Pilihan
Rakyat Bukan Pilihan Tuhan
Mohamad Sobary ;
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 10 Maret 2014
Di dunia
politik, dan melalui peristiwa-peristiwa politik, tercatat nama-nama tokoh,
yang tiba-tiba mendapat dukungan dan simpati rakyat. Ada bahkan dukungan dan
simpati yang pernah melahirkan presiden. Lain soal bahwa yang terpilih
melalui suasana psikologi seperti itu akhirnya menodai kepercayaan rakyat dan
membikin mereka kecewa.
Adagium
demokrasi, yang menyatakan ”suara rakyat suara Tuhan” apa masih cukup tepat
dipertahankan dalam konteks politik seperti ini? Dengan kata lain, ”suara
rakyat” jenis ini masih pantas dianggap ”suara Tuhan”, apa ”suara rakyat” di
sini hanyalah suara yang tersesat? Harus dicatat pula di sini bahwa otomatis
”pilihan rakyat” juga dianggap ”pilihan Tuhan”? Saya kira ”suara Tuhan” itu
kehendak kerajaan langit, yang pasti tidak pernah salah. Tapi mengapa ”suara
Tuhan” kok menghasilkan pemimpin yang sekadar apa adanya, tanggung jawabnya
rendah, hasil prestasinya tak menentu, dan hanya merangsang gejolak
perdebatan tanpa henti, dan hirukpikuk tanpa hasil nyata?
Saya tak
begitu percaya pada adagium itu, meskipun tiap hari saya siap untuk berjuang
dengan susah payah agar bisa menjalani hidup di dunia fana ini secara
demokratis. Untuk sebuah bangsa yang cepat terharu, cepat menangis, cepat
memihak dengan emosi yang tak tertahan, dan siapa saja yang kalah dalam
percaturan politik dan hukum lalu disebut orang yang ”dizalimi”, apa—sekali
lagi—suara rakyat seperti ini bisa dipertanggungjawabkan sebagai suara Tuhan?
Apa kita menganggap Tuhan itu begitu mudah terharu terhadap perkara biasa
yang mengharukan kita?
Apa kita
bermaksud mengatakan Tuhan begitu cengeng, dan cepat menangis menghadapi
suatu keadaan, seperti yang begitu sering terjadi di dalam masyarakat kita?
Tuhan kita posisikan begitu emosionalnya sehingga Dia cepat terpengaruh, dan
mau tak mau langsung menjadi bagian dari apa yang diberi sebutan dengan sikap
yang begitu masokhis: yang dizalimi? Sebentar-sebentar kita menggunakan kata
”yang dizalimi” ini untuk merajuk, minta perhatian, menarik dukungan dan
simpati.
Dengan
cara ini, sebenarnya kita menindas pihak lain dengan menggunakan kelemahan
kita.Apa kata ”dizalimi” di sini punya jaminan kuat, dan pasti merupakan
tanda keimanan? Apakah ungkapan itu hanya bisa keluar dari dorongan jiwa
seseorang yang imannya memang dalam, atau dari komunitas orang-orang beriman,
yang begitu tulus dan mudah menentukan pemihakan politik berdasarkan sebuah
kesalehan yang tak perlu dipersoalkan? Iman seperti apa, dan corak kesalehan
macam apa yang begitu cepat mengubah gejala psikologi menjadi fenomena
politik, yang tak bisa didebat, dan tiap saat hanya menjadi prinsip kaku dan
mati: pokoknya suara rakyat tak bisa diganggu gugat?
Di dalam
konteks politik dan hukum di negeri kita, ”suara rakyat”, yang dipaksakan
harus merupakan ”suara Tuhan” itu kelihatannya lebih merupakan romantisme
yang hidupnya jauh dari dunia yang becek, dan penuh bekas-bekas banjir ini.
Melihat pengalaman ini, sebaiknya kita tak usah aneh-aneh. Sebaiknya kita
lugas dan apa adanya saja. Suara rakyat ya suara rakyat. Tuhan, yang ”tak
tahu-menahu” dan tidak ada urusan dengan persoalan ini, tidak pantas dibawa-bawa.
Jadi, sebaiknya kita menganggap ”suara rakyat” ya ”suara rakyat”.
Lebih
sosiologis. Kita tak usah berlebihan, justru supaya iman kita waras, dan
sehat, dan kesalehan kita tak terluka. Iman yang sehat, dan kesalehan yang
tulus, tak mungkin rela menganggap Tuhan mau diajak berjual-beli suara.
Serangan fajar, yang dengan ambisi kotor membeli suara rakyat, yang siap, dan
kemudian menjadi serakah menerima ”money politics” apa itu berarti Tuhan
betul yang dibeli suaranya? Apa dikiranya Tuhan mau diajak menyimpang? Tuhan
disamakan dengan warga negara, rakyat yang kabarnya berdaulat, tapi jiwanya
compang-camping, dan mau mendukung calon-calon busuk, yang bakal
menghancurkan kehidupan rakyat itu sendiri?
Orang
baik-baik membuat citra serba baik tentang Tuhannya. Mereka yang doyan
menyimpang sebaliknya. Ada orang yang melarang saya mengkritik SBY, karena
dia percaya, dan saya harus juga percaya, SBY dipilih Tuhan, dan menjalankan
mandat langit yang suci. Saya mau percaya bahwa presiden dipilih Tuhan. Tapi apa
Tuhan itu murahan, dan begitu mudah dikecoh? Kalau betul Tuhan yang memilih
presiden itu, kita harus tahu apa pesan Tuhan waktu itu. Saya tidak percaya
bahwa Tuhan berbisik: jadilah presiden, dan berbuatlah sesukamu. Menangis
juga boleh. Menyanyi pun tak dilarang. Tidak mungkin.
Pesan
Tuhan pasti lain, penuh kasih, penuh tanggung jawab: jadilah presiden, dan
jangan selingkuh terhadap hak-hak rakyat. Jangan nodai konstitusi. Menangis
boleh, menyanyi pun boleh tapi kerjakan apa yang harus dan wajib dikerjakan
seorang presiden. Kalau tidak mampu menangani begitu banyak persoalan:
biarkan orang miskin yang menangis, dan serahkan urusan menyanyi dan
berkidung-kidung pada seniman beneran.
Pendeknya,
Tuhan tak bisa dibawa-bawa secara sepele dan penuh penghinaan seperti ini.
Tuhan itu bisa saja menaruh perhatian pada politik Indonesia yang mengenaskan
ini. Tapi saya kira Tuhan tak begitu tertarik membuang-buang waktu terlalu
banyak pada perkara yang sudah dilimpahkan pada semua manusia, para
khalifahnya di muka bumi ini. Bila memang Tuhan yang memilih presiden, dan
yang dipilih selingkuh dari tanggung jawab kerakyatan, saya kira pada
tempatnya kalau Tuhan juga mengirim tukang kritik, untuk menyampaikan berita
gembira dan peringatan. Berita gembira dan peringatan?
Itu
urusan rasul-rasul, dan nabi-nabi. Tukang kritik hanya menyampaikan bahwa
yang tidak baik itu tidak baik, dan mengingatkan bahwa pemimpin tak boleh
mencampuradukkan yang ”haq” dan yang ”bathil”. Ini proses kebudayaan, dan
gambaran bekerjanya kebudayaan di wilayah politik. Bahasa teknis-akademisnya
”kebudayaan politik”. Jadi ”pemimpin” dan ”kepemimpinan” itu fenomena
kebudayaan. Di dalam kebudayaan pemimpin lahir, atau dilahirkan, muncul, atau
dimunculkan sebagai wujud aspirasi, dorongan ideologis, wawasan, sikap dan
tingkah laku warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.
Tiap
saat pemimpin lahir, atau dilahirkan, dan muncul, atau dimunculkan, seperti
disebut tadi tanpa memikirkan kualitasnya secara serius. Memiliki kompetensi
teknis yang diperlukan, atau tidak, hebat betul atau tidak,, sering kita
abaikan. Seolah kita selalu siap untuk kecewa, padahal tidak. Kemudian kita
risau. Memilih pemimpin saja kita terbukti tidak mampu. Ketika baru memilih,
optimisme kita melonjak-lonjak menyundul langit., untuk kemudian berakhir
dengan kecewa.
Kita
membawa-bawa Tuhan dalam politik, dan memanipulasi- Nya untuk kepentingan
rakyat. Kita menganggap ”suara rakyat suara Tuhan”, dan apa yang merupakan
”pilihan rakyat” disebut ”pilihan Tuhan”, kelihatannya hanya untuk
menunjukkan bahwa kita tak bertanggung jawab. Kita limpahkan kesalahan pada
Tuhan? Ini sikap kebudayaan yang tak sehat. Kita harus tegas: ”pilihan rakyat bukan pilihan Tuhan”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar