Senin, 10 Maret 2014

Antisipasi Serbuan Dana Jangka Pendek

Antisipasi Serbuan Dana Jangka Pendek

Ferry Latuhihin ;   Direktur Operasional ISEI Business & Research Development Center
KOMPAS,  10 Maret 2014
                                                                                                                                                            
                                                                                         
                                                                                                             
DENGAN beda suku bunga yang sangat tinggi antara rupiah dan dollar AS, rupiah dan yen Jepang, dan pertumbuhan ekonomi yang cukup kuat, tahun ini terbuka pintu sangat lebar bagi dana jangka pendek untuk kembali menyerbu Indonesia. Faktor lainnya adalah politik.

Berbeda dengan pemilu sebelumnya, Pemilu 2014 ditandai ”dukungan internasional” yang sangat kuat kepada calon presiden yang sedang naik daun. Sementara prospek ekonomi kita aman dan terkendali, AS kita lihat sibuk mencari jalan keluar dari credit crunch dan liquidity trap.

Setelah hampir enam tahun The Fed memompa likuiditas, ekonomi AS masih dibayangi ketidakpastian sangat tinggi. Mesin cetak uangnya overheating. Perlahan-lahan The Fed mengurangi pembelian obligasi pemerintah jangka panjang. Walaupun ada tanda-tanda ekonomi AS menggeliat, harapan segera kembali perkasa masih tipis.

Eropa yang tergabung dalam satu mata uang menawarkan dongeng serupa, tetapi tak sama. Ekonomi zona euro akan tetap terperangkap pertikaian mengenai banking union, fiscal union, dan peran European Central Bank (ECB) sebagai lender of last resort dan pembuat kebijakan moneter. Menyulap Eropa zona euro menjadi The United States of Europe masih sulit terwujud.

Mobilitas buruh yang diperlukan dalam currency union tidak akan pernah terjadi karena ada kendala bahasa dan budaya. Penyatuan fiskal tak akan pernah diterima Jerman sebagai negara terkuat. Ringkasnya, Eropa zona euro tetap seperti kemarin dan hari ini dalam jangka panjang. Dengan tingkat pengangguran 17 persen, ECB perlu puluhan tahun untuk menaikkan suku bunga.

Kondisi AS dan Eropa ini telah membuat banyak pakar ekonomi menciptakan istilah baru: The New Normal. Dengan China yang mengendalikan pertumbuhan ekonominya 7,5 persen, istilah itu makin banyak mendapat dukungan. Dunia memasuki babak baru. Francis Fukuyama yang menulis The End of History tercengang melihat sebuah antitesis. Kebebasan pasar bukan terminal terakhir sejarah manusia.

Saling terkait

Dalam pertemuan terakhir G-20 di Sydney, Gubernur Bank Sentral India Raghuram Rajan mengusulkan international monetary cooperation karena kebijakan moneter negara maju telah mengguncang ekonomi negara berkembang. Namun, usulan itu ditolak semua wakil negara maju, maunya ”urus diri sendiri”.

Sayang, negara maju mengutuk kesehatan fiskal negara berkembang sebagai penyebab turbulensi mata uang mereka. Itu tidak seluruhnya benar. Kondisi fiskal kita sangat sehat dibanding negara mana pun dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya 24 persen tahun lalu. Salahnya, pemerintah terlambat mengurangi subsidi BBM yang memicu defisit neraca perdagangan 4,4 persen PDB.

Akan tetapi, sekalipun defisit itu misalkan hanya 2,2 persen, juga tidak ada jaminan hot money tidak mengobok-obok rupiah kita. Sebab, Indonesia berada dalam satu cluster emerging market dengan India, Brasil, Turki, Argentina, Meksiko, dan Afrika Selatan. Satu cluster berarti berisiko ketularan. Sama seperti bank. Ada satu yang sakit, sekecil apa pun bank itu seperti Century, bisa menumbangkan bank besar yang sehat.

Dana Moneter Internasional (IMF)    beberapa waktu lalu membuka wacana agar negara berkembang mempertimbangkan capital control. Kegiatan bisnis sektor keuangan sebagai penyebab krisis 2008 telah membuat AS menyadari bahwa kebebasan memicu kebablasan. Muncullah Dodd-Frank Act di 2010 setebal 2.300 halaman untuk menjaga stabilitas dan transparansi sektor keuangan.

Rezim devisa bebas yang dianut negara berkembang pun seharusnya ditinjau ulang. Rezim itu lebih banyak musibah daripada manfaatnya yang didasari oleh asumsi yang tidak sesuai kenyataan: market is rational and efficient. Itu sama sekali tidak benar. Pasar tidak rasional dan tidak efisien. Maka dibutuhkan intervensi pemerintah.

Tahun 2013 para ekonom Citigroup, McKinsey, dan PricewaterhouseCoopers mendeklarasikan bahwa negara berkembang adalah juru selamat ekonomi dunia dengan mesin pertumbuhan yang super dinamis. Namun, tak lama kemudian emerging market blues menggema di udara. Rupiah lunglai dari level Rp 9.700 ke Rp 12.000 per dollar dalam waktu yang terlalu singkat untuk dapat dipahami dalam kerangka berpikir efficient market hypothesis.

Terkena dampak

Ketika Ben Bernanke pada Mei 2013 mengisyaratkan bahwa The Fed akan melakukan tapering, semua negara berkembang tercengang melihat mata uangnya meleleh. Ini bukan pertama kali negara berkembang terimbas gejolak keuangan global.

Pertama, ekonomi negara berkembang terlalu dilebih-lebihkan. Dalam dua dekade terakhir sebenarnya pertumbuhan ekonomi negara berkembang ditopang oleh faktor eksternal, yaitu harga komoditas tinggi, suku bunga negara maju rendah, dan banjir likuiditas.

Kebijakan pemerintah hanyalah enabler, bukan trigger. Misalnya terus-menerus membiarkan ekspor tambang mentah untuk menambah cadangan devisa. Begitu harga hasil tambang terjun bebas, defisit neraca perdagangan pun menganga lebar.

Kedua, globalisasi sektor keuangan sudah sangat mencemaskan. Nilai transaksi harian di pasar valas dunia mencapai 5 triliun dollar AS per hari atau 25 kali nilai perdagangan ekspor-impor. Transaksi itu lebih mencerminkan spekulasi ketimbang kebutuhan riil.

Banyak yang berasumsi kebebasan keluar-masuk kapital di sebuah negara dapat menjadi motor investasi domestik dan mengurangi volatilitas ekonomi. Yang terjadi adalah sebaliknya.

Maka sebaiknya rezim devisa bebas ditinjau kembali. Hot money pasti akan kembali menyerbu negara kita, padahal hot money selalu distortif dan destruktif. Dia menyandera kebijakan moneter. Kita harus menaikkan suku bunga ketika dia lari, padahal belum tentu berhasil merayu dia kembali saat ekonomi kita tertekan.

Untuk negara kita yang harus mengubah struktur secara total, kita memerlukan stabilitas inflasi, sektor keuangan, dan suku bunga untuk mengerahkan tabungan nasional. Tabungan dari luar yang kita butuhkan adalah foreign direct investment yang menciptakan aset baru. Investasi portfolio tidak memberikan nilai tambah karena dia memburu existing asset. Ini harus dicegah. Dengan kata lain, kita harus menganut rezim devisa separuh bebas daripada separuh napas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar