuju Jakarta tidak pernah dapat
dibendung.
Jakarta memang menjanjikan pekerjaan dari strata elite seperti
menteri, DPR, dan pengusaha, tetapi juga tempat bertarungnya warga mencari
penghidupan kelas bawah seperti tukang ojek, sopir bajaj, pedagang kaki lima,
tukang sapu, bahkan tukang tambal ban dan pemulung. Jakarta memang ramah dan
menyediakan hampir semua pekerjaan itu bagi semua orang.
Keterbukaan Jakarta semenjak masa lalu menyebabkan orang
berbagai etnis, budaya, agama, dan latar belakang sosial mengais penghidupan
di Jakarta.
Kedua, kaum urban berbondong-bondong ke Jakarta karena daya
dukung pedesaan semakin menyempit. Sempitnya lapangan kerja di desa
menyebabkan mereka lebih suka bekerja di kota karena mudah mendapatkan uang.
Ini menjadi potret hancurnya sektor pertanian yang menopang
kehidupan penduduk desa. Kehancuran sektor pertanian disebabkan sempitnya
lahan dan permainan kebijakan yang tidak menentu.
Banyak keputusan, khususnya bagi penduduk desa, cenderung
berubah-ubah. Pergantian kebijakan dalam sesaat membuat lahan-lahan pertanian
menjadi rusak. Kebijakan menanam cengkeh yang kemudian diminta berganti
kakao, lantas teh, benar-benar menyebabkan pertanian menjadi rusak.
Idealnya satu keluarga petani mampu mengelola 2-3 ha lahan untuk
penghidupan yang layak. Namun, sekarang target itu tidak terjadi. Akibatnya,
kemiskinan dan kemelaratan yang dialami petani dan warga pedesaan yang
kekurangan lahan.
Ketiga, kurangnya keterampilan anak-anak muda desa untuk bekerja
di sektor-sektor pertanian yang mampu menjadi daya dukung dalam membangun
desa. Kurikulum sekolah yang berorientasi kepada pembangunan di kota
menyebabkan dalam diri anak-anak lebih tertanam mengenai kehidupan kota
ketimbang pedesaan.
Bahasa kurikulum dan materi pengajaran yang lebih menanamkan
mengenai segala hal berbau kota menyebabkan ukuran-ukuran sukses bahwa hidup,
tinggal, dan bekerja di kota. Nyaris tidak pernah ada persiapan untuk
mengelola lahan-lahan di desa yang kesuburan tanahnya kian berkurang.
Tentu, ke depan kondisi pembangunan yang timpang antara desa
dengan kota perlu diselaraskan. Pembangunan yang bertumpu kepada budaya kota
harus digantikan dengan pembangunan yang lebih ramah kepada desa. Selama ini,
satu-satunya kendala desa tidak maju karena kecilnya anggaran yang dikelola
desa.
Amanat Undang-Undang Nomor 6/2013 mengenai Desa adalah solusi
sekaligus terobosan untuk lebih meningkatkan taraf hidup orang desa dalam
pembangunan. Urbanisasi hanya dapat dibendung dengan pembangunan yang lebih
diarahkan ke desa.
Tentu saja, pelaksanaan UU itu masih harus dikawal. Bukan tidak
mungkin jika kelak dana Rp 1,2 miliar per tahun per desa benar-benar cair
tapi penggunaannya tidak terawasi. Sangat mungkin dana itu justru menjadi
bancakan aparat tingkat desa yang ujung-ujungnya terjerat korupsi.
Sekarang, bagaimana komitmen mengangkat persoalan desa ini
sehingga penduduknya dapat mencintai desanya sendiri. Di samping tentu saja,
lapangan kerja padat karya seperti industri yang menyerap banyak tenaga kerja
diarahkan ke pedesaan.
Kendala infrastruktur jalan dan transportasi harus dapat diatasi
secepatnya. Pembangunan jalan tol Trans-Jawa dan Trans-Sumatera perlu
dilanjutkan di era pemerintahan baru.
Sukses tidak harus menuju Jakarta dan membebani Jakarta dengan
masalah-masalah sosial yang kian kompleks. Mudik memang tidak semata-mata
soal ketimpangan pembangunan, tetapi juga ajang silaturahmi yang merekatkan
desa dengan kota. Sebagai tradisi, ini harus tetap terpelihara bahkan
dirawat. Namun, dampaknya berupa arus urbanisasi harus dapat dibendung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar