Membaca
Preferensi Pemilih 2014
Wasisto Raharjo Jati ;
Peneliti Bidang Politik Nasional,
Pusat Penelitian Politik (P2P), Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia
|
SINAR
HARAPAN, 10 Maret 2014
Pemilu
2014 akan berlangsung kurang dari sebulan lagi. Masing-masing kandidat maupun
partai sudah mulai banyak menebar pesona untuk memikat pemilih.
Mulai
dari model kampanye klasik, seperti menyebar baju, kaus, maupun amplop uang,
hingga model kampanye intimidatif seperti menggunakan tokoh elite setempat
dan kelompok kekerasan.
Intinya
adalah, bagaimana suara publik dapat digiring untuk mencoblos kandidat dan
partai tertentu. Adanya budaya upeti dan sungkan sangatlah mendominasi
preferensi pemilih kita sehingga cenderung pragmatis dan balas budi dalam
memilih.
Tidaklah
mengherankan bila permainan politik uang dan kampanye hitam sangatlah sulit
diberantas dalam peta politik publik. Itu karena ada proses depedensi antara
kandidat dengan pemilih, muncul mutualisme pragmatis yang timbul di dalamnya.
Affan
Gaffar (1994: 34) dalam Javanese Voters melihat dua hal penting dalam
pembentukan preferensi politik pemilih ketika pemilu; 1) kecenderunan
munculnya pemilih patronase yakni pemilih yan mendasarkan pada pilihannya
pada ketokohan dan figur tertentu, yang dianggap dapat mencitrakan dirinya
sebagai pemimpin; 2) munculnya fenomena ABS (Asal Bapak Senang), yakni
pemilih yang tidak memiliki rasionalitas dan hanya menjadi pemilih follower
yang mengikuti pada suara mayoritas.
Pendulum
preferensi pemilih di Indonesia memang menarik untuk dikaji karena selalu
menampilkan wajah berbeda dalam setiap periode. Dalam Pemilu 1999, kita bisa
melihat preferensi politik Indonesia sangat dipengaruhi konteks neo politik.
Muncul
revivalisme pemilih nasionalis dan agamis untuk mengadang pemilih konservatif
yang didominasi kalangan birokrat. Dalam pemilu 2004, kita bisa melihat
preferensi pemilih berdasarkan basis neo politik mulai agak tereduksi.
Dalam
periode ini, jurnalisme politik berperan besar dalam mengonstruksi dan
mengkreasi preferensi politik publik. Preferensi politik pemilih pada periode
ini digerakkan by issue dan by design yang begitu kuat dalam
memilih kandidat maupun calon (Meitzner,
2009).
Kedua corak
tersebut muncul karena politik framing
yang dilakukan beberapa media yang memihak dan beroposisi terhadap calon
tertentu. Hal itulah yang menjadikan psikologis politik yang masih labil
sebagai dasar pembentukan preferensi politik.
Pada
periode inilah sebenarnya terjadi proses deideologisasi, yang terjadi dalam
preferensi politik ketika warna dan simbol tidak lagi menjadi acuan dalam
memilih. Kondisi itulah yang menjadikan basis pemilih politik Indonesia
adalah pemilih yang labil secara politik, sehingga mudah dipermainkan emosi
dan psikologis secara instan dan artifisial.
Implikasinya
adalah pada Pemilu 2009. Kita menemukan preferensi politik publik pada pemilu
itu sangatlah bercorak bounded
rationality (Firmanzah, 2010).
Pemilih yang dengan rasionalitas terikat. Pemilih memang menjadi rasional dan
cerdas dalam memahami kondisi politik kontemporer, namun tidak cukup cerdas
dalam memilih.
Hal itu
karena preferensi politik dalam Pemilu 2009 dibangun atas konstruksi status quo dan logika investasi
ekonomi. Preferensi status quo
menunjukkan gejala publik yang terjebak dalam zona nyaman dan tidak
menginginkan adanya perubahan radikal, jika terjadi perubahan rezim yang
berkuasa.
Hal yang
dimaksud logika investasi ekonomi adalah, pemilih mulai sadar suara mereka
adalah investasi ekonomi, baik secara lansung maupun tidak langsung kepada
calon. Secara langsung akan “melegalkan” adanya vote buying mechanism terjadi
dalam ranah publik, terjadi praktik jual beli suara antara pemilih dan
kandidat.
Secara tidak
langsung, dimaknai sebagai pemberian suara kepada calon tertentu diajukan
dengan kontrak politik mampu mensejahterakan konstituen yang memilihnya.
Adanya kondisi preferensi politik yang sedemikian kompleks dan kini mengarah
derasionalisasi pemilih, tentu menimbulkan pertanyaan besar tentang prospek
preferensi politik Indonesia ke depannya.
Menjelang
Pemilu 2014, terdapat tiga preferensi politik yang berkembang dalam dinamika
pemilih di Indonesia. Kelas pertama adalah preferensi pemilih yang didasarkan
pada konteks social proofing.
Preferensi
social proof terbentuk karena
sinegisitas politik ketokohan dengan logika mayoritarian, yang digerakkan
melalui kekuatan jejaring, baik media sosial maupun media lainnya. Preferensi
ini memiliki loyalitas dan militansi instan dalam mendukung calon maupun
kandidat tertentu dalam pemilih nanti. Namun setelahnya preferensi ini akan
membubarkan dan berganti pada topik lainnya.
Kelas
kedua adalah preferensi pemilih advokatif, pemilih cerdas dan menginginkan
perubahan sistem dan rezim melalui jalur pemilu. Preferensi ini terbentuk
karena kondisi publik yang bosan dan jengah melihat pemerintahan selama ini,
sehingga melakukan advokasi dan sosialisasi kepada publik agar menginginkan
perubahan melalui pemilu.
Kelas
ketiga, preferensi pemilih yang paternalistik. Pemilih parokial yang memilih
berdasarkan faktor sugesti dan persuasi tokoh elite tertentu untuk memilih
calon tertentu. Pada kelas ini, segmentasi pemilih biasanya terjadi di
kawasan pedalaman dan pedesaan yang belum terlalu mengedepankan sikap kritis
dalam memilih.
Membaca
preferensi politik pada Pemilu 2014 nanti sangatlah menarik untuk dikaji dan
dipelajari. Dinamika preferensi politik yang kian dinamis tentu tidak bisa
diprediksi hanya dalam hitungan kualitatif maupun kuantitatif.
Bahwa
pemilu Indonesia terbagi antara rasional maupun nonrasional adalah realita,
namun hal itu saja belum cukup. Peran media dan jejaring sangatlah
mendominasi dalam mengarahkan dan mengalihkan preferensi pemilih sedemikian
cepat. Preferensi pemilih 2014 patut disimak, apakah akan menciptakan
pendulum baru dalam preferensi pemilih, ataukah justru tetap pada stagnan
pada perilaku memilih Pemilu 2009. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar