Pemilih
Musiman
Luky Djani ;
Peneliti Institute for Strategic Initiatives
|
KOMPAS,
11 Maret 2014
ANIMO
pemilih memberikan suara sering kali menyerap perhatian pemerhati pemilu dan
penyelenggara pemilu, terutama menjelang pemilu. Tingginya tingkat
partisipasi pemilih kerap jadi indikator keberhasilan pemilu. Demokrasi di
Indonesia, menurut ilmuwan politik Olle Tornquist dan Kristian Stokke (2011),
mengalami defisit akibat lemahnya representasi politik. Buruknya relasi
antara pemilih dan politikus membuat kualitas demokrasi di Indonesia rendah
secara substansial.
Sudah
saatnya wacana tentang tingkat partisipasi pemilih dikaitkan dengan
representasi politik tidak sebatas melihat pada aspek persentase partisipasi
pemilih. Strategi guna mengajak pemilih memberikan suara tak cukup berupa
penyediaan informasi tentang pemilu, latar dan platform kampanye kandidat,
dan tata cara mencoblos, tetapi juga dikemas dalam bingkai membangun jembatan
representasi politik antara pemilih dan politikus. Dalam konteks ini,
membangun relasi antara pemilih dan politikus jadi bermakna tak hanya bagi
pemilu, tetapi juga bagi demokratisasi.
Pemilih musiman
Menurunnya
tingkat partisipasi pemilih, sering dilabeli sebagai golput, kerap diartikan
sebagai protes politik pemilih ter- hadap negara. Dari beberapa pemilu
(legislatif), jumlah pemilih yang tak memberikan suaranya tidak dapat
dimasukkan dalam kategori golput semata. Ada kelompok baru pemilih yang perlu
mendapat perhatian serius. Penulis menamai golongan ini pemilih ireguler,
meminjam konsep Andre Blais (2000) tentang pemilih musiman. Bagaimana
mengaitkan pemilih musiman dengan representasi politik jadi pekerjaan rumah
kita bersama.
Tingkat
partisipasi pemilih dalam pemilu legislatif di Indonesia secara konstan
cenderung menurun dari Pemilu 1999 hingga Pemilu 2009. Pada pemilu pertama
setelah pemerintahan otoriter Orde Baru (1999), tingkat partisipasi pemilih
merupakan tertinggi kedua dari serangkaian pemilu yang digelar sejak 1955.
Tingkat partisipasi pemilih pada 1999 mencapai hampir 93 persen, menurun pada
Pemilu 2004 menjadi 84,07 persen, hingga menjadi 70,99 persen pada Pemilu
2009.
Pemilih
ireguler berbeda dengan pemilih mengambang yang tetap memilih walau pilihan
pada satu pemilu berbeda dengan pemilu sebelum atau setelahnya. Juga ini
tidak memasukkan pemilih yang datang ke TPS, tetapi suara mereka tak dihitung
karena kesalahan dalam memilih atau kerusakan pada surat suara.
Jumlah
pemilih yang tak memilih pada Pemilu Legislatif 2009 mencapai 30 persen.
Apabila dipilah, hanya sekitar 10 persen pemilih yang dapat dikategorikan
sebagai golput, sedangkan 20 persen masuk dalam kelompok pemilih ireguler atau
pemilih musiman.
Pemilih
disebut sebagai pemilih reguler jika seseorang konsisten memilih atau tak
memilih (golput) pada setiap pemilu. Adapun pemilih ireguler adalah pemilih
yang kadang-kadang berpartisipasi pada satu pemilu dan tak memilih di pemilu
sebelumnya (Blais, 2000: 45-47).
Dengan
menggunakan definisi di atas, merujuk pada angka persentase partisipasi
pemilih, dapat dikatakan bahwa jumlah golput (pemilih reguler yang konsisten
tidak memilih) sejak kampanye ini digalakkan pada 1971 oleh sekelompok
aktivis yang kritis terhadap Orba, persentasenya cenderung konsisten 7-10
persen (hingga Pemilu 1999). Pemilih reguler yang selalu memilih dalam
rentang waktu yang sama (1971-1999) jumlahnya berkisar 93-90 persen. Pada
Pemilu 2004 dan 2009, terjadi migrasi pemilih reguler yang memilih jadi
pemilih ireguler hingga sekitar 20 persen pada Pemilu 2009.
Pemilih
musiman ini adalah orang yang menaruh harapan besar atas proses dan hasil
pemilu (institusi dan politikus). Namun, karena realitas akan produk politik
bertolak belakang dengan harapan mereka, pada pemilu selanjutnya mereka
apatis.
Mereka
memutuskan tak memilih pada suatu pemilu karena mungkin tak ada agenda atau
tawaran program dari peserta pemilu yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan
mereka mengubah situasi penyelenggaraan negara atau perbaikan kondisi
kesejahteraan dan keadilan sosial yang mereka harapkan. Bisa jadi karena tak
ada kandidat yang mereka anggap dapat mewakili aspirasi dan harapan mereka.
Pemilih
ireguler cenderung lebih imun terhadap tawaran transaksi material jangka
pendek dari politikus. Mereka tak akan memilih meski ditawari iming- iming
finansial dan barang pemberian dari politikus (Schafer dan Schedler, 2007). Karena itu, relasi antara pemilih
ireguler dan politikus tidak individual, material, dan jangka pendek, tetapi
lebih kepada agenda yang memberi dampak secara bersama kepada masyarakat dan
berupa public goods.
Mengapa
pemilih ireguler ini perlu mendapat perhatian khusus? Pertama, jumlahnya yang
terus membengkak dari pemilu ke pemilu. Karena itu, jika kelompok ini dapat
diyakinkan oleh partai politik dan kandidat, suaranya dapat menentukan hasil
pemilu. Pemilih ireguler akan tertarik berpartisipasi jika mereka memandang
pemilu sebagai proses yang berkontribusi terhadap perbaikan tatanan
kenegaraan dan perubahan kesejahteraan bagi publik secara luas.
Merajut kembali
Arti
strategis kelompok pemilih musiman yang kedua terletak pada potensi mereka
merajut kembali tali mandat representasi politik yang selama ini cenderung merenggang.
Karena mereka memandang pemilu sebagai proses transaksi agenda, kebijakan
publik, atau program yang ditawarkan kandidat, interaksi perlu dibangun
dialogis kolektif.
Untuk
mengajak pemilih ireguler memberikan suara dalam pemilu, diperlukan kejelian
partai politik dan kandidat untuk meyakinkan mereka dengan tawaran program
strategis tetapi konkret dan tentu saja kehadiran kandidat yang kredibel dan
berintegritas.
Jika
partai tak mampu menghadirkan kandidat berbobot dan hanya mengandalkan pemain
lama (yang prestasi dan kredibilitasnya diragukan), tak mustahil jumlah
pemilih ireguler meningkat pada Pemilu 2014.
Pengalaman
empiris negara lain menunjukkan bahwa voter turnout meningkat jika pemilu
berlangsung kompetitif dan ada kandidat kredibel, berintegritas, serta
memiliki platform kebijakan dan
program yang tepat dan strategis. Itu kunci pemancing ketertarikan pemilih.
Saatnya meyakinkan dan mengajak pemilih ireguler kembali memberi suara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar