PK
Berkali-kali Melawan Kepastian Hukum?
Romli Atmasasmita ;
Profesor Emeritus Universitas Padjadjaran
|
KORAN
SINDO, 10 Maret 2014
Penegakan
hukum di Indonesia saat ini sarat dengan ambiguitas kepercayaan publik
tentang akuntabilitas dan kredibilitas, sejak penyidikan sampai pada
pemeriksaan pengadilan. Cita keadilan yang dibungkus bingkai kepastian hukum
tidak selalu memberikan keadilan nyata bagi pencari keadilan bahkan terkesan
lebih banyak berpihak kepada kekuasaan (negara).
Hampir
dapat dipastikan bahwa praktik praperadilan yang digadang sebagai filter
perlindungan hak asasi tersangka dan terdakwa sejak berlakunya UU RI Nomor 8 Tahun
1981 Hukum Acara Pidana (KUHAP), terbukti tidak memenuhi cita dan tujuan awal
pembentukan ”lembaga praperadilan”. Sehingga telah terjadi kesenjangan antara
kepastian hukum dan keadilan di satu sisi dan kepentingan negara dan warga
negara pencari keadilan di sisi lain.
UUD 1945
telah menempatkan perlindungan HAM termasuk warga negara pencari keadilan
dalam bab tersendiri di antara bab-bab mengenai kekuasaan negara dan
kekuasaan kehakiman, sehingga seharusnya diartikan bahwa kedua kekuasaan
tersebut dijalankan dengan mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan
hak negara untuk mengatur warga negaranya dan menjamin perlindungan hak asasi
warga negaranya. Pembentuk UU KUHAP 1981 telah menyediakan hukum beracara
ketika setiap orang—termasuk WNA—memasuki sistem peradilan pidana.
Aturan
tersebut secara strategis telah memuat ketentuan-ketentuan baru dan relevan
dengan bangsa merdeka, yaitu ketentuan setiap tersangka wajib didampingi
advokat sejak dan pada setiap tingkat pemeriksaan. Setiap tersangka juga
wajib diberitahukan dugaan atau sangkaan tindak pidana yang telah
dilakukannya, serta diberikan hak untuk membela dirinya antara lain dilarang
memberikan keterangan yang dapat merugikan kepentingan pembelaan bagi dirinya
kelak di persidangan. Tak lupa setiap tersangka memiliki hak untuk mengajukan
upaya hukum baik upaya hukum biasa (banding dan kasasi) dan upaya hukum luar
biasa (peninjauan kembali) dengan syarat-syarat (alasan) pengajuan yang
berbeda satu sama lain.
Hukum
Acara (KUHAP) merupakan sarana hukum untuk menjalankan ketentuan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan menjamin perlindungan hak negara untuk
menuntut dan menghukum kejahatan serta menjamin perlindungan hak asasi
tersangka/terdakwa. Kepastian hukum dalam proses beracara terkait penerapan
hukum pidana terletak pada penerapan hukum pada peristiwa konkret (fakta
perbuatan yang dilarang) dan penetapan ancaman pidana terhadapnya.
Kepastian
hukum dalam penerapan hukum pada peristiwa konkret tersebut berakhir ketika
telah dijatuhkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap dan putusan terakhir dan mengikat berada pada putusan perkara pada
tingkat kasasi. Putusan MA RI pada tingkat kasasi wajib segera dieksekusi
tanpa penundaan oleh penuntut yang mewakili negara. Pada titik inilah dapat
dikatakan bahwa telah dipenuhi cita kepastian hukum karena telah timbul
implikasi hukum, yaitu perubahan status hukum terdakwa menjadi terpidana, dan
implikasinya baik di bidang sosial, ekonomi, maupun politik, yang berbeda dibandingkan
dengan seorang terdakwa, implikasi tersebut melekat sepanjang hidupnya.
Pembentuk
UU KUHAP 1981sangat bijaksanadanmempertimbangkan sila perikemanusiaan yang
adil dan beradab serta keadilan sosial bagi warga negaranya termasuk
terpidana, yaitu dengan dimasukkannya upaya hukum peninjauan kembali (PK)
sebagai upaya hukum luar biasa. Keluarbiasaan upaya hukum ini adalah pertama,
dapat diajukan setiap saat oleh terpidana (bukan terdakwa!) selama yang
bersangkutan menjalani hukuman di dalam penjara dan hanya diberikan kepada
terpidana atau ahli warisnya, tidak terhadap negara yang diwakili penuntut.
Status
keluarbiasaan upaya hukum PK tersebut mencerminkan bahwa kepastian hukum
dalam proses peradilan pidana di Indonesia telah selesai seketika putusan
pengadilan pada tingkat kasasi dijatuhkan, sekalipun dengan irah-irah ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Selain itu,
hak negara diwakili penuntut telah selesai dan tuntas dengan jatuhnya vonis
pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap dan terpidana menjalani
hukumannya. Posisi pembentuk UU KUHAP 1981 yang tetap bersikukuh memasukkan
upaya hukum luar biasa PK, menurut pendapat saya, sangat manusiawi karena
para hakim sebagai manusia tidak terlepas dari kekeliruan yang berimplikasi
terhadap nasib sesamanya.
Celah
upaya hukum PK dalam konteks sistem hukum acara pidana Indonesia justru
memberi ruang pencarian dan penemuan cita keadilan sesuai dengan harkat
martabat manusia sekalipun dalam status terpidana. Proses mencari dan
menemukan keadilan hukum bagi setiap orang—termasuk terpidana— adalah proses
panjang tidak mengenal bahkan tidak boleh dibatasi oleh waktu. Apalagi,
pembatasan dimaksud hanya bersifat administratif dan teknis semata-mata
terkait beban kerja MA RI karena hak untuk mencari dan menemukan keadilan
merupakan hak asasi paling utama dibandingkan dengan hak-hak asasi lainnya
yang telah dijamin di dalam UUD 1945 dan ICCPR. Kekhawatiran bahwa putusan
MKRI dalam perkara Uji Materi ketentuan Pasal 268 ayat (3) akan menyebabkan
PK diajukan berulang-ulang adalah pikiran yang sangat naif karena tidak
serta-merta diloloskan dan masih ada pembatasan-pembatasan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP; dan hal tersebut tidak mudah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar