Senin, 04 Agustus 2014

Ahok

                                                                       Ahok

Arswendo Atmowiloto  ;   Budayawan
KORAN JAKARTA, 26 Juli 2014
                                                            
                                                                                                                                   

Bayangkan situasi yang  agak-agak panas. Pertarungan capres Jokowi   dengan Prabowo yang kian   keras. Saat itu terdengar komentar di luar dugaan. “Kalau   Pak Jokowi menang, saya jadi   gubernur. Kalau Pak Prabowo   yang menang, saya jadi Menteri Dalam Negeri.” Yang   mengatakan adalah Ahok.   Nama yang lebih akrab diucap   dibandingkan nama resmi   Ir Basuki Tjahaja Purnama.   Karier politiknya menempatkan dalam posisi yang menguntungkan dari segi nasib. Ia,   saat itu Wakil Gubernur, dan   diusung Partai Gerindra. 

Kini, Ahok yang menjadi Pelaksana Tugas sejak 1   Juni 2014, tinggal menunggu   waktu menjadi Gubernur DKI.   Gubernur yang “sangat dekat   dengan presiden, bisa sering   ngobrol”. Dan kenyataannya begitu. Jokowi yang kini menjabat lagi sebagai gubernur adalah Jokowi yang resmi   menjadi presiden Oktober   nanti. 

Dan kita, masyarakat   DKI dan juga masyarakat   Indonesia, akan lebih terbiasa mendengar komentar   yang tidak biasa. Bagi Ahok,   agaknya keterbukaan adalah   kekuatannya sekaligus kritik   yang diarahkan padanya. Ia   memang kontroversial, meskipun ketika ketemu saya, justru   julukan itu-itu yang ditempelkan ke saya. 

Keterbukaannya mencerminkan keberanian. Keterbukaan didasari kejujuran. Itu   yang membuatnya bersuara   keras. Kadang juga terdengar   pedas. Merampas perhatian   sehingga beberapa orang   dekatnya, termasuk kru acara   TVRI, Minggu Malam bersama Slamet Rahardjo, menjuluki Ahok “salah minum   obat”. 

Anehnya, Ahok justru   menyukai julukan itu dan   menceritakan ke mana-mana.   Saya mengenal melalui acara   itu, dan beberapa kali. Karena Ahok narasumber yang   selalu siap, tepat waktu, dan membuat suasana tidak garing. Selalu ada kemungkinan ledakan, dan ia tak ingin   meralatnya, waktu itu selalu   taping, direkam sehingga bisa   dikoreksi. 

Secara agak pribadi, saya   pernah diajak datang ke pertemuan. Waktu itu menjelang   kampanye Gubernur DKI.   Ada satu pertemuan di daerah   sekitar Halim. Sebaiknya saya   datang. Tumben Ahok pengen  ditemani. “Lu tau kan yang ngadain pertemuan ini orang-orang Solo dan sekitarnya.   Mana gua kenal?” Kira-kira   begitulah gaya bicaranya. Dan   memang saat itu Jokowi tak   bisa datang karena harus balik   ke Solo yang katanya ada bom   meledak. Di panggung pun   Ahok mengatakan hal ini ketika memperkenalkan diri. 

Keterbukaan tercermin   dalam gerak dan pilihan langkah. Ini yang awal-awalnya   membuat pendengarnya   terperangah, membuat telinga merah, gerah. Sampai   kemudian berkesimpulan ini   tindakan yang gagah, atau   tak mau kalah. Kasus Ahok   didemo Forum Pembela Islam   yang merasa dipojokkan, juga   dijawab tenang. “Lho, Pak   Presiden SBY maunya FPI   dibubarkan. Mendagri nyuruh  kerja sama. Bingung saya.”   Keterbukaan ini sudah terekspresikan sejak anggota DPRD   atau Bupati di daerah asal- nya, Belitung Timur. Dengan   memberikan nomor kontak,   dan benar-benar dicermati,   sehingga beberapa saat lalu   sempat terjadi peristiwa yang menggelikan. Ada SMS masuk   yang memberitahukan “ada   kabar gembira”, langsung   dijawab “apa itu?” Dan ketika   dijelaskan bahwa itu bagian   dari iklan, ada penyesalan   supaya jangan bercanda di   nomor ini.  

Itulah Ahok, dan inilah gubernur DKI resmi, kalau sudah   dilantik. Dan Jakarta dalam   hal tertentu memerlukan sikap   terbuka, tegas, dan kontinu.   Ahok sangat memiliki modal   untuk itu, dan agaknya zaman   perubahan memberi peluang   yang sangat bagus untuknya.  Keterbukaan yang ditunjukkan   menuntut bersih diri, seperti   yang dikatakan. “Pemimpin   yang tidak ikut main, bisa   bebas menekan, termasuk   memecat yang korup.” Ia benar   dalam hal ini. Orang miskin   jangan melawan orang kaya,   orang kaya jangan melawan   pejabat, adalah kata mutiara kuno yang menemukan   bentuk operasionalnya pada   zaman yang terbuka. Dan ini   dimungkinkan sekarang di Ibu Kota kita, dengan Gubernur Koh Ahok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar