Tiga
Asas Pemidanaan
L Wilardjo ;
Fisikawan
|
KOMPAS,
10 Maret 2014
Dalam lakon ”Gandamana Tundung”,
ada misi muhibah damai dari Kerajaan Pringgadani untuk beraudiensi dengan Prabu
Pandu Dewanata, raja Astina. Patih Trigantalpati meminta delegasi menunggu di
tapal batas Kerajaan Astina karena ia akan melapor dulu ke Prabu Pandu.
Trigantalpati melihat peluang
emas untuk menjadi patih tunggal di Astina. Waktu itu ada dua patih di
Astina, yakni ”Patih Luar” Gandamana yang bertanggung jawab di bidang hankam
dan ”Patih Dalam” Trigantalpati yang menangani tata negara.
Kepada Prabu Pandu,
Trigantalpati melaporkan bahwa Astina kedatangan bala tentara Pringgadani
dengan sikap permusuhan. Maka, Prabu Pandu memerintahkan Patih Gandamana
untuk mengatasi masalah dengan wanti-wanti tak boleh menggunakan kekerasan.
Namun, lagi-lagi Trigantalpati memprovokasi. Ia mendahului Gandamana menemui
delegasi Pringgadani di perbatasan dan mengatakan Gandamana akan melabrak
mereka. Dengan petunjuk Trigantalpati, tentara Pringgadani membuat perangkap
yang disebut ”luweng”. Gandamana pun jatuh ke dalam luweng lalu ditimbun
batu.
Korban provokasi
Trigantalpati melapor ke Prabu
Pandu bahwa Gandamana mengamuk, tetapi tewas di tangan Raden Arimba, senapati
Pringgadani putra sulung Prabu Tremboko. Prabu Pandu terprovokasi dan itulah
titik awal permusuhan Astina dan Pringgadani yang berujung pada perang besar
yang disebut Perang Pamuksa.
Gandamana yang disangka mati di
dalam luweng ditolong oleh Yamawidura, adik Prabu Pandu. Ia menyuruh putra
Prabu Pandu, Raden Wijasena, membongkar batu-batu penutup luweng.
Gandamana marah bukan kepalang.
Apalagi, ketika ia mendapati istrinya diganggu Trigantalpati di ”rumah dinasnya”.
Trigantalpati dihajar habis-habisan sehingga pejabat muda yang rupawan itu
menjadi buruk rupa. Maka, sejak itu ia dikenal sebagai Sengkuni, yang kembali
memutar-balikkan fakta ke Prabu Pandu.
Prabu Pandu marah. Gandamana
diusir dari Astina karena dianggap melanggar perintah: menggunakan kekerasan
terhadap delegasi Pringgadani dan menganiaya Trigantalpati. Ia pun kembali ke
Kerajaan Pancala yang diperintah iparnya, Prabu Drupada.
Lakon ”Gandamana Tundung”
menampilkan Prabu Pandu yang menjalankan kekuasaan dengan mengedepankan
kepastian hukum.
Belas kasih
Dalam lakon ”Sumantri Ngenger”,
Prabu Harjunasasrabahu tidak hanya berpegang
pada asas kepastian hukum,
tetapi juga keadilan dan manfaat. Bahkan, dalam episode serangan Prabu
Dasamuka yang menewaskan Sumantri—saat itu sudah pejabat tinggi di Kerajaan
Maespati dengan nama Patih Suwondo−—Prabu Harjunasasrabahu menunjukkan
sifatnya yang pemaaf dan murah hati dengan mengampuni Dasamuka atas imbauan
Sumali, kakek Dasamuka. Waktu itu Dasamuka sudah tidak berdaya, diseret-seret
di belakang kereta perang Prabu Harjunasasrabahu.
Kemurahan hati dan rasa belas
kasihan (mercy) itu sifat terpuji.
Tanpa itu, yang terjadi ialah Darwinisme sosial: penerapan asas ”siapa kuat
dialah yang menang” (survival of the
fittest). Tuhan pun pemaaf dan murah hati. Dia berkenan mengampuni
dosa-dosa kita.
Dalam tata peradilan kita, para
penegak hukum, utamanya para hakim, berpegang pada tiga asas, yakni kepastian
hukum, keadilan, dan manfaat. Kejaksaan Agung, yang membebaskan koruptor asal
dia mengakui kejahatannya dan mengembalikan uang bermiliar-miliar yang
dikorupnya, terlalu mengutamakan asas manfaat.
Tokoh-tokoh penegak hukum yang
dipuji masyarakat karena pertimbangannya yang ”pas” dalam menerapkan ketiga
asas itu adalah hakim Bismar Siregar, polisi Jenderal Hoegeng, dan jaksa
Baharudin Lopa. Dari kalangan pembela, barangkali dapat ditambahkan tokoh
hukum dan HAM Yap Thiam Hien.
Pembela senior, Adnan Buyung
Nasution, mengarah ke kategori penegak hukum yang terpuji, tetapi ada yang
mengganjal, yakni ketidakjelasannya dalam deponeering
kasus pembunuhan pastor Gereja Inggris (Anglican) di Jakarta tahun 1970-an.
Hakim Agung Dr Artidjo Alkostar
juga mengarah ke kategori itu, tetapi masih terkesan ia lebih mengutamakan
kepastian hukum di atas keadilan dan manfaat saat menanggapi
pertanyaan-pertanyaan Andi F Noya dalam acara ”Kick Andy” beberapa waktu
lalu. Di tayangan itu juga terlontar kritik Adnan Buyung Nasution, yang
mengatakan bahwa Artidjo sangat berani dan cerdas, tetapi ”kurang arif” dalam
mempertimbangkan perasaan masyarakat.
Dengan kata lain, kurang
pertimbangan nilai-nilai yang hidup dan dinamis di masyarakat (common law) dan yurisprudensi
(walaupun tidak diungkapkan secara eksplisit) dalam perkara-perkara yang
beranalogi. Kekurangan ini terasa saat mendiskusikan kasasi dan peninjauan
kembali kasus dr Dewi Ayu SpOG.
Keberpihakan
Saya tidak mengenal Artidjo
Alkostar secara dekat, tetapi ia pernah di kelas yang saya ampu ketika ia
menempuh program S-3 di Universitas Diponegoro. Ia tidak terkesan sebagai
mahasiswa yang menonjol kecemerlangannya, tetapi keberaniannya sebagai
penegak hukum sudah tidak saya ragukan sejak dia menjadi pembela di
Yogyakarta.
Kita menghadapi pemilihan umum
legislatif (pileg) dan pemilihan umum presiden (pilpres). Mudah-mudahan yang
terpilih adalah mereka yang mampu dan berani meramu asas-asas kepastian,
keadilan, dan manfaat secara ”pas” dan dengan arif mempertimbangkan pula
progresivitas perkembangan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Kalau
perkaranya dilematis, dalam arti ada pertentangan asas yang satu dengan yang
lain, saya pribadi lebih berpihak kepada asas keadilan.
Kalau harus dipilih dari ketiga
asas itu untuk dijadikan imperatif kategoris, pilihan saya jatuh ke keadilan,
dengan kepastian dan manfaat sebagai imperatif hipotetis yang diterapkan
dengan asas prima facie. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar