Selasa, 11 Maret 2014

Tiga Asas Pemidanaan

Tiga Asas Pemidanaan

L Wilardjo  ;   Fisikawan
KOMPAS,  10 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
Dalam lakon ”Gandamana Tundung”, ada misi muhibah damai dari Kerajaan Pringgadani untuk beraudiensi dengan Prabu Pandu Dewanata, raja Astina. Patih Trigantalpati meminta delegasi menunggu di tapal batas Kerajaan Astina karena ia akan melapor dulu ke Prabu Pandu.

Trigantalpati melihat peluang emas untuk menjadi patih tunggal di Astina. Waktu itu ada dua patih di Astina, yakni ”Patih Luar” Gandamana yang bertanggung jawab di bidang hankam dan ”Patih Dalam” Trigantalpati yang menangani tata negara.

Kepada Prabu Pandu, Trigantalpati melaporkan bahwa Astina kedatangan bala tentara Pringgadani dengan sikap permusuhan. Maka, Prabu Pandu memerintahkan Patih Gandamana untuk mengatasi masalah dengan wanti-wanti tak boleh menggunakan kekerasan. Namun, lagi-lagi Trigantalpati memprovokasi. Ia mendahului Gandamana menemui delegasi Pringgadani di perbatasan dan mengatakan Gandamana akan melabrak mereka. Dengan petunjuk Trigantalpati, tentara Pringgadani membuat perangkap yang disebut ”luweng”. Gandamana pun jatuh ke dalam luweng lalu ditimbun batu.

Korban provokasi

Trigantalpati melapor ke Prabu Pandu bahwa Gandamana mengamuk, tetapi tewas di tangan Raden Arimba, senapati Pringgadani putra sulung Prabu Tremboko. Prabu Pandu terprovokasi dan itulah titik awal permusuhan Astina dan Pringgadani yang berujung pada perang besar yang disebut Perang Pamuksa.

Gandamana yang disangka mati di dalam luweng ditolong oleh Yamawidura, adik Prabu Pandu. Ia menyuruh putra Prabu Pandu, Raden Wijasena, membongkar batu-batu penutup luweng.

Gandamana marah bukan kepalang. Apalagi, ketika ia mendapati istrinya diganggu Trigantalpati di ”rumah dinasnya”. Trigantalpati dihajar habis-habisan sehingga pejabat muda yang rupawan itu menjadi buruk rupa. Maka, sejak itu ia dikenal sebagai Sengkuni, yang kembali memutar-balikkan fakta ke Prabu Pandu.

Prabu Pandu marah. Gandamana diusir dari Astina karena dianggap melanggar perintah: menggunakan kekerasan terhadap delegasi Pringgadani dan menganiaya Trigantalpati. Ia pun kembali ke Kerajaan Pancala yang diperintah iparnya, Prabu Drupada.

Lakon ”Gandamana Tundung” menampilkan Prabu Pandu yang menjalankan kekuasaan dengan mengedepankan kepastian hukum.

Belas kasih

Dalam lakon ”Sumantri Ngenger”, Prabu Harjunasasrabahu tidak hanya berpegang 
pada asas kepastian hukum, tetapi juga keadilan dan manfaat. Bahkan, dalam episode serangan Prabu Dasamuka yang menewaskan Sumantri—saat itu sudah pejabat tinggi di Kerajaan Maespati dengan nama Patih Suwondo−—Prabu Harjunasasrabahu menunjukkan sifatnya yang pemaaf dan murah hati dengan mengampuni Dasamuka atas imbauan Sumali, kakek Dasamuka. Waktu itu Dasamuka sudah tidak berdaya, diseret-seret di belakang kereta perang Prabu Harjunasasrabahu.

Kemurahan hati dan rasa belas kasihan (mercy) itu sifat terpuji. Tanpa itu, yang terjadi ialah Darwinisme sosial: penerapan asas ”siapa kuat dialah yang menang” (survival of the fittest). Tuhan pun pemaaf dan murah hati. Dia berkenan mengampuni dosa-dosa kita.

Dalam tata peradilan kita, para penegak hukum, utamanya para hakim, berpegang pada tiga asas, yakni kepastian hukum, keadilan, dan manfaat. Kejaksaan Agung, yang membebaskan koruptor asal dia mengakui kejahatannya dan mengembalikan uang bermiliar-miliar yang dikorupnya, terlalu mengutamakan asas manfaat.

Tokoh-tokoh penegak hukum yang dipuji masyarakat karena pertimbangannya yang ”pas” dalam menerapkan ketiga asas itu adalah hakim Bismar Siregar, polisi Jenderal Hoegeng, dan jaksa Baharudin Lopa. Dari kalangan pembela, barangkali dapat ditambahkan tokoh hukum dan HAM Yap Thiam Hien.

Pembela senior, Adnan Buyung Nasution, mengarah ke kategori penegak hukum yang terpuji, tetapi ada yang mengganjal, yakni ketidakjelasannya dalam deponeering kasus pembunuhan pastor Gereja Inggris (Anglican) di Jakarta tahun 1970-an.

Hakim Agung Dr Artidjo Alkostar juga mengarah ke kategori itu, tetapi masih terkesan ia lebih mengutamakan kepastian hukum di atas keadilan dan manfaat saat menanggapi pertanyaan-pertanyaan Andi F Noya dalam acara ”Kick Andy” beberapa waktu lalu. Di tayangan itu juga terlontar kritik Adnan Buyung Nasution, yang mengatakan bahwa Artidjo sangat berani dan cerdas, tetapi ”kurang arif” dalam mempertimbangkan perasaan masyarakat.

Dengan kata lain, kurang pertimbangan nilai-nilai yang hidup dan dinamis di masyarakat (common law) dan yurisprudensi (walaupun tidak diungkapkan secara eksplisit) dalam perkara-perkara yang beranalogi. Kekurangan ini terasa saat mendiskusikan kasasi dan peninjauan kembali kasus dr Dewi Ayu SpOG.

Keberpihakan

Saya tidak mengenal Artidjo Alkostar secara dekat, tetapi ia pernah di kelas yang saya ampu ketika ia menempuh program S-3 di Universitas Diponegoro. Ia tidak terkesan sebagai mahasiswa yang menonjol kecemerlangannya, tetapi keberaniannya sebagai penegak hukum sudah tidak saya ragukan sejak dia menjadi pembela di Yogyakarta.

Kita menghadapi pemilihan umum legislatif (pileg) dan pemilihan umum presiden (pilpres). Mudah-mudahan yang terpilih adalah mereka yang mampu dan berani meramu asas-asas kepastian, keadilan, dan manfaat secara ”pas” dan dengan arif mempertimbangkan pula progresivitas perkembangan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Kalau perkaranya dilematis, dalam arti ada pertentangan asas yang satu dengan yang lain, saya pribadi lebih berpihak kepada asas keadilan.

Kalau harus dipilih dari ketiga asas itu untuk dijadikan imperatif kategoris, pilihan saya jatuh ke keadilan, dengan kepastian dan manfaat sebagai imperatif hipotetis yang diterapkan dengan asas prima facie.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar