Memulihkan
Wibawa MK
Agus Riewanto ;
Pengajar Program Pascasarjana Ilmu Hukum
di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
|
REPUBLIKA,
10 Maret 2014
Komisi III DPR baru saja memilih
dua hakim baru Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu Wahiduddin Adams dan Aswanto.
Keduanya meng gantikan Akil Mochtar karena kasus korupsi dan Harjono yang pensiun.
Kedua orang hakim baru MK ini kini memanggul harapan publik untuk dapat
memulihkan citra dan wibawa MK yang kini jatuh di titik terendah pas cakasus
suap mantan Ketua MK Akil Mochtar dalam berbagai kasus sengketa pemilukada di
MK.
Publik berharap, kedua hakim MK
ini akan menambah energi untuk mempertahankan prestasi MK dalam melahirkan putusan
hukum ketatanegaraan yang progresif dan dapat mengubah konstelasi hukum tata
negara yang kian konstitusional dan berpihak pada penguatan hak-hak asasi
rakyat.
Menjaga independensi MK
Tugas berat utama hakim baru MK
ini adalah menjaga independesinya dari tekanan dan intervensi kekuatan
politik tertentu atas putusan-putusannya, terutama putusan-putusan sengketa
hasil pemilu 2014 mendatang.
Agar peristiwa suap dan korupsi
putusan pengadilan (judicial corruption)
sebagaimana dilakukan Akil Mochtar tidak terulang lagi, maka hakim baru MK
ini perlu melakukan disciplinary
judicial procedure, yakni menjaga dan menegakkan perilaku hakim agar para
hakim berperilaku sesuai dengan khitah hakim yang mulia dan independen.
Persis seperti dinyatakan oleh
Shimon Shetreet dan J Deschenes dalam Judicial
Independence: The Contemporary Debate (1985) yang membagi konsep
independensi (kemandirian) peradilan dalam empat hal. Pertama, substantive
independence, yakni terkait dengan kemandirian secara esensial yang ditandai
dengan putusan hukum yang berdasar pada integritas moral dan hukum, bukan
pada kekuasaan dan tafsir politik.
Kedua, personal independence,
yakni kemandirian terkait dengan kompetensi dan integritas para hakim.
Ketiga, collective indepenpendence,
yakni kemandirian terkait dengan kelembagaan yang mampu melepaskan diri dari
jeratan kekuasaan politik. Dan keempat, internal
independence, yakni kemandirian terkait dengan kemampuan personal hakim
dari kolega dan atasannya.
Melihat model independensi pengadilan
ala Shimon dan Deshenes ini tecermin bahwa kemandirian institusi MK dan para
hakim menjadi kunci terciptanya keadilan.
Tugas berikutnya hakim baru MK
adalah menjaga martabat institusi MK, agar terhindar dari penyakit suap dan
mafia pemalsuan dokumen dan putusan hukum. Sebagaimana dipraktikkan oleh Akil
Mochtar. Seperti dinyatakan Justice Hugo Black (Griffin, Illinois, 351 U.S.12, 1956): "... keadilan tak akan
pernah tercapai jika keadilan masih didasarkan pada besar kecilnya uang yang
didapat.”
Sesungguhnya praktik suap di
tubuh MK menunjukkan bahwa kini tak ada lagi lembaga hukum yang bersih di
mata publik. Sebelumnya, MK masih dianggap sebagai institusi yang relatif
bersih, terutama ketika MK hanya menangani pengujian UU atas UUD 1945,
sengketa antara lembaga negara dan perselisihan hasil pemilu legislatif dan
presiden. Namun, saat pendulum kekuasaan kehakiman berubah, di mana Mahkamah
Agung (MA) tak lagi menangani sengketa hasil pemilukada dan diberikan kepada
MK, di sinilah isu suap santer di tubuh MK.
Harus diakui kasus-kasus pemilu
dan pemilukada merupakan kasus politik yang sangat rawan dimanipulasi menjadi
transaksional. Sebab, para pemohon dan termohon dalam sengketa pemilu dan
pemilukada adalah para caleg DPR, DPD, dan DPRD, dan para calon kepala daerah
yang sebagian besar adalah para "konglomerat" yang ingin berkuasa.
Mereka tak segan memainkan aneka jurus untuk memenangkan sengketa di MK
termasuk menyuap para hakim dan panitera MK.
Jika dirunut dari aspek ekonomi
politik, kasus pemilu berbiaya tinggi (high
cost) sebab semua pemohon dan termohon berasal dari seluruh Indonesia
yang harus datang ke Jakarta untuk bersidang di MK. Di titik ini, operandi
jahat untuk menang kerap dilakukan, terutama memalsukan bukti-bukti hukum dan
saksi-saksi palsu.
Doktrin hukum ketatanegaraan
yang dianut hakim MK adalah judex juris,
yakni memutus perkara berdasar pembuktian administrasi dan tertulis bukan judex fictie, yakni memutus perkara
berdasarkan bukti materil dan uji sahih di lapangan.
Doktrin hukum ini seringkali
ditelikung para pihak yang bersengketa di MK dengan merancang siasat busuk,
berupa pengajuan bukti dan saksi palsu di hadapan hakim MK. Karena hakim MK
tidak akan melakukan cross check di
lapangan, sebab doktrin hukum melarang MK melakukan uji materil yang faktual
dan empiris di lapangan.
Kasus-kasus sengketa Pemilu 2014
mendatang tentu saja akan kian rumit, bukan saja karena variasi materi yang
disengketakan, hingga prosedur formil- nya yang tidak mudah. Akan tetapi juga
disebabkan karena sistem pemilu yang dianut oleh UU Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD adalah sistem proporsional varian
terbuka (open list) dengan penentuan
pemenang berdasarkan perolehan suara terbanyak. Model ini akan membuka
peluang konflik hukum, bukan hanya antarparpol peserta Pemilu 2014, tetapi
juga antara caleg dalam satu partai politik.
Dipastikan, sengketa hasil
Pemilu 2014 mendatang akan membuat MK kedodoran dalam memutus seng keta ini. Apalagi,
MK hanya diberi waktu 14 hari dalam memutus sengketa pemilu. Sementara, semua
parpol dan caleg yang bersengketa di MK ingin memperoleh kursi DPR dan DPRD
melalui "palu" MK. Potensi suap dan transaksi kasus di MK sangat
terbuka dilakukan, baik oleh hakim MK, panitera maupun pejabat birokrasi di
MK.
Di titik inilah, kedua hakim
baru MK ini diharapkan dapat membenahi manajemen internal MK, penguatan integritas
moral birokrasi MK, agar lebih terbuka dan transparan serta tidak gemar
berwacana ke publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar