Politik
Pemilu
Yonky Karman ; Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
|
KOMPAS,
10 Maret 2014
PEMILU
legislatif merupakan kesempatan bagi warga negara untuk memilih orang-orang
baik yang akan memperjuangkan kesejahteraan dan kepentingan rakyat.
Persoalannya, baik menurut rakyat belum tentu baik menurut calon anggota
legislatif, belum tentu juga baik menurut partai.
Beberapa
kali pemilu di era Reformasi membuktikan pesta demokrasi dari dan oleh rakyat
tidak selalu untuk rakyat. Kesetiaan tertinggi calon anggota legislatif
(caleg) bukan kepada rakyat, meski kampanyenya memberi kesan demikian,
melainkan kepada partai, kekuasaan, uang, atau status quo.
Kriteria
caleg baik sebenarnya sederhana. Sosok yang mewakafkan seluruh hidupnya bagi
rakyat yang diwakilinya. Ia memiliki kapasitas kerja politik, integritas dan
kemandirian moral, sikap kritis terhadap eksekutif, jika perlu, terhadap
partai sendiri. Ia memiliki kekuatan korektif
atas penyimpangan eksekutif. Sosoknya memungkinkan kapitalisasi modal politik
untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa.
Orang baik
Saat
baru terpilih, wali kota Surabaya terkena upaya pemakzulan oleh legislatif,
yang ironisnya diprakarsai partai yang mengusung dirinya. Bukan karena
eksekutif terlibat korupsi atau cedera integritas, melainkan karena
kebijakannya tak menguntungkan lagi bagi segelintir orang. Waktu pun
membuktikan kapasitas dan integritasnya sehingga lawan politik menjadi
bungkam. Namun, birokrat sukses yang bukan anak kandung partai dan relatif
terjaga netralitasnya dalam pemilu dianggap kurang menguntungkan partai. Seorang
pendamping yang loyalis partai pun dipaksakan. Banalitas politik terjadi.
Definisi
lain orang baik adalah sosok religius. Karena agama memuliakan kebaikan,
sosok religius dianggap baik pada pandangan pertama. Ayat-ayat suci pun
dipolitisasi untuk takhta. Tidak penting apakah politisasi demikian pada
akhirnya mendegradasi agama itu sendiri. Tidak penting agama sebagai sebuah
kekuatan transformatif yang memerangi korupsi, membentuk etos kerja, dan
membentuk manusia yang taat aturan duniawi. Banalitas agama terjadi.
Juga
orang baik di negeri paternalistik adalah sosok yang tak berbahaya bagi
atasan, yang mampu menjaga kerahasiaan perbuatan tercela atasan. Dalam esai
bertajuk ”Bahaya Orang Baik-baik”,
filsuf Bertrand Russell menulis tentang orang baik dalam pengertian tidak
mengusik kesenangan dan ketenangan orang yang berkuasa (Pergolakan Pemikiran, 181-192).
Pelaku
kejahatan merasa aman berlindung di balik citra publik orang baik. Orang baik
demikian tidak akan membongkar fakta kejahatan, tidak akan membiarkan pelaku
kejahatan diproses hukum, tidak akan memaksanya mundur dari jabatan publik.
Penyingkirannya pun dengan alasan penyegaran atau rotasi rutin, dengan alasan
kemanusiaan dan nama baik institusi.
Menurut Barometer Korupsi Global 2013 oleh Transparency International Indonesia,
korupsi di Indonesia termasuk akut (skor 5 untuk korupsi akut dan endemik),
dengan skor 4,5 untuk parlemen (urutan pertama terkorup bersama kepolisian),
dan 4,3 untuk partai politik. Meski citra terpuruk, wakil rakyat tetap merasa
orang baik, sebab yang terjerat hukum hanya segelintir. Tidak ada kata mundur
sebelum berstatus tersangka. Institusi publik menjadi rumah aman bagi
penerima gratifikasi dan melarang publik tak berburuk sangka. Sekitar 90
persen dari mereka itu berpotensi terpilih kembali.
Negarawan
Anggota
legislatif mestinya mulia karena mengurus negara. Itulah definisi sederhana
negarawan. Kenegarawanan harus ada untuk mengelola persoalan masyarakat. Ia
memahami ketatanegaraan dan taat asas dalam mengawal jalannya negara sesuai
dengan yang digariskan konstitusi. Selain itu, ia memiliki kearifan publik
dalam mengurus negara. Negarawan menjadi bagian dari sejarah bangsa ketika
menghadirkan kewibawaan negara dalam aktivitas politiknya.
Ketika
ruang politik praktis terbuka lebar dan hasrat menjadi caleg menggebu,
hiruk-pikuk politik menenggelamkan kenegarawanan. Yang politis (political) pun disamakan dengan
politisasi (politicking). Diskursus
politik menjadi dangkal. Kesucian politik ternoda. Partai hanya sedikit saja memanfaatkan
era keterbukaan politik untuk kaderisasi. Partai mengambil jalan pintas
dengan caleg karbitan.
Partai
pun gagal menjadi rahim bagi lahirnya negarawan. Melihat cara partai yang
menggampangkan perkara mengurus negara, rakyat patut bertanya-tanya benarkah
petinggi partai peduli dengan masa depan negara? Partai lebih berkepentingan
dengan caleg pendulang suara, tak peduli apakah kampanye caleg mencerdaskan
masyarakat dan sehat bagi kehidupan berbangsa.
Politisi
kita bak kutu loncat menggilir kursi legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Bahkan, ada caleg mengadu peruntungan sebagai calon hakim Mahkamah
Konstitusi. Suatu hari, negeri ini akan menorehkan rekor Muri karena
seseorang semasa hidupnya pernah menjabat di tiga lembaga pilar demokrasi.
Betapa dangkalnya kenegarawanan politisi kita. Caleg minim gagasan besar.
Asal ada niat, modal popularitas dan fulus, syarat menjadi caleg terpenuhi.
Berapa banyak politisi kita yang berlatar pendidikan sarjana ilmu politik?
Dulu,
orang bingung dengan banyaknya partai peserta pemilu. Kini, orang bingung
dengan banyaknya nama tanpa kualitas yang jelas. Muka baru memang layak
disambut dengan keraguan. Jangan-jangan sama mengecewakannya seperti mereka
yang awalnya juga menjanjikan harapan dan perubahan, seperti pesimisme
Qohelet: ”apa yang pernah ada akan ada
lagi dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi.” Nihil sub sole novum! Namun, optimisme melihat caleg berkualitas
seperti gandum di antara lalang.
Demokrasi
memberikan kesempatan bagi rakyat untuk mengoreksi kesalahan politik dengan
memilih caleg yang benar-benar baik. Tujuan luhur bernegara tercapai apabila
massa kritis negarawan berkualitas terbentuk. Untuk itu, rakyat harus cerdas
memilih. Masa depan Republik yang lebih baik bukan oleh agama ataupun kehendak
baik melulu, melainkan oleh negarawan yang memberi kontribusi positif bagi
negeri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar