Antisipasi
Serbuan Dana Jangka Pendek
Ferry Latuhihin ; Direktur Operasional ISEI Business & Research
Development Center
|
KOMPAS,
10 Maret 2014
DENGAN
beda suku bunga yang sangat tinggi antara rupiah dan dollar AS, rupiah dan
yen Jepang, dan pertumbuhan ekonomi yang cukup kuat, tahun ini terbuka pintu
sangat lebar bagi dana jangka pendek untuk kembali menyerbu Indonesia. Faktor
lainnya adalah politik.
Berbeda
dengan pemilu sebelumnya, Pemilu 2014 ditandai ”dukungan internasional” yang
sangat kuat kepada calon presiden yang sedang naik daun. Sementara prospek
ekonomi kita aman dan terkendali, AS kita lihat sibuk mencari jalan keluar
dari credit crunch dan liquidity trap.
Setelah
hampir enam tahun The Fed memompa
likuiditas, ekonomi AS masih dibayangi ketidakpastian sangat tinggi. Mesin
cetak uangnya overheating. Perlahan-lahan The
Fed mengurangi pembelian obligasi pemerintah jangka panjang. Walaupun ada
tanda-tanda ekonomi AS menggeliat, harapan segera kembali perkasa masih
tipis.
Eropa
yang tergabung dalam satu mata uang menawarkan dongeng serupa, tetapi tak
sama. Ekonomi zona euro akan tetap terperangkap pertikaian mengenai banking union, fiscal union, dan peran
European Central Bank (ECB) sebagai
lender of last resort dan pembuat kebijakan moneter. Menyulap Eropa zona euro
menjadi The United States of Europe
masih sulit terwujud.
Mobilitas
buruh yang diperlukan dalam currency
union tidak akan pernah terjadi karena ada kendala bahasa dan budaya.
Penyatuan fiskal tak akan pernah diterima Jerman sebagai negara terkuat.
Ringkasnya, Eropa zona euro tetap seperti kemarin dan hari ini dalam jangka
panjang. Dengan tingkat pengangguran 17 persen, ECB perlu puluhan tahun untuk
menaikkan suku bunga.
Kondisi
AS dan Eropa ini telah membuat banyak pakar ekonomi menciptakan istilah baru:
The New Normal. Dengan China yang mengendalikan pertumbuhan ekonominya 7,5
persen, istilah itu makin banyak mendapat dukungan. Dunia memasuki babak
baru. Francis Fukuyama yang menulis The
End of History tercengang melihat sebuah antitesis. Kebebasan pasar bukan
terminal terakhir sejarah manusia.
Saling terkait
Dalam
pertemuan terakhir G-20 di Sydney, Gubernur Bank Sentral India Raghuram Rajan
mengusulkan international monetary cooperation karena kebijakan moneter
negara maju telah mengguncang ekonomi negara berkembang. Namun, usulan itu
ditolak semua wakil negara maju, maunya ”urus diri sendiri”.
Sayang,
negara maju mengutuk kesehatan fiskal negara berkembang sebagai penyebab
turbulensi mata uang mereka. Itu tidak seluruhnya benar. Kondisi fiskal kita
sangat sehat dibanding negara mana pun dengan rasio utang terhadap produk
domestik bruto (PDB) hanya 24 persen tahun lalu. Salahnya, pemerintah
terlambat mengurangi subsidi BBM yang memicu defisit neraca perdagangan 4,4
persen PDB.
Akan
tetapi, sekalipun defisit itu misalkan hanya 2,2 persen, juga tidak ada
jaminan hot money tidak mengobok-obok rupiah kita. Sebab, Indonesia berada
dalam satu cluster emerging market dengan India, Brasil, Turki, Argentina,
Meksiko, dan Afrika Selatan. Satu cluster berarti berisiko ketularan. Sama
seperti bank. Ada satu yang sakit, sekecil apa pun bank itu seperti Century,
bisa menumbangkan bank besar yang sehat.
Dana
Moneter Internasional (IMF) beberapa
waktu lalu membuka wacana agar negara berkembang mempertimbangkan capital
control. Kegiatan bisnis sektor keuangan sebagai penyebab krisis 2008 telah
membuat AS menyadari bahwa kebebasan memicu kebablasan. Muncullah Dodd-Frank
Act di 2010 setebal 2.300 halaman untuk menjaga stabilitas dan transparansi
sektor keuangan.
Rezim
devisa bebas yang dianut negara berkembang pun seharusnya ditinjau ulang.
Rezim itu lebih banyak musibah daripada manfaatnya yang didasari oleh asumsi
yang tidak sesuai kenyataan: market is rational and efficient. Itu sama
sekali tidak benar. Pasar tidak rasional dan tidak efisien. Maka dibutuhkan
intervensi pemerintah.
Tahun
2013 para ekonom Citigroup, McKinsey, dan PricewaterhouseCoopers
mendeklarasikan bahwa negara berkembang adalah juru selamat ekonomi dunia
dengan mesin pertumbuhan yang super dinamis. Namun, tak lama kemudian
emerging market blues menggema di udara. Rupiah lunglai dari level Rp 9.700
ke Rp 12.000 per dollar dalam waktu yang terlalu singkat untuk dapat dipahami
dalam kerangka berpikir efficient
market hypothesis.
Terkena dampak
Ketika
Ben Bernanke pada Mei 2013 mengisyaratkan bahwa The Fed akan melakukan tapering, semua negara berkembang
tercengang melihat mata uangnya meleleh. Ini bukan pertama kali negara
berkembang terimbas gejolak keuangan global.
Pertama,
ekonomi negara berkembang terlalu dilebih-lebihkan. Dalam dua dekade terakhir
sebenarnya pertumbuhan ekonomi negara berkembang ditopang oleh faktor
eksternal, yaitu harga komoditas tinggi, suku bunga negara maju rendah, dan
banjir likuiditas.
Kebijakan
pemerintah hanyalah enabler, bukan trigger. Misalnya terus-menerus membiarkan
ekspor tambang mentah untuk menambah cadangan devisa. Begitu harga hasil
tambang terjun bebas, defisit neraca perdagangan pun menganga lebar.
Kedua,
globalisasi sektor keuangan sudah sangat mencemaskan. Nilai transaksi harian
di pasar valas dunia mencapai 5 triliun dollar AS per hari atau 25 kali nilai
perdagangan ekspor-impor. Transaksi itu lebih mencerminkan spekulasi
ketimbang kebutuhan riil.
Banyak
yang berasumsi kebebasan keluar-masuk kapital di sebuah negara dapat menjadi
motor investasi domestik dan mengurangi volatilitas ekonomi. Yang terjadi
adalah sebaliknya.
Maka
sebaiknya rezim devisa bebas ditinjau kembali. Hot money pasti akan kembali
menyerbu negara kita, padahal hot money selalu distortif dan destruktif. Dia
menyandera kebijakan moneter. Kita harus menaikkan suku bunga ketika dia
lari, padahal belum tentu berhasil merayu dia kembali saat ekonomi kita
tertekan.
Untuk
negara kita yang harus mengubah struktur secara total, kita memerlukan
stabilitas inflasi, sektor keuangan, dan suku bunga untuk mengerahkan
tabungan nasional. Tabungan dari luar yang kita butuhkan adalah foreign
direct investment yang menciptakan aset baru. Investasi portfolio tidak
memberikan nilai tambah karena dia memburu existing asset. Ini harus dicegah. Dengan kata lain, kita harus menganut rezim devisa separuh
bebas daripada separuh napas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar