Universitas,
Rumah Belajar
Budi
Widianarko ; Rektor Unika Soegijapranata
|
KOMPAS,
01 Maret 2014
SEBAGAI salah
satu pembicara utama dalam Konvensi Kampus X dan Temu Tahunan XVI Forum
Rektor Indonesia di kampus Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jumat
(30/1), Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman sempat memicu drama kecil.
Irman
melontarkan gagasan untuk mengeluarkan urusan pendidikan tinggi dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk digabungkan dengan urusan riset
dalam suatu kementerian tersendiri. Gagasan itu mengacu pada model yang sama
di negeri jiran, Malaysia, sekaligus untuk mendorong jumlah dan mutu riset di
Tanah Air karena pendanaan riset bisa lebih melimpah dan berkelanjutan.
Alih-alih
mendapat tanggapan dari para rektor, gagasan itu hanya disambut dingin.
Sampai-sampai Irman meminta peserta tepuk tangan. Dalam perbincangan dengan
beberapa sejawat rektor saat rehat kopi di acara itu, kami sampai pada kesimpulan
bahwa kejadian ”telat tepuk tangan” tadi menunjukkan keraguan hadirin–yang
mayoritas rektor–terhadap gagasan itu. Kami meragukan bahwa menempatkan
urusan PT dalam keranjang yang sama dengan riset adalah pilihan tepat.
Gagasan pemisahan urusan PT dari jenjang pendidikan yang lebih rendah
jangan-jangan hanya dilandasi cara pandang pragmatis dan jalan pintas.
Menariknya,
ternyata gagasan pembentukan Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan
Tinggi justru jadi salah satu butir rekomendasi FRI (Kompas, 6/2). Dengan
bergabung dalam kementerian yang baru itu, diharapkan riset PT akan lebih
terarah dan terintegrasi dengan lembaga-lembaga riset lain. Lontaran Ketua
DPD memang terkesan ”populis” ketika dilontarkan di depan khalayak ratusan
rektor perguruan tinggi negeri dan swasta sehingga tak heran memikat para
petinggi FRI untuk mengadopsinya. Jika hakikat pendidikan tinggi jadi titik
tolak perenungan, rekomendasi FRI itu masih perlu pendalaman.
Pendidikan
tinggi adalah lembaga yang sarat dengan muatan pendidikan dan pengajaran.
Lembaga pendidikan tinggi, terutama universitas, adalah rumah belajar.
Ungkapan universitas magistrorum et
scholarium (universitas sebagai komunitas
guru dan murid) secara gamblang menunjukkan itu. Bahkan, dalam bentuk
awalnya, universitas pada abad pertengahan sebenarnya dilahirkan dan lantas
dikelola oleh kumpulan guru atau dosen.
Rumah belajar
Hakikat
universitas sebagai rumah belajar tak lekang oleh waktu. Dalam konteks
kekinian sekalipun, ketika harus hidup di tengah masyarakat ilmu pengetahuan
(knowledge society), kecuali
mendukung perekonomian–tiga dari empat tujuan utama universitas menyangkut
proses belajar (learning),
yaitu: (1) menginspirasi dan
memampukan individu-individu mengembangkan kemampuan intelektual hingga ke
tingkat paling tinggi, (2) memajukan pengetahuan dan pemahaman, (3) membentuk
masyarakat demokratik dan beradab (Diana
Laurillard, 2002).
Mandat
universitas memang bukan hanya melaksanakan riset. Bahkan, ketika kita
menengok peran yang diharapkan dari sebuah universitas riset (research university), maka produk
pertamanya adalah pendidikan. Seperti diungkapkan oleh Lendel (2010), dalam
perekonomian berbasis ilmu pengetahuan (knowledge economy) universitas dapat
dipandang layaknya sebuah industri multiproduk dengan tujuh produk, yaitu (1) pendidikan, (2) produk budaya,
(3) tenaga kerja terlatih, (4) penelitian-kontrak, (5) difusi teknologi, (6)
penciptaan pengetahuan baru, dan (7) produk dan industri baru.
Menurut George
Dennis O’Brien, penulis buku All the
Essential Halftruths about Higher Education (1998), ”universitas sebagai
rumah belajar” memang
bak menyebut ”bujangan sebagai lelaki belum menikah”.
Namun, dia mengingatkan, hakikat universitas sebagai rumah belajar jangan
sampai dilupakan ”hanya” demi menjawab tantangan perubahan zaman.
Memotret
keadaan di Amerika Serikat, O’Brien menyatakan, masalah utama dalam
pendidikan tinggi bukanlah pertentangan pengajaran (teaching) versus riset, melainkan terabaikannya pembelajaran dan
pendidikan (learning and education)
di universitas. Titik berat pada penelitian, terutama di
universitas-universitas riset, ”memaksa” para guru besar dan dosen
mencurahkan tenaga untuk berebut dana penelitian serta melimpahkan kewajiban
mengajarnya kepada mahasiswa pascasarjana. Praktik pelimpahan tugas ini
sering kali dapat pembenaran sebagai proses magang. Akibatnya yang terjadi
hanya alih pengetahuan bukan pendidikan karena para pengalih pengetahuan muda
itu bukan guru atau dosen.
Dalam
pendidikan, jangan pernah dilupakan bahwa setiap manusia pada dasarnya unik.
Setiap universitas ditantang untuk dapat mentransformasikan keragaman
kualitas asupan mahasiswa menjadi sebuah keunggulan. Untuk dapat
mewujudkannya, curahan waktu dan tenaga saja tidaklah mencukupi, para dosen
juga harus terus-menerus mengasah empati.
Pembelajaran transformatif
Dalam interaksi
dengan para mahasiswanya, seorang dosen berperan sebagai mentor yang dituntut
memiliki sejumlah kualitas, antara lain sebagai teman sekaligus pembimbing,
lebih matang, otoritas akademik, pengasuh, dan sepenuh hati. Selain itu,
interaksi yang baik memerlukan lingkungan pembelajaran yang baik, begitu pula
interaksi yang semakin bermutu memerlukan lingkungan belajar yang lebih
bermutu pula. Mungkin kita dapat belajar dari pengalaman Uri Treisman,
profesor matematika di Universitas California–Berkeley, berikut ini.
Profesor Uri
Treisman terusik mendapati kenyataan para mahasiswa kulit hitam peserta
kuliah Dasar-Dasar Kalkulus-nya memperoleh nilai yang sangat jelek. Semula
Uri menduga hasil buruk itu berhubungan dengan faktor-faktor standar, yaitu
pengalaman sekolah menengah yang buruk, kurangnya dorongan orang tua,
kesulitan keuangan, dan sebagainya.
Ternyata Uri
sama sekali tidak menemukan korelasi yang ia duga. Mahasiswa kulit hitam
dengan pengalaman sekolah menengah yang baik ternyata juga memperoleh nilai
jelek seperti rekan-rekannya yang memiliki pengalaman sekolah menengah yang
biasa-biasa saja. Begitu pula, faktor ekonomi dan orangtua sama sekali tidak
berkorelasi.
Uri tak
langsung menyerah. Ia kemudian melakukan riset kecil dengan memilih kelompok
mahasiswa China–yang semua memperoleh nilai bagus–sebagai pembanding. Uri
menemukan rahasianya. Mahasiswa China suka bekerja dalam kelompok, sebaliknya
mahasiswa kulit hitam cenderung bekerja mandiri. Berdasarkan temuannya, Uri
lantas mengubah kondisi dan tata letak kelas serta menerapkan sistem
pembelajaran kelompok. Tak berapa lama kemudian prestasi para mahasiswa kulit
hitam meningkat luar biasa.
Kisah Profesor
Treisman tadi membuktikan bahwa ”hanya” dengan memperbaiki kondisi
pembelajaran transformasi yang bermakna dapat diwujudkan. Akhirnya jika
direnungkan lebih mendalam, di Indonesia telah ada rumusan bernas tentang
mandat universitas, yaitu tri darma pendidikan tinggi: pendidikan dan
pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Tentu bukan tanpa
alasan ketika para pemikir pendidikan tinggi terbaik negeri ini saat itu
menempatkan pendidikan dan pengajaran sebagai darma pertama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar