Mengubah
Kultur Belajar
Harjito ;
Dosen IKIP PGRI Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 10 Maret 2014
MASIH
banyak orang belum menyadari zaman telah berubah dengan cepat. Selain faktor ekonomi,
kemajuan teknologi memiliki andil besar mengakselerasi perubahan tersebut.
Konsekeunsinya,
belajar pada era sabak dan grip tentu berbeda dari belajar pada era internet.
Pada era papan tulis dan kapur, peran guru sangat menonjol.
Hampir
semua materi datang dari guru, sedangkan murid hanya menerima. Era menerima
tersebut terlihat dari siswa yang lebih banyak mendengarkan.
Fungsi
telinga mendapat tugas luar biasa. Murid jarang mendapat kesempatan
menyampaikan pendapat, apalagi menyanggah argumentasi guru. Hasil itu
terlihat manakala mereka menjadi mahasiswa.
Pada
semester awal, terlihat mahasiswa lebih asyik mendengarkan dosen mengajar.
Berdasarkan pengalaman dan observasi terbatas di kelas, butuh waktu
sedikitnya 2 semeseter untuk menciptakan iklim supaya mahasiswa berani
bertanya, berpendapat, atau beradu argumentasi.
Hal
penting dalam pembelajaran adalah menumbuhkan dua hal, yaitu keberanian
bertanya dan memelihara sifat ingin tahu. Keingintahuan merupakan benih
berharga dalam ilmu pengetahuan dan sikap kritis. Keingintahuan mewujud dalam
keberanian mempertanyakan segala hal. Ilmu tidak akan berkembang tanpa ada
sikap kritis.
Sebenarnya,
keberanian bertanya sudah muncul sejak anak mulai bisa berbicara. Anak-anak
kita sangat rajin bertanya. Seiring dengan perkembangannya, sebagian orang
tua acap mematahkan sekaligus membungkamnya. ’’Kesenangan’’ bertanya mendapat
stempel negatif: cerewet atau banyak omong. Ketiadaan ruang yang cukup untuk
mereka bertanya memperparah relasi tersebut.
Pada
masa lalu kita lebih banyak mengembangkan budaya mendengarkan. Di sekolah,
siswa mendengarkan guru. Di rumah, mereka mendengarkan orang tua. Di tengah
masyarakat, mereka mendengarkan sesepuh dan tokoh masyarakat.
Alhasil,
jangan heran mereka cenderung menjadi pasif. Mereka meganggap semua hal sudah
selesai, tuntas, dan tak ada yang perlu dipertanyakan. Bukan hanya tak mau
bertanya, tidak tahu akan bertanya apa, melainkan juga kehilangan sifat ingin
tahu. Bagaimana mengembangkan budaya belajar pada era internet? Pada era
tersebut kita tidak dapat melepaskan diri dari dua kata, yaitu Google dan
Youtube.
Pada
zaman internet, data sangatlah berlimpah-ruah. Hal ini berbeda dari era
sebelumnya, yang justru kesulitan mendapatkan data sehingga kita kekurangan
informasi. Kini masyarakat awam pun bisa menelusuri banyak hal lewat mesin
pencari Google.
Selama
ada jaringan internet, Google menjadi kawan yang hebat. Seorang teman mengaku
banyak mendapatkan secara gratis e-book melalui mesin pencari itu. Ia sedikit
’’menyayangkan’’ lebih banyak yang berbahasa asing ketimbang yang berbahasa
Indonesia. Ia hanya berbekal keingintahuan dan ketekunan. Teman lain
menuturkan pengalamannya. Kebetulan ia memulai hobi fotografi dan membuat
video.
Ia
banyak menemukan apa yang diinginkannya pada Youtube. Tak hanya materi
berdurasi 5-10 menit tapi ia juga menemukan tiga rangkaian materi fotografi
berbahasa Indonesia, masing-masing berdurasi kurang lebih 1 jam 30 menit dari
fotografer terkenal Indonesia.
Cobalah
menelusuri ’’postkolonial’’ -- mata kuliah yang saya tempuh ketika menempuh
pendidikan S-2-- atau ’’membaca puisi’’, atau yang lain lewat Youtube.
Kita
bisa mendapatkan beragam bahan. Meskipun audio visual juga terlacak, di
Google kita lebih banyak mendapatkan data teks atau gambar. Adapun Youtube
merupakan terminal besar audio atau audio visual. Bila lebih suka membaca,
kita cukup melacak di Google. Tapi andai merasa lebih gampang menerima materi
baru melalui audio visual, kita perlu mengandalkan Youtube.
Kedua
teman yang saya ceritakan itu berumur di atas 35 tahun. Mereka belajar
internet pada usia mahasiswa. Adapun anak-anak kita, sejak dini telah akrab
dengan internet melalui ponsel pintar. Mereka sangat familiar dengan tablet
atau laptop. Jauh berbeda dari kita yang acap gagap teknologi (gaptek).
Ingin Tahu
Karena
faktor usia dan perbedaaan generasi, waktu yang mereka butuhkan untuk
mempelajari sesuatu pun lebih cepat ketimbang kita sebagai orang tua. Kita
bisa melihat anak-anak SMP pun bisa berkoneksi dengan orang lain melampaui
batas teritori negara, bangsa, dan bahasa.
Bukankah
Google juga bisa dan cepat menerjemahkan beragam bahasa asing ke dalam Bahasa
Indonesia? Yang perlu kita lakukan terhadap anak-anak adalah menyemaikan,
memupuk, dan memelihara sifat ingin tahu yang besar dari mereka. Hindari
sikap ingin membungkam rasa ingin tahu mereka.
Justru
pancinglah agar mereka selalu ingin tahu. Keingintahuan itu menyebabkan anak
kita menjadi pencari ilmu. Mereka sendiri bisa mencari informasi, materi, dan
data dengan memanfaatkan Google, Youtube, atau yang lain. Namun, bukan hanya
anak atau anak didik yang harus terus belajar.
Orang
tua, guru, masyarakat, termasuk pemegang kekuasaan dan pengambil keputusan
pun, harus selalu belajar. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana
menciptakan suasana dan iklim yang menyenangkan atau menggembirakan.
Belajar
didefinisikan secara sederhana sebagai proses mendapatkan sesuatu yang baru.
Suasana menyenangkan bukan hanya semasa anak belajar di PAUD atau TK. Kondisi
itu diperlukan sepanjang masa dalam proses belajar. Melalui kegembiraan,
generasi muda Indonesia akan memuaskan diri dan mencari cara mendapatkan
ilmu, berangkat dari keingintahuan dalam dirinya.
Belajar
bukanlah paksaan, apalagi dalam kondisi tertekan, melainkan kebutuhan atas
perkembangan diri dan situasi di luar. Apakah kita telah mengondisikan dan
melakukan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar