Melampaui
Keberagaman
Sidharta
Susila ; Pendidik, Tinggal di Muntilan, Jawa Tengah
|
KOMPAS,
01 Maret 2014
DALAM konteks
keindonesiaan, pendidikan tak cukup hanya memelihara dan merawat keberagaman.
Pendidikan kita harus melampaui keberagaman.
Adakah
keunggulan unik pendidikan di negeri ini dibandingkan dengan pendidikan di
negeri lain, yang bisa menjadi pemikat bagi banyak orang di belahan bumi ini
untuk menyekolahkan anaknya di negeri kita?
Takdir karakter
Sesungguhnya
fakta keberagaman kita sebagai bangsa adalah keunggulan unik. Kita adalah
sebuah bangsa yang tak hanya disusun dan dibangun dengan kompleksitas
keberbedaan. Kita adalah bangsa yang berulang kali mampu melampaui
kompleksitas keberagaman dan lahir menjadi hanya satu bangsa, bangsa
Indonesia.
Bagi penulis,
inilah salah satu nilai unggul yang bisa terus digali, ditegaskan,
ditumbuhkembangbiakkan dalam pendidikan. Pengelolaan pendidikan yang demikian
dapat menjadikan pendidikan kita sebagai kiblat dunia yang dicabik-cabik oleh
ragam kepentingan sempit. Pendidikan kita mestinya menghasilkan
pribadi-pribadi yang piawai mengelola keberbedaan hingga melahirkan duta-duta
yang mampu melampaui keberagaman.
Rasanya kita tertakdir
memiliki gen kepiawaian mengelola keberbedaan. Lihatlah pengalaman kita
menjalani aneka bencana alam. Kita yang tinggal di zona cincin api ini
sepertinya bakal terus diakrabi aneka perilaku alam seperti gempa bumi dan
gunung meletus. Kini, dengan perubahan alam, banjir pun bakal kian sering
kita alami.
Gempa bumi,
gunung meletus, dan banjir sesungguhnya tak hanya menghancurkan yang materi.
Perilaku alam itu juga menghancurkan kecenderungan hidup kita, khususnya
kecenderungan hidup yang egois, eksklusif, dan elitis.
Lihatlah, pada
setiap bencana manusia kembali pada ekspresi naturalnya. Mereka yang terkena
bencana berteriak minta tolong kepada siapa saja. Mereka terbuka ditolong
oleh siapa saja meski tak seagama, separtai politik, sesuku, atau sesama
kelompok elite. Sebaliknya, kita pun spontan tergerak untuk memberi bantuan
kepada siapa saja tanpa memandang apa agamanya, sukunya, atau status
sosial-politiknya.
Bencana alam
sesungguhnya ritus yang membantu kita untuk lahir kembali menjadi manusia Indonesia
yang sejati, yang berkarakter melampaui keberagaman. Sekat-sekat egois
eksklusif yang kita bangun berdasarkan agama, status sosial, atau politik
dirobohhancurkan.
Jika perilaku
alam, yang sayangnya kita namakan bencana alam itu menjadi bagian akrab
kehidupan bangsa ini dari masa ke masa, nalarnya kita memiliki semacam pola
natural untuk dibentuk menjadi manusia berkarakter terbuka pada liyan tanpa
syarat. Itu sebentuk pendidikan karakter oleh alam negeri ini. Dari itu juga
mestinya kita sadari takdir karakter sejati kita.
Berakar karakter asli
Kita mesti
sadar dan menerima bahwa karakter genetis kita adalah pribadi yang dibentuk
oleh sikap terbuka menerima dan memberi tanpa syarat kepada siapa saja. Para
leluhur kita dari zaman ke zaman ”dipaksa” alam untuk tidak hidup dalam
egoisme-eksklusivisme yang congkak dan picik atas dasar serta bentuk apa pun.
Sejatinya,
sejarah peradaban para leluhur tak pernah menjadikan keberagaman sebagai
masalah bangsa kita. Perilaku alam membentuk kita untuk lebih mengedepankan
kerja sama, gotong royong, dan ragam ekspresi untuk melahirkan harmoni.
Sayang apabila
aroma penajaman keberbedaan kian terasa dalam pengelolaan pendidikan kita.
Pendidikan yang menajamkan keberbedaan adalah ekspresi praktis roh divide et impera.
Penajaman keberbedaan dalam pendidikan terekspresikan, misalnya, dalam ragam
kegiatan agamis atau penentuan model pakaian seragam. Rasanya kita juga mesti
dengan sungguh- sungguh mencermati apakah muara Kurikulum 2013 juga
menajamkan keberbedaan?
Sekolah mesti
menjadi ruang dan saat istimewa untuk lahir menjadi manusia Indonesia
berkarakter melampaui keberagaman. Memang tak ada tindakan terang-terangan
memaksa kelompok tertentu dalam pendidikan kita. Namun, tidakkah dominasi
kuantitas pengelolaan pendidikan adalah muslihat penindasan yang senyap?
Aura pendidikan
yang meruap karena dominasi penuh muslihat hanya melahirkan generasi picik,
eksklusif, egois, dan penindas demi kepentingan kelompok. Pendidikan semacam
itu mengerdilkan karakter generasi kita, menegasi takdir kita yang
berkarakter inklusif tak bersyarat yang terbukti mampu melampaui keberagaman.
Pendidikan tak
cukup hanya menjamin keberagaman. Pendidikan mesti membantu generasi
melampaui keberagaman ketimbang sibuk menajamkan keberbedaan. Indonesia Raya
adalah Indonesia yang dihuni pribadi yang melampaui keberbedaan tuk
melahirkan harmoni kehidupan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar