Minggu, 09 Maret 2014

Perempuan dalam “Sembilan Ribu Hari”, Frieda Amran

Perempuan dalam “Sembilan Ribu Hari”, Frieda Amran

Sartika Sari ;   Penyair
KOMPAS,  09 Maret 2014
                             
                                                                                         
                                                                                                             
Sejak Plato, perempuan telah diposisikan sebagai manusia kelas dua. Ide Plato mengenai jiwa rasional yang menguasai dan mengatur badan memuat di dalamnya ide laki-laki yang mengatur perempuan. Ide bahwa laki-laki aktif sedangkan perempuan pasif, laki-laki rasional dan perempuan emosional, telah dikembangkan sejak masa Yunani.

Perempuan selalu disimbolkan dari sisi non-rasional dari tingkah laku manusia. Karena itu, berkembang pemikiran bahwa kaum perempuan tidak perlu memiliki akses kedua pendidikan dan cukup sebagai mesin produksi anak saja (Yusuf, 2006: 81). Hal ini menghasilkan ketidakadilan dan penindasan terhadap kaum perempuan (penindasan patriarkal) yang sampai saat ini masih bisa ditemukan di segala bidang. Kondisi tersebutlah yang mendasari kaum perempuan untuk melakukan tuntutan dan sejumlah pergerakan menciptakan suasana baru yang lebih adil bagi setiap individu, khususnya kaum perempuan yang diasumsikan sudah lama tertindas dan terpinggirkan.

Perempuan dalam riuh-redam problematika sosial, sering kali diabsahkan sebagai golongan dalam genggaman patriarki yang kecil kemungkinannya bisa berhasil membangun kehidupan pribadi dan sosial secara berdampingan. Sebab keselarasan yang diidamkan senantiasa berbenturan dengan kenyataan sebagai manusia multiperan. Posisi perempuan dengan segudang aktivitas yang menyita kerja pikiran dan perasaan adalah rintangannya. Selain itu, dengan kapasitas kerja perasaan yang cenderung lebih besar menjadikan perempuan sebagai manusia sensitif yang sangat peka pada lingkungan sekitar. Hal tersebutlah yang kemudian sering dijadikan celah bagi ”yang lain” untuk melemahkan perempuan.

Pergerakan ”menuntut” kesejajaran dan keadilan sejak Mary Wollstonecraft melalui bukunya A Vindication of the Rights of Women (1972) mengemukakan rasionalitas akal-budi hukum kodrat dan kesamaan hak antara kaum laki-laki dan perempuan pertama di Inggris, sampai saat ini ditempuh oleh kaum feminis melalui banyak bidang, seperti: pendidikan, sosial, dan seni termasuk melalui karya sastra yang menempatkan perempuan sebagai fokus pembicaraan.

Di Indonesia, meski mengalami krisis penyair perempuan, tetapi sepanjang kanon sastra, pembicaraan ihwal perempuan dalam karya tak pernah sepi dari berbagai perspektif, ”kedudukan” maupun sejumlah gugatan. Citra perempuan yang dituliskan bergantung pada kondisi sosial dan pemuisinya. Hingga lahirlah Angin di Sini, Sungguhlah Menusuk dari Cok Sawitri, Keumalahayati karya Helvy Tiana Rosa dan sederet puisi dari Nenden Lilis, Oka Rusmini, Abidah El Khalieqy, serta penyair perempuan lain yang getol bicara soal perempuan melalui puisi. Meski harus diakui memang, tidak semua teks yang ditulis berperspektif feminis dan menyuarakan pemberontakan perempuan terhadap patriarki.

Pembebasan

Situasi perempuan dalam lingkaran paradigma sosial itulah yang ditangkap Frieda Amran, penyair yang juga merupakan seorang antropolog lulusan Universitas Indonesia, kemudian diolah menjadi sebuah pemberontakan halus melalui kumpulan puisi Sembilan Ribu Hari (Pustaka Spirit, 2013). Penyair berdarah Palembang ini-dalam puisinya-terasa melakukan upaya pembebasan perempuan dari jeruji perasaan yang bisa merugikan. Dalam aliran perseorangan masyarakat kita, kaum perempuan tiada akan mungkin merasa kecakapannya dan kemauannya ditindas dan dimatikan, sebaliknya pula dia tiada akan mungkin dihinggapi penyakit kesepian, yang sering bersarang di hati perempuan modern (Alisjahbana, 104). Baik berdasarkan pengalaman pribadi atau hasil impresi penyair terhadap keadaan perempuan, akhirnya sebagian besar puisi-puisi yang ditulis tahun 2010-2013 yang termaktub dalam kumpulan puisi Sembilan Ribu Hari mengarah pada upaya pembebasan tersebut.

Paling tampak pada pertalian asmara yang menjadikan perempuan sebagai tokoh sentral. Antara perempuan, hati, dan cinta dituliskan sebagai ruang-ruang kosong yang bisa terisi kemungkinan-kemungkinan paradoksal. Penyair tidak lagi bertungkus lumus pada pembicaraan dalam penantian dan kepasrahan-yang secara umum dianut perempuan dalam percintaan. Namun berhasil mengubah kayuh biduk ke arah ’kenyataan’. Perempuan sesungguhnya bisa bertindak sebagai pengambil keputusan. Perempuan adalah sutradara yang andal. Dengan logika dan kemandirian, dalam percintaan pun, perempuan bisa bertindak rasional sebagai pemimpin untuk dirinya sendiri.

Ini adalah sebuah penghayatan yang berimbang dengan logika sosial. Seperti pernah disampaikan Jakob Sumardjo, epistemologi Indonesia mengakui pentingnya pengalaman rasa, pentingnya lampah atau laku, dalam sistem pengetahuan mereka. Dan puisi adalah wadah yang tepat untuk menyampaikan jenis pengalaman rasa ini. Bukan sekadar pengetahuan pikiran yang disebut kawruh. Itu adalah pengetahuan biasa yang setiap manusia bisa memilikinya. Tetapi pengetahuan ngelmu, yakni pengetahuan rasa penghayatan, harus dicapai dengan laku atau lampah yakni latihan-latihan rohani.

Citra perempuan, beberapa di antaranya dapat ditemukan dari bagaimana cara ia berpikir. Citra ini yang dibangun penyair Frieda Amran melalui Sembilan Ribu Hari. Kita kutip puisi ”Bukan Aku”, di bawah ini:

”Dulu, kau pilih yang seperti dia / Perempuan, yang bukan aku / Bibir merah mengkilat basah, lipgloss. Ranum, katamu / Pliket, kataku. Hilang kalau minum / Alis hitam bulan sabit semut beriring. Cantik, katamu / Sakit, kataku. Kalau dicabut bulunya / Mata merunduk, melirik, mengajak, maskara. Gemas, katamu / Kemayu, kataku. Tak kelihatan kalau melirik... /

Femininitas dalam ”Bukan Aku” dibangun dari kekuatan prinsip dalam menjalani hubungan percintaan. Mencintai adalah kekhidmatan yang diperjuangkan untuk mendapat kasih sayang apa adanya dari seseorang yang dicintai.

Berbeda dengan realitas yang sering kali diadopsi khalayak sebagai ciri khas seorang perempuan, yakni selalu terpuruk dan dalam hakikat ’otentiknya’ hanya bisa pasrah, mengikuti kemauan kaum lelaki. ”Bukan Aku” adalah ungkapan keperkasaan seorang perempuan. Ketegasan dan kekuatan prinsip menjiwai keutuhan puisi.

Seumpama feminis baris depan, penyair mengajari ’perempuan awam’ tentang kesalahan mereka. Gagasan ini tentang intelektual feminis sebagai yang ’terlatih, terpelajar, dan berkomitmen untuk mengangkat kesadaran perempuan lain, dan untuk menghalau orang-orang awam dari apa yang feminis tersebut...pandang sebagai perbudakan ideologis mereka’ (Ross, 193).

Kekuatan prinsip yang dituangkan penyair dalam puisi-puisinya tidak sekadar berada di bawah payung percintaan dengan kekasih, namun berpengaruh pula pada kekuatan karakter sosialnya. Misalnya yang tersurat pada ”Air Mata”:

dan aku terheran

di mana kau temukan airmataku?                           

Dengan gaya ungkap lugas, penyair membicarakan air mata dalam puisi. Hal yang sering kali dijadikan dan dianggap sebagai identitas kelemahan seorang perempuan. Namun oleh penyair, air mata justru dianggap sebagai sebuah rahasia yang sangat intim, tidak menjadi konsumsi publik dan merupakan suatu kehormatan yang harus dijaga.

Selain hal yang bersifat prinsipil, Sembilan Ribu Hari adalah komitmen perempuan pada dirinya sendiri. Semakin jauh, kita akan mendapati keoptimisan yang benar-benar kuat dari penyair. Sebagai perempuan, membangun keyakinan yang benar-benar bersumber dari nurani adalah hal yang tidak mudah. Namun Sembilan Ribu Hari menanamkan keoptimisan itu:

Temani aku memburu senja, katamu

:tanpa suara, bisik pun tidak

Tapi kurasa memang begitu

Lalu, kita melangkah sembilan ribu hari lagi

Semakin kuat saja, penyair menanamkan keyakinan pada dirinya sendiri-tersurat dalam puisi, agar percaya pada kekuatan hati dan tidak merelakan diri ditindas ketidakpastian dalam kehampaan.

Sepintas menelusuri Sembilan Ribu Hari, maka kita akan menemukan keoptimisan dan kekuatan prinsip penyair. Namun lebih dekat, kita akan menemukan keresahan yang begitu dalam. Tersembunyi di balik ciri khas dan ke-elegan-an penyair dalam mengungkapkan perasaan. Ada hal yang sangat dijaga, menurut saya adalah kehormatan. Begitulah keresahan juga dibungkus dalam puisi-puisinya.

Sebagai puisi, Sembilan Ribu Hari tak ubahnya sekawanan perempuan yang menyublim ke dalam satu tubuh, mendaur kesunyian, menjadi pribadi baru yang tahan guncang. Puisi-puisi di dalamnya menjiwai sosok perempuan dalam keseutuhan. Situasi puitik yang politis dibentuk dari kesatuan makrokosmos dan mikrokosmos yang eksklusif membicarakan perempuan dalam pergulatan perasaan.

Akhirnya, menurut saya, Sembilan Ribu Hari lebih mirip ’rahim’ bagi sejumlah ideologi perempuan dalam perjuangan menolak dominasi, ketidakadilan serta sebagai representasi hidup dalam upaya mempertahankan martabat keduniawian. Banyak hal yang semestinya bisa dilakukan perempuan di luar ’kebiasaan’ yang telah dikenali masyarakat. Melalui unsur-unsur pembentuknya, puisi-puisi yang sebagian besar bicara tentang cinta tersebut pun terasa sangat indah, romantis, dan energik. Paduan perasaan, reaksi, dan persepsi menjadi sangat kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar