Problem
Pasca Revisi UU Administrasi Kependudukan
Moh
Rosyid ; Dosen STAIN Kudus, Jawa Tengah
|
KOMPAS,
01 Maret 2014
KARTU tanda
penduduk sebagai bentuk perlindungan dan pengakuan dokumen pribadi dan status
hukum warga negara wajib difasilitasi negara; maka diterbitkan UU No 23/2006
tentang Administrasi Kependudukan. Namun, dalam UU ini terdapat pasal yang
perlu diluruskan, yakni Pasal 61 (2). Bahwa kolom agama bagi penduduk yang
agamanya belum diakui sebagai ”agama sesuai ketentuan perundangan” atau bagi
penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam
database kependudukan. Pasal 83 (1): database dimanfaatkan untuk kepentingan
perumusan kebijakan di bidang pemerintahan dan pembangunan. Pasal 61 (2)
terdapat redaksi dan substansi untuk dicek silang dengan UU No 1/PNPS/1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Frasa ”agama
sesuai ketentuan” merupakan teks redaksi yang kurang bijak karena negara tak
pernah memberi standar agama yang sesuai atau tak sesuai dengan ketentuan.
Perbedaan atau pengakuan agama dan aliran kepercayaan ada pada wilayah
akademik, bukan area birokrasi.
UU No 1/PNPS/65
di bagian penjelasan menyatakan, ”Agama
yang dipeluk penduduk Indonesia meliputi Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Buddha, dan Khonghucu. Enam agama ini dipeluk hampir seluruh penduduk
Indonesia, tak berarti agama lain misalnya Yahudi, Zarasustrian, Shinto, dan
Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh dan mereka
dibiarkan adanya asal tidak melanggar ketentuan yang terdapat dalam peraturan
ini atau perundangan lain. Terhadap badan/aliran kebatinan, pemerintah
berusaha menyalurkannya ke arah pandangan yang sehat dan ke arah ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pesan yang
dapat dinukil dari penjelasan Pasal 1 UU No 1/PNPS/65 adalah bahwa agama apa
pun di Indonesia boleh hidup, bukan agama tertentu, asal tak melanggar
perundangan. Dengan demikian, agama-agama lokal seperti agama Adam bagi orang
Samin (Sedulur Sikep), Parmalim
bagi komunitas di Batak, Sunda Wiwitan bagi warga Sunda, Aluk Todolo bagi
penganutnya di Tana Toraja selazimnya ditulis dalam kolom agama di KTP warga.
Tidak dikosongkan karena diakui pemeluknya sebagai agama meski pemerintah
men-database-kan dalam data kependudukan.
Frasa ”enam agama dipeluk hampir seluruh
penduduk” jadi wilayah khilafiyah
dalam konteks masa kini bila dibandingkan jumlah pemeluk aliran kepercayaan
dengan sejumlah pemeluk agama Hindu, Buddha, atau Khonghucu. Adakah agama
yang bertentangan dengan perundangan? Jika ada, itu bukan ajaran agama (apa
pun), tapi tafsiran umat beragama. Bila ada kementerian agama, tugasnya
melayani umat beragama dan negara tak menghakimi mana agama yang sah dan mana
yang tak sah karena tak ada standar pengesahan sebuah agama secara
birokratis.
Diskriminasi administrasi
Konteks UU
Administrasi Kependudukan berimbas pada PP No 37/2007 tentang Pelaksanaan UU
No 23/2006 dan Surat Edaran Mendagri No 470/1989/MD pada 19/5/2008 tentang
Pelayanan Administrasi Kependudukan bagi Penghayat Kepercayaan yang ditujukan
kepada gubernur dan bupati/wali kota. Pengosongan agama dalam kolom KTP
warga—agama selain yang tereksplisit dalam UU No 1/PNPS/65 dan PP No
55/2005—merupakan bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan UU No 39/1999
tentang HAM,khususnya Pasal 4 yang berbunyi ”Hak warga negara berupa hak hidup, hak untuk tak disiksa, hak
kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, dan hak beragama.”
Dalam forum
dengar kesaksian para korban pelanggaran HAM yang digelar Koalisi Keadilan
dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) di Jakarta (27/11/2013), diskriminasi itu
diungkapkan oleh penghayat Sunda
Wiwitan asal Cigugur, Kuningan, Jabar, akibat meyakini kepercayaan Sunda Wiwitan. Dia dihambat untuk
mengisi kolom agama dengan keterangan Sunda
Wiwitan karena dianggap tak termasuk enam agama yang resmi diakui
pemerintah. Dampaknya, ia tak bisa memperoleh surat nikah resmi, saat
pelajaran agama di sekolah dipaksa mengikuti salah satu agama resmi atau
diberi nilai yang rendah.
Perlakuan
negara tersebut menyalahi perundangan. Sudah saatnya wilayah agama dikaji dalam
ranah ilmuwan an sich, bukan ranah
birokrasi, karena masalah ini sengaja atau sering disalahtafsirkan oleh
penyelenggara negara dalam pengakuan atau kebijakan. Hal ini menafikan
keberadaan agama asli Nusantara yang eksis sejak era kerajaan hingga kini
meski negara menyebut aliran kepercayaan.
Negeri ini
bukan negeri agama (teokrasi), tetapi negara kesatuan yang mengayomi semua
agama. Realitasnya, tak ada satu perundangan yang mendefinisikan agama. Agama
idealnya pada wilayah batin umat dan wilayah akademik, bukan wilayah publik,
karena rentan tersulut konflik.
Akan tetapi,
Rapat Paripurna DPR (26/11/2013) mengesahkan revisi UU Administrasi
Kependudukan berupa (1) pemberlakuan e-KTP seumur hidup (semula 5 tahun)
dengan dalih hemat anggaran, dan (2) terkait akta kelahiran, e-KTP, akta
kematian digratiskan dan dibiayai pemerintah pusat. Revisi tersebut idealnya
juga menyertakan penghapusan kolom agama dalam KTP agar pemicu konflik di
wilayah konflik yang berbasis suku, agama, ras, antar-golongan (SARA) tidak
terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar