PK,
Antara Kepastian Hukum dan Keadilan
W Riawan Tjandra ;
Doktor Hukum Administrasi Negara,
Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya
Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 10 Maret 2014
Peninjauan
kembali (PK) dalam hukum acara dinisbahkan sebagai suatu upaya hukum luar
biasa yang hanya dapat diajukan satu kali dan sifat pengajuannya tidak
menunda pelaksanaan eksekusi. Penempatan PK sebagai salah satu upaya hukum
dalam sistem hukum acara peradilan dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan
perlindungan atas hak asasi manusia (HAM),
tanpa
mengorbankan asas kepastian hukum (rechtszekerheid),
yang merupakan sendi dasar dari suatu negara hukum. Eksistensi suatu upaya
hukum PK, memang sejak awal diintegrasikan dalam sistem hukum acara memang
berada di tengah tarikan nilai keadilan dan kepastian hukum. Meskipun
instrumen peninjauan kembali dimaksudkan memberikan keadilan, dalam batas
tertentu juga dapat bersifat paradoks dengan dimensi kepastian hukum.
Hal itu
disebabkan suatu putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) bisa dibatalkan
manakala berdasarkan bukti-bukti baru (novum)
yang diakui kebenarannya oleh pengadilan dalam proses peninjauan kembali.
Namun, proses peradilan yang menggunakan sistem hukum acara yang meskipun
sudah menggunakan tata cara pemeriksaan prosedural yang ketat dan standar
pembuktian yang diharapkan dapat mewujudkan kebenaran materiil (the ultimate truth), juga bisa
mengalami kesalahan justru karena proseduralitasnya tersebut.
Keberadaan
PK sebagai suatu instrumen upaya hukum dalam hukum acara peradilan
dimaksudkan untuk memungkinkan terjadinya proses koreksi jika ditemukan
adanya kelemahan dalam proses pembuktian di peradilan yang dilaksanakan
secara hierarkis sejak peradilan tingkat pertama, tingkat banding, hingga
kasasi. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 yang menyatakan
Pasal 268 ayat (3) UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP bertentangan dengan UUD
Negara RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi.
Pasal
268 ayat (3) KUHAP tersebut menyatakan bahwa ”Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat
dilakukan satu kali saja”, yang dalam putusan MK tersebut dinyatakan
bertentangan dengan UUD Negara RI 1945 dan hal ini membuka peluang PK bisa
diajukan lebih dari satu kali. Namun masih diakuinya Pasal 263 ayat (2) KUHAP
yang mengatur mengenai alasan pengajukan PK, meskipun Pasal 263 ayat (3)
KUHAP dibatalkan namun pengajuan PK harus tetap berpedoman pada kriteria dan
persyaratan yang diatur pada Pasal 263 ayat (2) KUHAP yaitu bahwa permintaan
peninjauan hanya dapat dilakukan jika terdapat beberapa alasan pokok, yaitu:
(a) apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika
keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya
akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau
tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu
diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; (b) apabila dalam pelbagai
putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, tetapi hal atau
keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu,
ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; (c) apabila putusan itu
dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang
nyata.
Terkait
dengan alasan pengajuan PK tersebut, salah satu konsiderasi putusan MK
mengemukakan bahwa ”berdasarkan ketiga
alasan PK sebagaimana diuraikan di atas, terdapat satu alasan terkait dengan
terpidana, sedangkan kedua alasan lainnya terkait dengan hakim sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman. Alasan satu-satunya yang terkait dengan
terpidana yaitu menyangkut peristiwa yang menguntungkan terpidana berupa
keadaan baru (novum) yang manakala ditemukan ketika proses peradilan
berlangsung putusan hakim diyakini akan lain [vide Pasal 263 ayat (2) huruf a
KUHAP].
Oleh karena itu dan karena terkait dengan keadilan
yang merupakan hak konstitusional atau HAM bagi seseorang yang dijatuhi
pidana, selain itu pula karena kemungkinan keadaan baru (novum) dapat
ditemukan kapan saja, tidak dapat ditentukan secara pasti kapan waktunya maka
adilkah manakala PK dibatasi hanya satu kali sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Apa sesungguhnya makna keadilan sebagai hak
konstitusional bagi seseorang yang terpenuhinya merupakan kewajiban negara,
jika negara justru menutupnya dengan ketentuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP.”
Putusan
MK Nomor 34/ PUU-XI/2013 tersebut bertitik tolak dari penilaian atas
permohonan uji materiil yang diakukan oleh Antasari Azhar bersama istri dan
anaknya yang memang jika dirunut ke belakang sejak dari kasus persidangan
Antasari, mantan ketua KPK RI, yang kontroversial. Pada 1 Februari 2009,
Antasari divonis 18 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan. Vonis ini jauh lebih ringan dari hukuman mati yang
sebelumnya dituntutkan kepada AA oleh jaksa penuntut umum (JPU). Dugaan
rekayasa kasus dalam kasus Antasari semakin menguat, karena masih adanya
keraguan mengenai alat bukti teknologi informasi berupa pesan singkat
Antasari yang dituduhkan berisi ancaman dalam kasus terbunuhnya pengusaha
Nasaruddin Zulkarnaen,
suami
Rani Juliani, yang proses pembuktiannya masih menimbulkan keraguan mengenai
kebenarannya. Dalam hukum acara pidana, apabila terdapat sebuah keragu-raguan
yang beralasan (beyond reasonable doubt)
seharusnya hakim harus membebaskan terdakwa. KPK di tangan Antasari telah
berhasil mengungkap berbagai kasus tipikor big fish, seperti kasus BLBI yang sempat menyeret besan SBY
menjadi pesakitan. Bukan hanya itu, Antasari yang memimpin KPK di masa itu
bahkan berani memulai pengungkapan skandal Century serta akan mulai
membongkar skandal proyek IT di KPU pada masa itu.
Bahkan,
sempat muncul isu bahwa dokumen IT KPU yang dulu dipegang Antasari kini
lenyap. Langkah Antasari tersebut membuat banyak pihak ”kebakaran jenggot”
yang pada akhirnya muncullah kasus pembunuhan pengusaha Nasaruddin yang
dikaitkan dengan skandal asmara segitiga antara Antasari dengan Rani. Namun
dalam persidangan yang disiarkan secara luas pada masa itu, cukup banyak
kejanggalan selama proses pembuktian yang menyebabkan dugaan adanya rekayasa
kasus untuk mengkriminalisasi Antasari sebagai ketua KPK pada masa itu tidak
terselesaikan dengan tuntas.
Bahkan
salah seorang saksi kunci dalam perkara itu, Williardi Wizard, sempat membuat
keterangan di depan pengadilan yang menyatakan adanya rekayasa kasus Antasari
oleh beberapa petinggi di kepolisian. Meskipun perkara kasasi Antasari Azhar
sudah diputus oleh Mahkamah Agung, kasus hukum yang penuh dengan nuansa
politik ini terus menjadi kontroversi di muka publik. Dalam Putusan Kasasi
Mahkamah Agung, yang terdiri atas Hakim Agung Artidjo Alkostar (ketua
majelis), Moegihardjo dan Surya Jaya (anggota majelis), menghukum Antasari
dengan hukuman 18 tahun penjara. Namun, putusan tersebut tidak diambil secara
bulat, karena Hakim Agung Surya Jaya menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion).
Menurut
pendapatnya, Antasari wajib diputus bebas dari segala dakwaan. Dengan adanya
putusan MK yang membuka peluang PK diajukan lebih dari satu kali itu,
memungkinkan Antasari untuk mengajukan PK kembali setelah PK yang diajukannya
sebelumnya ditolak oleh MA. Putusan MK tersebut memang sangat penting untuk
mengungkap tabir di balik kasus dugaan kriminalisasi Antasari sebagai ketua
KPK pada masa itu. Namun, yang perlu diwaspadai adalah juga terbukanya
peluang bagi para pelaku tipikor yang sudah divonis tetap, untuk mengajukan
PK atas perkaranya berkali-kali sebagai perjuangan untuk membebaskan dirinya.
Sangat
penting bagi MA untuk segera menyusun Peraturan Mahkamah Agung untuk
menjabarkan pesan dari putusan MK Nomor 34/PUUXI/ 2013 melalui peraturan
operasional mengenai kriteria dan syarat pengajuan PK yang mencerminkan dimensi
kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan, agar tidak justru menguntungkan
koruptor dan para pelaku kejahatan transnasional lain yang menunggangi
putusan MK tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar