Duduk
Bersama
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 09 Maret 2014
Saya
rasa setiap orang pernah mengalami duduk bersama seseorang yang sama sekali
tidak dikenal, misalnya ketika menunggu di tempat praktik dokter dan
dokternya terlambat datang (ini hanya contoh, karena bisa juga terjadi di
tempat lain).
Untuk
mengatasi kebosanan biasanya salah satu mulai nyeletuk, ”Dokternya lama, ya?” ”Iya, padahal biasanya dia enggak pernah
telat,” jawab yang lain. ”Iya,
padahal saya sudah buru-buru dari kantor, takut kena macet.”
”Iya, dokternya juga kena macet nih, barangkali.
Ngomong-ngomong kantor Bapak di mana?”
”Di Jalan Thamrin. Di Bank Sejahtera Antarbangsa.”
”Loh, itu kan tempat anak saya bekerja?”
”Ah, serius? Nama anak Bapak siapa?”
”Adit. Dia di Bagian Hukum.”
”Wah, Adit itu anak buah saya. Saya Kepala Bagian
Hukum di bank itu.”
”Wah, senang sekali ketemu Bapak.” Dan
seterusnya mereka mengobrol, sehingga tidak disadari dokter sudah datang.
Kisah berakhir dengan saling tukar nomor HP dan janji untuk saling kontak
lagi.
Dalam
ilmu psikologi komunikasi ada teori yang ditemukan oleh Joseph Luft dan
Harrison Ingham dan dinamakan teori Jendela Johari (singkatan dari nama kedua
penemu teori ini: Jo dan Harri). Teori ini mengatakan bahwa dalam komunikasi
antara dua orang, ada hal-hal yang diketahui bersama yang dinamakan wilayah
terang (WT), ada yang diketahui oleh diriku saja, tetapi tidak diketahui oleh
kawannya yang dinamakan wilayah rahasia (WR), tetapi ada juga yang diriku
tidak tahu padahal orang lain tahu yang dinamakan wilayah buta (WB), dan yang
terakhir adalah wilayah sama-sama tidak tahu (WSSTT).
Kalau
keempat wilayah itu dibayangkan seperti sebuah jendela persegi empat yang
terbagi dalam empat bagian dengan dua palang horizontal dan vertikal, maka
bagian jendela kiri atas adalah WT, di bawahnya WR, di sebelah kanan wilayah
terang adalah WB, dan bagian kanan bawah adalah WSSTT. Ketika kedua bapak itu
baru bertemu, bagian WT adalah yang paling kecil.
Kedua
Bapak itu hanya sama-sama tahu bahwa mereka sama-sama lama menunggu dokter.
Selain itu mereka juga sama-sama tahu bahwa mereka sama-sama laki-laki, yang
satu berdasi karena baru dari kantor, yang satu lagi berkemeja biasa karena
pensiunan dan juga pastinya yang satu lebih muda dan yang lain lebih tua.
Tetapi
pada akhir percakapan WT itu makin lebar, karena masing-masing sudah saling
tahu di mana tempat kerja mereka, di mana tempat tinggal, berapa anak
masing-masing, bahkan yang tadinya termasuk wilayah SSTT jadi masuk wilayah
terang, yaitu ketika ternyata mereka masih ada hubungan saudara. Itulah
dialog dalam arti kata yang sebenarnya.
Sepertinya
enak sekali dialog itu, kan? Karena itulah dalam isu-isu sosial, termasuk
politik, sering diserukan untuk duduk bersama dan berdialog untuk mengatasi
perbedaan pendapat, bahkan konflik. Maka konflik Ambon dan Poso dicoba
diselesaikan melalui dialog di Malino (11-12 Februari 2002), tetapi Ambon dan
Poso tidak langsung damai.
Ambon
baru beberapa tahun kemudian damai, dan di Poso beberapa hari yang lalu dua
anggota Brimob yang sedang patroli ditembak orang tak dikenal. Aceh berhasil
didamaikan melalui dialog RI-GAM pascatsunami, 27 Juli 2005, yang
difasilitasi oleh Pemerintah Finlandia, tetapi baru beberapa hari yang lalu
juga kita baca di koran tentang seorang Caleg Partai Nasional Aceh bernama
Faisal yang ditembak mati di Banda Aceh.
Masih
banyak contoh lain yang bisa dideretkan di sini, termasuk misalnya konflik
Mesuji, konflik Bima, konflik Sunni-Syiah di Sampang, Madura, persoalan
gereja Yasmin di Bogor, dll, yang semuanya berlarut-larut, walaupun sudah
berkali-kali didialogkan. Jadi dialog itu tidak mudah.
Kembali
kepada teori Jendela Johari di atas. Seandainya saya baru ke toilet dan lupa
menutup ritsleting celana dan keluar dari toilet dengan ”pintu kandang” yang
terbuka, maka saya tidak sadar bahwa ”naga” peliharaan saya terlihat dari
luar. Ini jelas merupakan WB karena saya tidak tahu, padahal semua orang
tahu. Kalau kebetulan pada waktu saya keluar toilet tadi ada seorang rekan
profesor pria yang melihat posisi ”pintu kandang” saya, maka tentu rekan itu
akan memberi tahu, ”Mas, ritsletingnya
belum ditutup.”
Kemudian
saya pun akan nengok ke bagian yang dimaksudnya, kaget sebentar, tetapi
langsung menutup pintu dan tersenyum dan tersipu pada rekan tadi sambil
berkata, ”Oh, iya. Terima kasih, Mas.” Maka
selesailah persoalan saya. Lain halnya kalau yang bertemu saya setelah keluar
dari toilet tadi adalah ibu-ibu dosen, atau mahasiswa putri (tetapi bisa juga
laki-laki), dan sesudah itu saya langsung berceramah di seminar untuk ibu-ibu,
bisa-bisa seharian ”naga” saya jadi tontonan ibu-ibu (walaupun ”naga” itu
sebenarnya sudah dikasih baju), karena yang melihat ”naga” saya tadi tidak
berani untuk memberi tahu saya.
Ketika
saya tiba di rumah, istri saya adalah yang pertama melihatnya, dan ia pun
menegur, ”Mas, itu celanamu terbuka,
tuh!” Waduh! Bagaimana rasanya saya? Persoalan besar terjadi karena
banyak orang yang tidak mau berbagi, ketika mereka tahu sesuatu yang saya
tidak tahu. Nah, jelaslah bahwa orang tidak selalu mudah untuk berkomunikasi
(yang intinya adalah berbagi informasi), apalagi berkomunikasi.
Alasannya
mungkin malu, segan, tidak sopan, takut, dan lain-lain. Dalam hal lain,
alasan gengsi, harga diri, status. ideologi dll bisa menyebabkan orang tidak
mau mendengar atau menerima informasi dari orang lain. Hasilnya sama saja,
tidak membuat hal-hal gelap jadi terang.
Karena
itu hati-hati sebelum bicara tentang dialog. Suasana hati yang senang,
kesediaan untuk mendengar dan kesediaan untuk berbagi perlu disiapkan dulu
agar orang bisa berdialog. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar