Selasa, 11 Maret 2014

PK Berkali-kali Melawan Kepastian Hukum?

PK Berkali-kali Melawan Kepastian Hukum?

Romli Atmasasmita  ;   Profesor Emeritus Universitas Padjadjaran
KORAN SINDO,  10 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                             
Penegakan hukum di Indonesia saat ini sarat dengan ambiguitas kepercayaan publik tentang akuntabilitas dan kredibilitas, sejak penyidikan sampai pada pemeriksaan pengadilan. Cita keadilan yang dibungkus bingkai kepastian hukum tidak selalu memberikan keadilan nyata bagi pencari keadilan bahkan terkesan lebih banyak berpihak kepada kekuasaan (negara).

Hampir dapat dipastikan bahwa praktik praperadilan yang digadang sebagai filter perlindungan hak asasi tersangka dan terdakwa sejak berlakunya UU RI Nomor 8 Tahun 1981 Hukum Acara Pidana (KUHAP), terbukti tidak memenuhi cita dan tujuan awal pembentukan ”lembaga praperadilan”. Sehingga telah terjadi kesenjangan antara kepastian hukum dan keadilan di satu sisi dan kepentingan negara dan warga negara pencari keadilan di sisi lain.

UUD 1945 telah menempatkan perlindungan HAM termasuk warga negara pencari keadilan dalam bab tersendiri di antara bab-bab mengenai kekuasaan negara dan kekuasaan kehakiman, sehingga seharusnya diartikan bahwa kedua kekuasaan tersebut dijalankan dengan mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan hak negara untuk mengatur warga negaranya dan menjamin perlindungan hak asasi warga negaranya. Pembentuk UU KUHAP 1981 telah menyediakan hukum beracara ketika setiap orang—termasuk WNA—memasuki sistem peradilan pidana.

Aturan tersebut secara strategis telah memuat ketentuan-ketentuan baru dan relevan dengan bangsa merdeka, yaitu ketentuan setiap tersangka wajib didampingi advokat sejak dan pada setiap tingkat pemeriksaan. Setiap tersangka juga wajib diberitahukan dugaan atau sangkaan tindak pidana yang telah dilakukannya, serta diberikan hak untuk membela dirinya antara lain dilarang memberikan keterangan yang dapat merugikan kepentingan pembelaan bagi dirinya kelak di persidangan. Tak lupa setiap tersangka memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum baik upaya hukum biasa (banding dan kasasi) dan upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali) dengan syarat-syarat (alasan) pengajuan yang berbeda satu sama lain.

Hukum Acara (KUHAP) merupakan sarana hukum untuk menjalankan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan menjamin perlindungan hak negara untuk menuntut dan menghukum kejahatan serta menjamin perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa. Kepastian hukum dalam proses beracara terkait penerapan hukum pidana terletak pada penerapan hukum pada peristiwa konkret (fakta perbuatan yang dilarang) dan penetapan ancaman pidana terhadapnya.

Kepastian hukum dalam penerapan hukum pada peristiwa konkret tersebut berakhir ketika telah dijatuhkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan putusan terakhir dan mengikat berada pada putusan perkara pada tingkat kasasi. Putusan MA RI pada tingkat kasasi wajib segera dieksekusi tanpa penundaan oleh penuntut yang mewakili negara. Pada titik inilah dapat dikatakan bahwa telah dipenuhi cita kepastian hukum karena telah timbul implikasi hukum, yaitu perubahan status hukum terdakwa menjadi terpidana, dan implikasinya baik di bidang sosial, ekonomi, maupun politik, yang berbeda dibandingkan dengan seorang terdakwa, implikasi tersebut melekat sepanjang hidupnya.

Pembentuk UU KUHAP 1981sangat bijaksanadanmempertimbangkan sila perikemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi warga negaranya termasuk terpidana, yaitu dengan dimasukkannya upaya hukum peninjauan kembali (PK) sebagai upaya hukum luar biasa. Keluarbiasaan upaya hukum ini adalah pertama, dapat diajukan setiap saat oleh terpidana (bukan terdakwa!) selama yang bersangkutan menjalani hukuman di dalam penjara dan hanya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya, tidak terhadap negara yang diwakili penuntut.

Status keluarbiasaan upaya hukum PK tersebut mencerminkan bahwa kepastian hukum dalam proses peradilan pidana di Indonesia telah selesai seketika putusan pengadilan pada tingkat kasasi dijatuhkan, sekalipun dengan irah-irah ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Selain itu, hak negara diwakili penuntut telah selesai dan tuntas dengan jatuhnya vonis pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap dan terpidana menjalani hukumannya. Posisi pembentuk UU KUHAP 1981 yang tetap bersikukuh memasukkan upaya hukum luar biasa PK, menurut pendapat saya, sangat manusiawi karena para hakim sebagai manusia tidak terlepas dari kekeliruan yang berimplikasi terhadap nasib sesamanya.

Celah upaya hukum PK dalam konteks sistem hukum acara pidana Indonesia justru memberi ruang pencarian dan penemuan cita keadilan sesuai dengan harkat martabat manusia sekalipun dalam status terpidana. Proses mencari dan menemukan keadilan hukum bagi setiap orang—termasuk terpidana— adalah proses panjang tidak mengenal bahkan tidak boleh dibatasi oleh waktu. Apalagi, pembatasan dimaksud hanya bersifat administratif dan teknis semata-mata terkait beban kerja MA RI karena hak untuk mencari dan menemukan keadilan merupakan hak asasi paling utama dibandingkan dengan hak-hak asasi lainnya yang telah dijamin di dalam UUD 1945 dan ICCPR. Kekhawatiran bahwa putusan MKRI dalam perkara Uji Materi ketentuan Pasal 268 ayat (3) akan menyebabkan PK diajukan berulang-ulang adalah pikiran yang sangat naif karena tidak serta-merta diloloskan dan masih ada pembatasan-pembatasan sebagaimana tercantum dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP; dan hal tersebut tidak mudah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar