Selasa, 11 Maret 2014

Memulihkan Wibawa MK

Memulihkan Wibawa MK

Agus Riewanto  ;   Pengajar Program Pascasarjana Ilmu Hukum
di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
REPUBLIKA,  10 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
Komisi III DPR baru saja memilih dua hakim baru Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu Wahiduddin Adams dan Aswanto. Keduanya meng gantikan Akil Mochtar karena kasus korupsi dan Harjono yang pensiun. Kedua orang hakim baru MK ini kini memanggul harapan publik untuk dapat memulihkan citra dan wibawa MK yang kini jatuh di titik terendah pas cakasus suap mantan Ketua MK Akil Mochtar dalam berbagai kasus sengketa pemilukada di MK.

Publik berharap, kedua hakim MK ini akan menambah energi untuk mempertahankan prestasi MK dalam melahirkan putusan hukum ketatanegaraan yang progresif dan dapat mengubah konstelasi hukum tata negara yang kian konstitusional dan berpihak pada penguatan hak-hak asasi rakyat.

Menjaga independensi MK

Tugas berat utama hakim baru MK ini adalah menjaga independesinya dari tekanan dan intervensi kekuatan politik tertentu atas putusan-putusannya, terutama putusan-putusan sengketa hasil pemilu 2014 mendatang.

Agar peristiwa suap dan korupsi putusan pengadilan (judicial corruption) sebagaimana dilakukan Akil Mochtar tidak terulang lagi, maka hakim baru MK ini perlu melakukan disciplinary judicial procedure, yakni menjaga dan menegakkan perilaku hakim agar para hakim berperilaku sesuai dengan khitah hakim yang mulia dan independen.

Persis seperti dinyatakan oleh Shimon Shetreet dan J Deschenes dalam Judicial Independence: The Contemporary Debate (1985) yang membagi konsep independensi (kemandirian) peradilan dalam empat hal. Pertama, substantive independence, yakni terkait dengan kemandirian secara esensial yang ditandai dengan putusan hukum yang berdasar pada integritas moral dan hukum, bukan pada kekuasaan dan tafsir politik.

Kedua, personal independence, yakni kemandirian terkait dengan kompetensi dan integritas para hakim. Ketiga, collective indepenpendence, yakni kemandirian terkait dengan kelembagaan yang mampu melepaskan diri dari jeratan kekuasaan politik. Dan keempat, internal independence, yakni kemandirian terkait dengan kemampuan personal hakim dari kolega dan atasannya.

Melihat model independensi pengadilan ala Shimon dan Deshenes ini tecermin bahwa kemandirian institusi MK dan para hakim menjadi kunci terciptanya keadilan.

Tugas berikutnya hakim baru MK adalah menjaga martabat institusi MK, agar terhindar dari penyakit suap dan mafia pemalsuan dokumen dan putusan hukum. Sebagaimana dipraktikkan oleh Akil Mochtar. Seperti dinyatakan Justice Hugo Black (Griffin, Illinois, 351 U.S.12, 1956): "... keadilan tak akan pernah tercapai jika keadilan masih didasarkan pada besar kecilnya uang yang didapat.”

Sesungguhnya praktik suap di tubuh MK menunjukkan bahwa kini tak ada lagi lembaga hukum yang bersih di mata publik. Sebelumnya, MK masih dianggap sebagai institusi yang relatif bersih, terutama ketika MK hanya menangani pengujian UU atas UUD 1945, sengketa antara lembaga negara dan perselisihan hasil pemilu legislatif dan presiden. Namun, saat pendulum kekuasaan kehakiman berubah, di mana Mahkamah Agung (MA) tak lagi menangani sengketa hasil pemilukada dan diberikan kepada MK, di sinilah isu suap santer di tubuh MK.

Harus diakui kasus-kasus pemilu dan pemilukada merupakan kasus politik yang sangat rawan dimanipulasi menjadi transaksional. Sebab, para pemohon dan termohon dalam sengketa pemilu dan pemilukada adalah para caleg DPR, DPD, dan DPRD, dan para calon kepala daerah yang sebagian besar adalah para "konglomerat" yang ingin berkuasa. Mereka tak segan memainkan aneka jurus untuk memenangkan sengketa di MK termasuk menyuap para hakim dan panitera MK.

Jika dirunut dari aspek ekonomi politik, kasus pemilu berbiaya tinggi (high cost) sebab semua pemohon dan termohon berasal dari seluruh Indonesia yang harus datang ke Jakarta untuk bersidang di MK. Di titik ini, operandi jahat untuk menang kerap dilakukan, terutama memalsukan bukti-bukti hukum dan saksi-saksi palsu.

Doktrin hukum ketatanegaraan yang dianut hakim MK adalah judex juris, yakni memutus perkara berdasar pembuktian administrasi dan tertulis bukan judex fictie, yakni memutus perkara berdasarkan bukti materil dan uji sahih di lapangan.

Doktrin hukum ini seringkali ditelikung para pihak yang bersengketa di MK dengan merancang siasat busuk, berupa pengajuan bukti dan saksi palsu di hadapan hakim MK. Karena hakim MK tidak akan melakukan cross check di lapangan, sebab doktrin hukum melarang MK melakukan uji materil yang faktual dan empiris di lapangan.

Kasus-kasus sengketa Pemilu 2014 mendatang tentu saja akan kian rumit, bukan saja karena variasi materi yang disengketakan, hingga prosedur formil- nya yang tidak mudah. Akan tetapi juga disebabkan karena sistem pemilu yang dianut oleh UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD adalah sistem proporsional varian terbuka (open list) dengan penentuan pemenang berdasarkan perolehan suara terbanyak. Model ini akan membuka peluang konflik hukum, bukan hanya antarparpol peserta Pemilu 2014, tetapi juga antara caleg dalam satu partai politik.

Dipastikan, sengketa hasil Pemilu 2014 mendatang akan membuat MK kedodoran dalam memutus seng keta ini. Apalagi, MK hanya diberi waktu 14 hari dalam memutus sengketa pemilu. Sementara, semua parpol dan caleg yang bersengketa di MK ingin memperoleh kursi DPR dan DPRD melalui "palu" MK. Potensi suap dan transaksi kasus di MK sangat terbuka dilakukan, baik oleh hakim MK, panitera maupun pejabat birokrasi di MK.

Di titik inilah, kedua hakim baru MK ini diharapkan dapat membenahi manajemen internal MK, penguatan integritas moral birokrasi MK, agar lebih terbuka dan transparan serta tidak gemar berwacana ke publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar