Selasa, 11 Maret 2014

PK, Antara Kepastian Hukum dan Keadilan

PK, Antara Kepastian Hukum dan Keadilan

W Riawan Tjandra  ;   Doktor Hukum Administrasi Negara,
Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
KORAN SINDO,  10 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
Peninjauan kembali (PK) dalam hukum acara dinisbahkan sebagai suatu upaya hukum luar biasa yang hanya dapat diajukan satu kali dan sifat pengajuannya tidak menunda pelaksanaan eksekusi. Penempatan PK sebagai salah satu upaya hukum dalam sistem hukum acara peradilan dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan perlindungan atas hak asasi manusia (HAM),

tanpa mengorbankan asas kepastian hukum (rechtszekerheid), yang merupakan sendi dasar dari suatu negara hukum. Eksistensi suatu upaya hukum PK, memang sejak awal diintegrasikan dalam sistem hukum acara memang berada di tengah tarikan nilai keadilan dan kepastian hukum. Meskipun instrumen peninjauan kembali dimaksudkan memberikan keadilan, dalam batas tertentu juga dapat bersifat paradoks dengan dimensi kepastian hukum.

Hal itu disebabkan suatu putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) bisa dibatalkan manakala berdasarkan bukti-bukti baru (novum) yang diakui kebenarannya oleh pengadilan dalam proses peninjauan kembali. Namun, proses peradilan yang menggunakan sistem hukum acara yang meskipun sudah menggunakan tata cara pemeriksaan prosedural yang ketat dan standar pembuktian yang diharapkan dapat mewujudkan kebenaran materiil (the ultimate truth), juga bisa mengalami kesalahan justru karena proseduralitasnya tersebut.

Keberadaan PK sebagai suatu instrumen upaya hukum dalam hukum acara peradilan dimaksudkan untuk memungkinkan terjadinya proses koreksi jika ditemukan adanya kelemahan dalam proses pembuktian di peradilan yang dilaksanakan secara hierarkis sejak peradilan tingkat pertama, tingkat banding, hingga kasasi. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 yang menyatakan Pasal 268 ayat (3) UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP bertentangan dengan UUD Negara RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi.

Pasal 268 ayat (3) KUHAP tersebut menyatakan bahwa ”Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja”, yang dalam putusan MK tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD Negara RI 1945 dan hal ini membuka peluang PK bisa diajukan lebih dari satu kali. Namun masih diakuinya Pasal 263 ayat (2) KUHAP yang mengatur mengenai alasan pengajukan PK, meskipun Pasal 263 ayat (3) KUHAP dibatalkan namun pengajuan PK harus tetap berpedoman pada kriteria dan persyaratan yang diatur pada Pasal 263 ayat (2) KUHAP yaitu bahwa permintaan peninjauan hanya dapat dilakukan jika terdapat beberapa alasan pokok, yaitu: (a) apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; (b) apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; (c) apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Terkait dengan alasan pengajuan PK tersebut, salah satu konsiderasi putusan MK mengemukakan bahwa ”berdasarkan ketiga alasan PK sebagaimana diuraikan di atas, terdapat satu alasan terkait dengan terpidana, sedangkan kedua alasan lainnya terkait dengan hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Alasan satu-satunya yang terkait dengan terpidana yaitu menyangkut peristiwa yang menguntungkan terpidana berupa keadaan baru (novum) yang manakala ditemukan ketika proses peradilan berlangsung putusan hakim diyakini akan lain [vide Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP].

Oleh karena itu dan karena terkait dengan keadilan yang merupakan hak konstitusional atau HAM bagi seseorang yang dijatuhi pidana, selain itu pula karena kemungkinan keadaan baru (novum) dapat ditemukan kapan saja, tidak dapat ditentukan secara pasti kapan waktunya maka adilkah manakala PK dibatasi hanya satu kali sebagaimana ditentukan dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Apa sesungguhnya makna keadilan sebagai hak konstitusional bagi seseorang yang terpenuhinya merupakan kewajiban negara, jika negara justru menutupnya dengan ketentuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP.”

Putusan MK Nomor 34/ PUU-XI/2013 tersebut bertitik tolak dari penilaian atas permohonan uji materiil yang diakukan oleh Antasari Azhar bersama istri dan anaknya yang memang jika dirunut ke belakang sejak dari kasus persidangan Antasari, mantan ketua KPK RI, yang kontroversial. Pada 1 Februari 2009, Antasari divonis 18 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Vonis ini jauh lebih ringan dari hukuman mati yang sebelumnya dituntutkan kepada AA oleh jaksa penuntut umum (JPU). Dugaan rekayasa kasus dalam kasus Antasari semakin menguat, karena masih adanya keraguan mengenai alat bukti teknologi informasi berupa pesan singkat Antasari yang dituduhkan berisi ancaman dalam kasus terbunuhnya pengusaha Nasaruddin Zulkarnaen,

suami Rani Juliani, yang proses pembuktiannya masih menimbulkan keraguan mengenai kebenarannya. Dalam hukum acara pidana, apabila terdapat sebuah keragu-raguan yang beralasan (beyond reasonable doubt) seharusnya hakim harus membebaskan terdakwa. KPK di tangan Antasari telah berhasil mengungkap berbagai kasus tipikor big fish, seperti kasus BLBI yang sempat menyeret besan SBY menjadi pesakitan. Bukan hanya itu, Antasari yang memimpin KPK di masa itu bahkan berani memulai pengungkapan skandal Century serta akan mulai membongkar skandal proyek IT di KPU pada masa itu.

Bahkan, sempat muncul isu bahwa dokumen IT KPU yang dulu dipegang Antasari kini lenyap. Langkah Antasari tersebut membuat banyak pihak ”kebakaran jenggot” yang pada akhirnya muncullah kasus pembunuhan pengusaha Nasaruddin yang dikaitkan dengan skandal asmara segitiga antara Antasari dengan Rani. Namun dalam persidangan yang disiarkan secara luas pada masa itu, cukup banyak kejanggalan selama proses pembuktian yang menyebabkan dugaan adanya rekayasa kasus untuk mengkriminalisasi Antasari sebagai ketua KPK pada masa itu tidak terselesaikan dengan tuntas.

Bahkan salah seorang saksi kunci dalam perkara itu, Williardi Wizard, sempat membuat keterangan di depan pengadilan yang menyatakan adanya rekayasa kasus Antasari oleh beberapa petinggi di kepolisian. Meskipun perkara kasasi Antasari Azhar sudah diputus oleh Mahkamah Agung, kasus hukum yang penuh dengan nuansa politik ini terus menjadi kontroversi di muka publik. Dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung, yang terdiri atas Hakim Agung Artidjo Alkostar (ketua majelis), Moegihardjo dan Surya Jaya (anggota majelis), menghukum Antasari dengan hukuman 18 tahun penjara. Namun, putusan tersebut tidak diambil secara bulat, karena Hakim Agung Surya Jaya menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion).

Menurut pendapatnya, Antasari wajib diputus bebas dari segala dakwaan. Dengan adanya putusan MK yang membuka peluang PK diajukan lebih dari satu kali itu, memungkinkan Antasari untuk mengajukan PK kembali setelah PK yang diajukannya sebelumnya ditolak oleh MA. Putusan MK tersebut memang sangat penting untuk mengungkap tabir di balik kasus dugaan kriminalisasi Antasari sebagai ketua KPK pada masa itu. Namun, yang perlu diwaspadai adalah juga terbukanya peluang bagi para pelaku tipikor yang sudah divonis tetap, untuk mengajukan PK atas perkaranya berkali-kali sebagai perjuangan untuk membebaskan dirinya.

Sangat penting bagi MA untuk segera menyusun Peraturan Mahkamah Agung untuk menjabarkan pesan dari putusan MK Nomor 34/PUUXI/ 2013 melalui peraturan operasional mengenai kriteria dan syarat pengajuan PK yang mencerminkan dimensi kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan, agar tidak justru menguntungkan koruptor dan para pelaku kejahatan transnasional lain yang menunggangi putusan MK tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar