Perspektif
OKBCM
Rhenald Kasali ;
Guru Besar FEUI; Pendiri Rumah
Perubahan
|
JAWA
POS, 09 Maret 2014
JIKA
minggu lalu saya terlibat dalam Rembuk Rakyat di Kalimantan Timur, Rabu
kemarin saya berada di tengah-tengah Rembuk Rakyat Jawa Timur bersama Joint Operating Body Pertamina Petrochina
East Java (JOB-PPEJ). Sekadar informasi, JOB-PPEJ adalah perusahaan
patungan antara Pertamina Hulu Energi (75 persen) dan Petrochina (25 persen)
Ia
mengelola ladang migas di kawasan Tuban, Bojonegoro, Gresik, dan Lamongan
dengan 40 sumur migas. Kelak, gas ini akan dialokasikan untuk pasar domestik.
Jadi,
berbeda dengan di Kaltim, rembuk rakyat kali ini dilakukan untuk mencari
solusi damai dari temuan cadangan migas yang menimbulkan harapan amat besar
bagi warga setempat. Bayangkan saja, puluhan tahun tinggal dalam kawasan yang
tandus dan miskin, tiba-tiba dikabarkan di bawahnya ada gas yang besar.
Padahal, Anda tahu, daerah ini dulu dikenal sebagai hutan jati yang
dilindungi. Begitu miskinnya, sampai-sampai penjara dipenuhi oleh warga yang
tersangkut kasus pencurian kayu.
Kemiskinan
itu pulalah yang membuat tingkat pendidikan masyarakatnya rendah dan
unskilled. Jadi, kalau ada kebutuhan tenaga proyek, hampir dapat dipastikan
mereka hanya mampu mengambil remah-remahnya. Sudah begitu, JOB-PPEJ pun
terkendala oleh ketentuan pemerintah yang mengatur tata cara pengadaan barang
dan jasa.
Sumijan,
pengusaha kecil dari Desa Rahayu di Tuban, mengungkapkan keheranannya, "Proyek senilai satu juta rupiah saja
harus direbut via tender." Saya juga baru tahu kalau ketentuan
lelang dalam bidang migas ternyata jauh lebih ketat daripada lelang nonmigas.
Untung,
rembuk rakyat kali ini, selain dihadiri pimpinan JOB-PPEJ, juga dihadiri para
pembuat kebijakan. Di antaranya, dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa
Pemerintah (LKPP), Bupati Bojonegoro Suyoto, yang akrab disapa Kang Yoto, Wakil
Bupati Tuban Noor Nahar Husein, dan beberapa kalangan lain.
Saya
semula menduga dialog bakal berlangsung panas. Maklum, banyak kepentingan dan
isu yang mewarnai dialog. Bukankah sudah sering kita dengar jalan ditutup
warga sehingga pengeboran terhambat? Ditambah lagi, pengumumam tender selalu
kisruh. Ketentuan mengenai local content mempunyai tafsiran ganda. Buat
pengatur kebijakan di Jakarta, lokal itu artinya nasional, tapi bagi bupati,
lokal itu artinya wilayahnya, untuk warganya. Kalau harga dan mutu
dibanding-bandingkan, hampir pasti kalahlah warga setempat yang baru saja
memulai usaha dengan modal terbatas.
Orang
kota pun pasti akan beranggapan, otonomi daerah sumber masalah, tidak
efisien. Namun, bagi orang desa, sebaliknya, ketakberdayaan telah membuat
mereka hanya bisa menjadi penonton yang miskin. Mereka tentu menolaknya.
Tetapi, siapa yang peduli?
Baiklah
soal lelang yang buat kita meradang ini (dan kita suka pura-pura tidak tahu
bahwa lelang sarat korupsi dan manipulasi) akan kita bahas minggu depan. Kita
fokus dulu pada fenomena OKB yang muncul dari keberadaan tambang atau rezeki
sesaat.
Masalah Sosial
Mungkin
sebagian OKB tadi berharap bisa menggantungkan hidup dari JOB-PPEJ. Mereka
berharap kelak bisa bekerja di sana. Mereka tak paham bahwa bekerja di
perusahaan migas membutuhkan keterampilan tersendiri, yang tidak mereka
miliki.
Jika
tidak ditangani secara benar, ini tentu bisa berkembang menjadi masalah
sosial yang serius. Karena itu, saya senang ketika pihak JOB-PPEJ menggelar
rembuk migas ini. Rembuk semacam ini membuat kita tahu apa saja masalah yang
bakal muncul, sehingga bisa diantisipasi. Misalnya, kita bisa mendidik
masyarakat setempat atau membekali para pemasok lokal agar kemampuannya bisa
meningkat. Bupati yang hebat juga pasti bisa mengambil sikap dengan membuat
kebijakan yang berpihak, namun tidak menjadikan warganya passengers yang
keenakan, lalu miskin. Bukankah lebih baik kita mencegah kebakaran ketimbang
memadamkannya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar