Selasa, 11 Maret 2014

Mengubah Kultur Belajar

Mengubah Kultur Belajar

Harjito  ;   Dosen IKIP PGRI Semarang
SUARA MERDEKA,  10 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                             
MASIH banyak orang belum menyadari zaman telah berubah dengan cepat. Selain faktor ekonomi, kemajuan teknologi memiliki andil besar mengakselerasi perubahan tersebut.

Konsekeunsinya, belajar pada era sabak dan grip tentu berbeda dari belajar pada era internet. Pada era papan tulis dan kapur, peran guru sangat menonjol.

Hampir semua materi datang dari guru, sedangkan murid hanya menerima. Era menerima tersebut terlihat dari siswa yang lebih banyak mendengarkan.

Fungsi telinga mendapat tugas luar biasa. Murid jarang mendapat kesempatan menyampaikan pendapat, apalagi menyanggah argumentasi guru. Hasil itu terlihat manakala mereka menjadi mahasiswa.

Pada semester awal, terlihat mahasiswa lebih asyik mendengarkan dosen mengajar. Berdasarkan pengalaman dan observasi terbatas di kelas, butuh waktu sedikitnya 2 semeseter untuk menciptakan iklim supaya mahasiswa berani bertanya, berpendapat, atau beradu argumentasi.

Hal penting dalam pembelajaran adalah menumbuhkan dua hal, yaitu keberanian bertanya dan memelihara sifat ingin tahu. Keingintahuan merupakan benih berharga dalam ilmu pengetahuan dan sikap kritis. Keingintahuan mewujud dalam keberanian mempertanyakan segala hal. Ilmu tidak akan berkembang tanpa ada sikap kritis.

Sebenarnya, keberanian bertanya sudah muncul sejak anak mulai bisa berbicara. Anak-anak kita sangat rajin bertanya. Seiring dengan perkembangannya, sebagian orang tua acap mematahkan sekaligus membungkamnya. ’’Kesenangan’’ bertanya mendapat stempel negatif: cerewet atau banyak omong. Ketiadaan ruang yang cukup untuk mereka bertanya memperparah relasi tersebut.

Pada masa lalu kita lebih banyak mengembangkan budaya mendengarkan. Di sekolah, siswa mendengarkan guru. Di rumah, mereka mendengarkan orang tua. Di tengah masyarakat, mereka mendengarkan sesepuh dan tokoh masyarakat.

Alhasil, jangan heran mereka cenderung menjadi pasif. Mereka meganggap semua hal sudah selesai, tuntas, dan tak ada yang perlu dipertanyakan. Bukan hanya tak mau bertanya, tidak tahu akan bertanya apa, melainkan juga kehilangan sifat ingin tahu. Bagaimana mengembangkan budaya belajar pada era internet? Pada era tersebut kita tidak dapat melepaskan diri dari dua kata, yaitu Google dan Youtube.

Pada zaman internet, data sangatlah berlimpah-ruah. Hal ini berbeda dari era sebelumnya, yang justru kesulitan mendapatkan data sehingga kita kekurangan informasi. Kini masyarakat awam pun bisa menelusuri banyak hal lewat mesin pencari Google.

Selama ada jaringan internet, Google menjadi kawan yang hebat. Seorang teman mengaku banyak mendapatkan secara gratis e-book melalui mesin pencari itu. Ia sedikit ’’menyayangkan’’ lebih banyak yang berbahasa asing ketimbang yang berbahasa Indonesia. Ia hanya berbekal keingintahuan dan ketekunan. Teman lain menuturkan pengalamannya. Kebetulan ia memulai hobi fotografi dan membuat video.

Ia banyak menemukan apa yang diinginkannya pada Youtube. Tak hanya materi berdurasi 5-10 menit tapi ia juga menemukan tiga rangkaian materi fotografi berbahasa Indonesia, masing-masing berdurasi kurang lebih 1 jam 30 menit dari fotografer terkenal Indonesia.

Cobalah menelusuri ’’postkolonial’’ -- mata kuliah yang saya tempuh ketika menempuh pendidikan S-2-- atau ’’membaca puisi’’, atau yang lain lewat Youtube.

Kita bisa mendapatkan beragam bahan. Meskipun audio visual juga terlacak, di Google kita lebih banyak mendapatkan data teks atau gambar. Adapun Youtube merupakan terminal besar audio atau audio visual. Bila lebih suka membaca, kita cukup melacak di Google. Tapi andai merasa lebih gampang menerima materi baru melalui audio visual, kita perlu mengandalkan Youtube.

Kedua teman yang saya ceritakan itu berumur di atas 35 tahun. Mereka belajar internet pada usia mahasiswa. Adapun anak-anak kita, sejak dini telah akrab dengan internet melalui ponsel pintar. Mereka sangat familiar dengan tablet atau laptop. Jauh berbeda dari kita yang acap gagap teknologi (gaptek).

Ingin Tahu

Karena faktor usia dan perbedaaan generasi, waktu yang mereka butuhkan untuk mempelajari sesuatu pun lebih cepat ketimbang kita sebagai orang tua. Kita bisa melihat anak-anak SMP pun bisa berkoneksi dengan orang lain melampaui batas teritori negara, bangsa, dan bahasa.

Bukankah Google juga bisa dan cepat menerjemahkan beragam bahasa asing ke dalam Bahasa Indonesia? Yang perlu kita lakukan terhadap anak-anak adalah menyemaikan, memupuk, dan memelihara sifat ingin tahu yang besar dari mereka. Hindari sikap ingin membungkam rasa ingin tahu mereka.

Justru pancinglah agar mereka selalu ingin tahu. Keingintahuan itu menyebabkan anak kita menjadi pencari ilmu. Mereka sendiri bisa mencari informasi, materi, dan data dengan memanfaatkan Google, Youtube, atau yang lain. Namun, bukan hanya anak atau anak didik yang harus terus belajar.

Orang tua, guru, masyarakat, termasuk pemegang kekuasaan dan pengambil keputusan pun, harus selalu belajar. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana menciptakan suasana dan iklim yang menyenangkan atau menggembirakan.

Belajar didefinisikan secara sederhana sebagai proses mendapatkan sesuatu yang baru. Suasana menyenangkan bukan hanya semasa anak belajar di PAUD atau TK. Kondisi itu diperlukan sepanjang masa dalam proses belajar. Melalui kegembiraan, generasi muda Indonesia akan memuaskan diri dan mencari cara mendapatkan ilmu, berangkat dari keingintahuan dalam dirinya.

Belajar bukanlah paksaan, apalagi dalam kondisi tertekan, melainkan kebutuhan atas perkembangan diri dan situasi di luar. Apakah kita telah mengondisikan dan melakukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar